Bab 7
Si asisten memimpin sekelompok orang masuk sambil memegang hadiah-hadiah yang sangat mahal.
Kalung berlian merah muda yang langka, lukisan antik dan bahkan akta kepemilikan pulau pribadi.
Semua orang pun menjadi gempar!
"Ini … ini dari Tuan Muda Jason?"
"Katanya di pelelangan waktu itu juga Tuan Muda Jason menyuruh orang untuk menyalakan lampu demi Nona Nadia! Sekarang, dia mengirimkan hadiah? Wah, sepertinya masa depan Nona Nadia cerah banget, ya!"
Semua orang sibuk bergosip sambil melirik Jane dengan simpati.
Jelas-jelas Jane lebih cantik dan merupakan anak kandung yang sah, tetapi sekarang dia malah terlihat seperti pihak yang kalah.
Jane meletakkan gelas anggurnya, lalu berbalik badan dan berjalan menuju teras.
Angin malam terasa sejuk. Dia baru saja menarik napas dalam-dalam ketika mendengar suara Nadia di belakangnya. "Kak, kok sendirian di sini?"
Karena tidak ada tamu ataupun Hadi di sini, Nadia pun berhenti berpura-pura.
"Kamu tahu nggak? Ayah bilang kamu akan menikah dengan pria koma itu," kata Nadia sambil tersenyum dengan manis sekaligus kejam. "Kasihan banget! Waktu itu ibumu nggak bisa menang dari ibuku dan sekarang kamu juga nggak bisa menang dari aku."
Jane refleks berbalik badan. "Coba ulangi?"
"Kubilang …." Nadia mencondongkan tubuhnya lebih dekat dan mengucapkan kata-kata yang tajam, "Ibumu pantas mati saat melahirkan. Dia …."
"Plak!"
Bunyi tamparan yang kencang pun terdengar.
Namun, bukan Jane yang menampar, melainkan Nadia yang menampar dirinya sendiri!
Detik berikutnya, air matanya mengalir turun. Dia terhuyung mundur beberapa langkah, lalu terjatuh ke pelukan Jason yang bergegas menghampiri.
"Ini bukan salah Kakak …" isak Nadia sambil menutupi wajahnya. "Akulah yang bikin kakakku marah ...."
Detik berikutnya, Hadi dan para tamu juga bergegas menghampiri setelah mendengar keributan itu. Mereka langsung menatap Jane dengan kesan menuduh.
"Jane!" bentak Hadi. "Kamu punya sopan santun nggak sih!"
Bisikan para tamu juga terasa tajam menusuk.
"Jahat sekali! Ini 'kan hari ulang tahun Nona Nadia …."
"Yah, tapi ibunya memang meninggal dini sih. Wajar saja dia jadi berpikiran sempit, soalnya nggak dibesarkan ibunya …."
Jane melihat kehebohan yang tersusun rapi ini, lalu tiba-tiba tertawa.
Dia melangkah maju dan menampar wajah Nadia dengan kencang di hadapan semua orang.
"Lihat baik-baik." Jane memecahkan gelas sampanye, pecahan-pecahan gelas itu memantulkan wajah-wajah yang tampak tercengang. "Ini baru aku menamparmu."
Saat Jane berbalik badan hendak pergi, dia melihat Jason yang memeluk bahu Nadia sedang menatapnya dengan dingin.
Di jalan setapak taman.
Saat Jane baru saja berbelok, pergelangan tangannya tiba-tiba dicengkeram dengan kuat.
Tenaga Jason begitu kuat sampai-sampai tulang Jane terasa seperti akan remuk.
"Nona Jane." Suara Jason terdengar rendah dan sangat menahan amarah.
"Apa?" Jane menengadah dengan sinis. "Aku menamparnya sekali, jadi apa kamu akan menamparku 99 kali sebagai balasannya?"
Jason sedikit memicingkan matanya.
Apa maksud Jane? Apa mungkin dia tahu soal waktu itu?
Tidak mungkin, Jason melakukannya secara rahasia.
"Nona Jane." Jason menjadi sedikit lebih santai, tetapi tetap mengernyit. "Kamu sudah punya segalanya, jadi kenapa kamu masih menindas Nona Nadia?"
"Aku punya segalanya?" Jane tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, tetapi tawanya serak seperti menangis. "Memangnya apa yang kupunya? Begitu dia datang, dia membuat ibuku sangat marah sampai meninggal saat melahirkan! Dua nyawa melayang! Begitu dia pindah, dia mengambil kamarku, mainanku, uang sakuku dan ayahku! Bahkan jatahku untuk belajar di luar negeri! Semua yang kumiliki!"
Ini adalah pertama kalinya Jason mendengar Jane berkata seperti ini. Di bawah sinar rembulan, sorot tatapan Jane yang selalu sarkastik itu kini tampak digenangi air mata. Akan tetapi, Jane berusaha mati-matian agar tidak menangis.
"Katanya," kata Jason dengan dingin. "Masa lalu Nona Nadia nggak baik."
Jane menepis tangan Jason dan berbalik badan berjalan pergi. "Terserah mau percaya atau nggak."
Sebelum Jane masuk ke dalam mobil, Jason berujar lagi, "Nona Jane, aku mau mengambil cuti beberapa hari."
"Terserah apa maumu," sahut Jane, lalu menutup pintu mobil tanpa menoleh ke belakang.
Setelah mobil hitam itu melaju agak jauh, tiba-tiba Jane berkata kepada si sopir, "Putar balik."
Ketika kembali ke sekitar rumah Keluarga Ramana, Jane melihat Jason masuk ke dalam sebuah mobil Rolls-Royce.
Jane meminta si sopir untuk mengikuti dari kejauhan. Mereka akhirnya berhenti di luar sebuah toko tato kelas atas.
Melalui jendela kaca, Jane melihat Jason membuka kancing kemejanya dan memperlihatkan dadanya yang berotot.
Seniman tato itu menanyakan sesuatu, lalu Jason menunjuk ke arah jantungnya dan menjawab. Dari gerakan bibirnya, terlihat jelas pria itu mengatakan nama Nadia.