Bab 466
Siapa yang mengajarinya cara berciuman yang mendominasi seperti ini? Sembarangan ... tidak tahu aturan!
Jemarinya juga tidak tinggal diam.
"Vincent ... " Aku dibuatnya hampir menangis. Tidak ada hal lain yang bisa aku pikirkan saat ini.
Ciumannya jatuh di mataku. Tubuhnya menekanku ke dinding.
Suara air pancuran membaur dengan napas dan rintihanku. Si berengsek ini ... entah dari mana dia belajar semua ini. Kemarin dia menyiksaku sampai tengah malam dan sekarang dia masih ingin melanjutkan.
Aku hanya bisa merasakan kedua kakiku gemetar. Tubuhku menempel pada lantai keramik yang dingin.
"Vincent! Dasar bajingan ... "
Davin mendekapku dari belakang, mencium dan menggigitku dengan lembut seperti ingin menenangkanku. Namun, entakkan tubuhnya sama sekali tidak mengendur.
"Hmm ... " Suaranya serak, merespons umpatanku.
"Apa kamu belum mau berhenti?"
"Hmm." Dia tidak menjawab selain itu. Apa pun yang aku katakan, responsnya tetap sama. Aku pun makin kesal dibuatnya.
"Vincent!" Aku mencoba mendorongnya, tetapi aku tidak punya tenaga lagi.
Dia meraih pergelangan tanganku dan mencoba menciumku dari belakang.
Aku merasakan air mataku menetes, mungkin karena marah.
"Aku nggak pernah berpikir kalau kamu akan kembali padaku. Aku nggak berani berharap ... "
Suaranya terdengar serak seolah-olah ingin tenggelam bersamaku.
"Bagaimana aku bisa berani ... " Kata-katanya belum selesai.
Mungkin aku juga sudah gila. Aku merespons ciumannya dan menggigit bibirnya sampai mulutku merasakan darah.
Mari tenggelam bersama.
Aku tidak ingin Vincent meninggalkanku sendirian.
Suhu di kamar mandi terus naik. Cermin di atas wastafel sudah tertutup uap air.
Sebelumnya aku selalu menahan diri, tetapi sekarang aku membebaskan hasratku.
"Vincent, kakiku kram! Dasar berengsek ... "
"Sayang ... " Davin memelukku dengan manja, tak ingin melepasku.
Aku terengah-engah dan bersandar di wastafel dengan pasrah. Aku hanya bisa berdoa agar wastafel ini masih kuat dan tidak jatuh.
"Arya sialan," umpat Davin, mungkin cemburu karena tadi Arya ingin membawaku pergi.
Mungkin juga, dia cemburu karena dahulu Shani pernah mencintai Arya.
"Aku nggak akan tega menyakitimu." Jarinya mengusap pergelangan tanganku yang ternyata agak merah karena Arya menarikku tadi.
"Shani, dia berani menyakitimu dan mengancamku. Jangan jatuh cinta padanya," gerutu Davin sambil mencium leherku yang kini merasa geli.
Aku tidak bisa berkata-kata lagi. Taktik bercintanya benar-benar berhasil. Aku pun tidak tahan ingin mengutuk Arya. "Dia sama bodohnya dengan Yuna. Abaikan saja mereka."
Davin menggigit tulang selangkaku dan terus berbicara di samping bantal. "Shani, alasan dia bergabung pasti untuk menunjukkan pengorbanannya padamu. Dia ingin cepat-cepat menemukan kebenarannya dan membuatmu mencintainya lagi."
Davin menyebutkan alasan Arya melakukan segalanya bagiku. Ini adalah peringatan untukku.
Dia tidak ingin aku tergerak oleh pengorbanan Arya dan meninggalkannya demi Arya kelak.
"Aku ... "
Belum selesai aku berbicara, aku mendengar seseorang memanggil dari ruang tamu. "Di mana kalian? Vincent? Shani?"
Itu suara Yoga.
Aku ingin mendorong Davin. Yoga sudah anak SMA, sedangkan pintu kamar sama sekali tidak terkunci!
Davin dengan nakal menekanku ke ranjang dan tidak membiarkanku bergerak.
"Vincent ... " Suaraku tertahan karena aku tidak berani berbicara dengan keras.
"Vincent, kamu di mana?" Di depan pintu, Yoga berteriak dengan cemas.
"Di kasur, sama Shani," jawab Davin dingin.
Suasana hening sejenak, tetapi kemudian terdengar seruan Yoga. "Dasar nggak tahu malu. Ini masih siang ... "
"Pergi!" teriak Davin.
"Huh, oke," jawab Yoga.
Setelah ini, aku berjanji bahwa Davin akan mendapat masalah.