Bab 501
Carson tidak berbicara. Dia memelototiku dengan ekspresi suram.
Aku bangun dan hendak berjalan ke luar.
Carson tiba-tiba menarikku dengan kuat. Lukanya pun robek.
Carson mengeluarkan erangan yang ditahan. Kain kasa langsung dibasahi oleh darah.
Aku terkejut dan buru-buru mengecek luka Carson. Makin banyak darah yang membasahi kain kasa.
Saking cemas, aku mulai menangis.
"Bagaimana ini? Sakit nggak? Bagaimana sekarang? Aku panggilkan dokter."
Carson menarikku sekali lagi.
Caron menatapku dengan ekspresi mata suram sambil menyeringai sinis. "Buat apa panggil dokter? Bukannya kamu benci aku? Bukannya lebih baik kalau aku kehabisan darah dan mati kesakitan?"
"Apa baiknya? Dasar kamu gila dan aneh!"
Aku tidak tahan lagi, lalu berteriak, "Kamu ini bodoh! Siapa bilang aku benci kamu? Kapan aku bilang aku nggak mau lihat kamu?"
"Kamu sendiri yang suka tebak sembarangan dan marah-marah nggak jelas."
"Kamu nggak tahu betapa cemasnya aku melihatmu terluka parah."
"Kamu nggak tahu betapa khawatirnya aku. Kamu bahkan selalu membentakku dengan kata-kata yang ketus."
"Dasar kamu gila, gila dan aneh."
Sambil berkata, aku meneteskan air karena kesedihan yang melanda hatiku.
Carson menatap lurus padaku. Kesuraman di matanya memudar sedikit.
Carson bertanya dengan suara pelan, "Kamu cemas karena aku terluka demi kamu, 'kan?"
"Bukan!" Aku memelototi Carson dengan mata berkaca-kaca.
Ternyata Carson berpikir begitu. Apakah Carson tidak bisa berpikir bahwa aku benar-benar menyukainya?
"Lalu, karena apa?" tanya Carson lagi dengan suara rendah. Samar-samar, ada sedikit penantian.
Aku menatap Carson dengan mata berlinang dan berkata dengan suara parau, "Menurutmu, karena apa?"
"Aku nggak tahu, juga nggak yakin, jadi aku mau dengar langsung darimu." Carson menatap lurus padaku. Matanya sangat fokus, seperti ingin menyedotku ke dalam.
Alih-alih menjawab, aku merangkul leher Carson dan langsung menciumnya.
Dulu, Carson-lah yang mengambil inisiatif dalam hal ini dan membawa tujuan.
Kali ini, aku mencium Carson karena benar-benar sudah mengetahui isi hatiku, karena benar-benar menyukai Carson.
Aku mencium dengan pelan dan penuh konsentrasi.
Tubuh Carson membeku saat membiarkanku menciumnya. Lama kemudian, Carson mendorongku dengan pelan.
Carson memegang bahuku dengan erat sambil bertanya dengan suara serak, "Kenapa tiba-tiba cium aku?"
"Karena suka kamu." Aku menatap mata Carson yang hitam kelam seraya menjawab, "Carson, aku benar-benar sangat menyukaimu. Aku khawatir padamu bukan karena rasa bersalah, tapi takut akan kehilanganmu."
"Aku nggak peduli apa hubunganmu dengan Riris. Aku juga nggak peduli siapa yang sebenarnya kamu suka."
"Pokoknya, aku suka kamu, hanya kamu."
Seketika, seolah-olah ada cahaya yang bersinar ke kedalaman hutan dan mengusir kabut.
Carson bersandar kembali ke sandaran kasur dalam diam.
Carson menundukkan pandangan, entah sedang memikirkan apa.
Aku termangu sejenak. Aku merasa sedikit canggung karena ungkapan cintaku tidak mendapat respons.
Aku khawatir Carson tidak mendengarku dengan jelas.
Jadi, aku berkata lagi dengan serius, "Carson, aku suka kamu. Aku juga nggak tahu mulai dari kapan."
"Pokoknya, hatiku sangat sedih setiap kali melihatmu bersama Riris."
"Kurasa aku sudah menyukaimu ketika kita baru cerai."
Carson tetap diam. Carson bersandar di sandaran kasur dengan kepala tertunduk, entah sedang memikirkan apa.
Aku mengernyit, lalu bertanya di telinga Carson, "Aku suka kamu. Kamu dengar atau nggak?"
"Ya, aku dengar."
Barulah Carson menjawabku. Suaranya sangat tenang.
Ehm!