Bab 464
Hati manusia rumit dan selalu berubah.
Tidak ada keniscayaan. Hanya waktu yang akan membuktikan.
"Kakak akan menyesal ... " Di tengah derai hujan, Liora gemetar dan menggenggam tangannya sendiri. Sorot matanya yang sedih tertuju pada Davin.
Davin tidak mengatakan apa pun, hanya memelukku dengan erat.
Tak lama kemudian, Arya berbalik dan membukakan pintu mobil, mempersilakan Liora naik.
Setelah duduk, tatapan Liora tak beralih dari sosok Davin.
Wanita memiliki intuisi yang kuat. Meskipun Liora baru berusia delapan belas tahun, aku hampir yakin dia menyimpan perasaan terhadap Davin.
Ya, dia pasti mencintai Davin.
Namun, Davin mencintaiku. Apa sebenarnya maksud Liora saat hendak mengajakku pergi?
"Shani, ayo pulang," ujar Davin sambil menggandeng tanganku.
"Cuma orang yang memenuhi syarat yang bisa masuk ke sindikat. Cara pikirku ... nggak seperti kebanyakan orang. Mereka tertarik dengan hipotesis dan premis yang aku ajukan." Tanpa menunggu aku bertanya, Davin mulai menjelaskan.
"Aku tahu kalau Liora adalah putri Yeno. Jadi, aku memanfaatkan dia untuk mendekati Yeno." Davin menatapku dan berkata lagi, "Dia menderita autisme, tapi berkat Yeno, dia bisa berbaur dengan orang lain meski nggak sebaik orang normal."
"Anak-anak dengan autisme biasanya memiliki bakat yang luar biasa. Bakat Liora adalah melukis," kata Davin pelan. Dia mengambilkan handuk untuk mengeringkan rambutku yang basah dan melanjutkan, "Dengan sekali lihat, dia bisa menggambar benda, orang, atau bangunan dengan sangat akurat."
"Dia menyukaimu," ujarku sambil menunduk.
Aku tidak tertarik membahas bakat Liora. "Kamu tahu apa yang ingin aku tanyakan, 'kan?" ujarku lagi.
Yang ingin aku tahu bukan tentang kemampuan melukis Liora, melainkan maksud dari kata-katanya.
Mengapa dia ingin menjauhkanku dari Davin? Mengapa dia terus mengatakan kalau Davin akan menyesal?
"Terlibat dengan sindikat adalah hal yang berbahaya." Davin meraih pengering rambut untukku. "Aku bisa melakukan apa pun untukmu meski akhirnya aku harus mati."
Suara Davin menembus dengung monoton pengering rambut.
Aku meraih tangan Davin dan mematikan pengering rambut. "Kamu masuk ke sindikat dengan identitas seorang genius untuk mencari tahu siapa orang di belakang semua ini? Apa sebenarnya rencanamu?"
Davin menatapku tanpa berkata-kata.
Dia tidak ingin memberitahukan rencananya padaku.
Rencana yang dia susun tidak punya ruang untuknya melarikan diri. Dia pasti akan mati.
Aku akan kehilangan dia.
Tanganku menggenggam erat baju Davin dengan gemetar. "Kalau kamu mati, bagaimana aku bisa hidup?"
Davin memeluk dan mengusap punggungku. "Shani, hidup terus berjalan. Kita pasti akan menemukan cara untuk hidup."
"Kalau begitu, kamu pasti akan meninggalkanku, 'kan?" Aku memeluk Davin erat-erat. "Padahal, kita sudah berjanji untuk selalu bersama ... "
"Jangan berpikir begitu. Aku nggak akan meninggalkanmu," ujar Davin, mencoba membujukku.