Bab 446
"Kamu bohong karena kamu tahu Yuna akan mencabut laporannya, jadi ucapanmu nggak akan berdampak apa-apa. Kalau Yuna tidak mencabut laporannya, kamu pasti tidak akan berbohong dan mengaku," kata Davin dengan perlahan
Pria ini benar-benar ... mengenalku luar dan dalam.
"Sepertinya naluri bertahan hidup adalah sifat dasar manusia. Manusia mati saat mengejar harta, burung mati saat mengejar makanan. Itu memang sudah jadi naluri bawaan. Mungkin, seseorang baru benar-benar bisa dibilang sebagai 'manusia' ketika bersikap egois dan mementingkan diri sendiri," kataku pelan. "Tadi ... tanpa sadar tahu-tahu aku sudah berbohong."
Tenggorokanku sedikit tercekat dan pandanganku gemetar saat menatap Davin.
Davin juga balas menatapku, tetapi dengan sorot mata yang sarat kehangatan.
Davin paham betul. Shani di masa lalu tidak memiliki perasaan dan tidak merasakan emosi. Shani yang dulu tidak pernah tahu apa arti kebahagiaan, rasa sakit, keputusasaan, penderitaan …
Bahkan naluri bertahan hidup untuk melindungi diri sendiri pun dia tidak punya.
Namun, kini aku mengerti. Aku mulai merasakan semua itu.
Ketika aku tahu kalau Arya memberi kesaksian pada polisi bahwa aku telah menyakiti Yuna, aku mulai berpikir, sebenarnya apa tujuan Yuna yang sebenarnya? Apa dia akan mengancamku dengan fakta ini? Apa dia mencoba menyakiti Davin secara tidak langsung? Oleh karena itu, aku bisa tetap tenang mendengar apa pun yang dikatakan polisi tentang diriku. Tetapi, ketika nama Davin disebut-sebut ... naluri bertahan hidupku langsung bangkit, mendorongku untuk bereaksi.
"Shani, Kamu yang sekarang sudah cukup. Bagaimana pun keadaanmu, kamu masih tetap Shani yang baik. Jadi, nggak perlu memaksakan diri," hibur Davin sambil memelukku erat, suaranya serak dan bergetar.
Suamiku yang paling tahu seberapa keras aku berusaha ... menjadi manusia normal.
Manusia lahir membawa anugerah, yaitu bisa merasakan perasaan senang, marah, sedih, dan bahagia. Namun, bukan hanya itu. Keegoisan juga merupakan sifat dasar manusia, jadi kebohongan adalah hal yang wajar dilakukan.
Keegoisan inilah kekurangan dan kelemahan yang menyertai anugerah itu. Manusia bukanlah makhluk yang sempurna dan tak terkalahkan.
Faktor-faktor yang kompleks dan beragam yang menjadikan manusia sebagai makhluk dengan kecerdasan tinggi. Tidak seperti mahluk lain, faktor ini yang membuat manusia mampu menjadi pemimpin di bumi.
Oleh karena itu, aku terkejut dan merasa heran saat menyadari kebohongan yang kulontarkan sendiri.
Pandanganku terpaku pada kedua tanganku yang saling menumpuk di atas pangkuan, lalu menoleh ke arah Davin.
Setelah ingatanku pulih, aku tiba-tiba merasa bahwa aku adalah makhluk asing yang didatangkan ke dunia ini.
Saat masih kehilangan ingatan waktu itu, aku tidak ada bedanya seorang pemula yang terjebak fase percobaan dalam sebuah gim. Berkat itu, tanpa sengaja aku menjalani kehidupan manusia normal sehingga akhirnya bisa memahami rasa sakit dan kekecewaan.
Tidak bisa kusangkal, aku harus 'berterima kasih' kepada Arya. Meski rasanya tidak nyaman, dialah yang secara tidak langsung telah mengajarkan aku tentang kehidupan. Tanpa dia, aku tidak akan menjadi diriku yang sekarang ini.
Mungkin seperti pohon tua yang telah lama mati. Seiring waktu, tunas yang baru mulai tumbuh kembali dan perlahan mulai menemukan cahaya yang membantunya tumbuh bercabang.
Hanya saja bagiku, proses ini terasa begitu panjang dan menyiksa.
Terlalu banyak badai yang harus dilewati untuk sampai pada titik ini ...
Tok, tok, tok! Tiba-tiba, suara ketukan di pintu kamar inap membuyarkan lamunanku. Kami menoleh, mendapati seorang pria tinggi mengenakan jas tengah berdiri di ambang pintu.
Wajahnya tampan. Yah, lumayan tampan menurutku. Wajahnya lumayan mirip dengan Davin, tetapi terlihat sangat berbeda. Kalau dipikir-pikir, aura dan penampilannya mirip dengan Arya. Hanya dalam sekali lihat, aku bisa menebak kalau pria ini adalah seorang manajer perusahaan yang punya kemampuan dan kualifikasi yang baik.
Kalau tebakanku benar, pasti orang ini adalah penerus yang diam-diam sudah disiapkan Kakek Yahya dengan sangat baik.
Demi pria di hadapan kami inilah, Kakek Yahya sampai rela mengorbankan anaknya sendiri. Putranya, Erik Isman, justru malah dipandang sebagai pion yang bisa dibuang kapan saja.
"Kakak." Pria itu tersenyum tulus kepada Davin. Sama sekali tidak terasa pancaran niat jahat dari dirinya.
Namun, naluriku mengatakan bahwa pria ini berbahaya!
Firasatku mengatakan kalau orang ini ... bukan orang sembarangan.
"Jadi ini, ya, kakak iparku? Senang bertemu denganmu, Kak. Namaku Lennon Isman." Sambil menenteng keranjang buah, dia mulai mendekat dan mengulurkan tangan dengan ramah padaku.
Aku hanya menatapnya dengan mata memicing, penuh selidik.
Aku khawatir Kakek Yahya akan membahayakan Davin, jadi aku sempat menyelidiki pria bernama Lennon ini. 'Genius' hanyalah salah satu dari sekian banyak label yang melekat pada pria ini. Dia tumbuh besar di Negara Maliva dan menerima pendidikan terbaik sejak kecil. Pria di hadapan kami ini ... adalah buah dari investasi besar dan upaya keras yang dilakukan Kakek Yahya.
Aku jadi curiga. Ada kemungkinan bahwa pria ini juga hasil eksperimen modifikasi gen, sama sepertiku.
Yang paling membuatku khawatir adalah, dia tumbuh di lingkungan pendidikan yang terbentuk dari pengaruh ideologi kapitalis agresif dari negara-negara barat ...
Bahkan Davin sekalipun bukan tandingan orang ini.
"Kamu salah kamar." Baru saja aku hendak membuka mulut, tiba-tiba Davin memotong kata-kata Lennon. Auranya seketika berubah dingin saat berkata, "Silakan keluar, belok kanan, lurus, lalu turun tangga. Kalau nggak bisa jalan sendiri ke kamar mayat, aku bisa mengantarmu ke ruang kremasi."
Saat berhadapan dengan Arya yang dianggap sebagai saingan pun, Davin masih menunjukkan sikap kekanak-kanakan. Itu karena Davin tidak pernah menganggap Arya setara dengannya.
Namun, orang di hadapan kami ini berbeda.
Orang ini sangat berbahaya. Kedua pria yang saling berhadapan ini terlihat seperti dua hewan predator yang mengeluarkan feromon sebagai sinyal dominasi dan tanda bahaya. Sebagai sesama hewan, mereka bisa mengenali feromon ini dan akhirnya memancarkan aura dominasi yang sama.