NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Misteri KematiankuMisteri Kematianku
Oleh: NovelRead

Bab 443

Arya tertegun menatapku, tetapi tidak bisa menyembunyikan kegugupan di matanya. Dia tidak ingin Yuna mati. Dilihat dari sudut pandang mana pun, dia merasa Yuna tidak pantas mati. Bukan apa-apa, aku hanya merasa lucu. Setelah kuberi tahu bahwa Yuna sengaja menipuku pada malam tanggal 15, kukira dia akan berubah pikiran dan tidak akan percaya lagi pada Yuna. Kalau boleh jujur, malah kukira Arya akan berbalik melawan wanita itu. Tidak disangka ... Arya justru masih peduli dengan Yuna. Tidak ada yang berubah. "Shani, dia janji mau memberikan sebagian bukti kejahatan Yeno padaku kalau dia bisa keluar hidup-hidup. Dia belum menepati janjinya," Arya buru-buru menjelaskan. Ah, begitu rupanya. Arya bukan peduli pada keselamatan Yuna. Dia bersikap seperti ini karena Yuna belum menyerahkan bukti kejahatan Yeno. "Bagaimanapun, dia sungguh-sungguh mempertaruhkan nyawanya untuk melindungiku ... " lanjut Arya, masih berusaha mencari alasan dan membuat dirinya sendiri tampak bodoh. "Kamu pikir orang egois seperti Yuna mau mempertaruhkan nyawa demi orang lain? Dia begitu pasti karena sudah tahu sejak awal kalau nggak akan ada bahaya yang mengancam nyawanya. Atau ada yang nggak beres dengan ingatanmu itu." Clara memutar mata dengan malas. "Kita semua sudah mengetes dia di reruntuhan gedung. Kamu juga lihat sendiri, dia itu pengecut." "Nggak, itu beda ... " Sampai detik ini pun Arya masih mencoba membela Yuna. Kemudian, aku menarik tangan Clara dan menghentikannya. "Lebih mudah menghancurkan dunia daripada merusak ikatan cinta dua insan. Mereka sudah terikat satu sama lain." "Shani ... " Arya tampak cemas mendengar ucapanku. "Bukan begitu maksudku. Sumpah, aku cuma merasa dia nggak pantas mati. Dia ... " "Terserah, apa pun maksudmu, itu sama sekali bukan urusanku." Aku mengangkat kedua tangan setinggi dada, memotong kata-kata Arya. Di sampingku, Davin duduk manis di tepi tempat tidur, lalu tersenyum simpul … Mungkin dia sedang mengejek Arya dalam hati karena pemuda itu tidak peka dan malah berakhir bertingkah konyol sendiri. Seperti biasa, saat Arya sedang bertindak sembrono seperti ini, Davin pasti akan pura-pura bersikap baik, seolah-olah ingin terlihat lebih dewasa dan pengertian. Sesekali, dia akan 'menunjukkan taring' dan menyela dengan nada sinis, "Sayang, Yuna-lah yang membuat Shani meninggal, tapi orang ini masih saja membelanya." Arya mengernyit seraya menatap Davin sambil mengepalkan tinjunya erat-erat. "Aku nggak bisa menyangkal itu memang salah Yuna. Tapi dia bilang kalau dia cuma ketakutan saat itu. Dia juga nggak menyangka Shani akan meninggal dalam kecelakaan. Pada malam tanggal lima belas itu dia mabuk berat, jadi dia nggak ingat tanggal. Itulah yang memicu polisi melakukan kesalahan dalam penyelidikan." Sampai sini pun Arya tidak berubah, masih tetap memihak Yuna. Dia berusaha terlalu keras supaya kami mengerti kalau Yuna tidak pantas mati. "Arya, sepertinya permainan maut ini pun sama sekali nggak memberimu pelajaran ... " Aku mendengus. Otak orang ini sudah rusak. Terlalu baik pada orang lain sama saja terlalu kejam pada diri sendiri. "Shani, aku tahu ini nggak adil buatmu. Aku janji, aku pasti akan membuat Yuna menerima ganjaran yang pantas atas perbuatannya. Tapi kita bukan polisi, Shani. Kita harus berpikir dengan bijak, baru bisa menilai situasinya secara rasional dan memanfaatkan keberadaannya." Tampaknya Arya sedang mati-matian membuatku mengerti mengapa dia ingin menyelamatkan Yuna. Mungkin, cara pandang Arya tidak sepenuhnya salah. Dia hanya ingin memanfaatkan Yuna sebaik mungkin, lalu membuat wanita itu mendapatkan hukuman yang setimpal. Di mata Arya, kami semua seolah bersekongkol menginginkan kematian Yuna dan dia berusaha keras ingin kami tahu bahwa Yuna masih berguna untuk dibiarkan hidup. Intinya, kami tidak berada pada tingkat pemahaman yang sama dan pembicaraan kami tidak akan mencapai titik temu kalau terus begini. "Shani, orang ini sama sekali nggak peka. Padahal kita juga nggak akan melakukan apa-apa pada Yuna. Sepertinya dia sudah cinta mati," sela Davin dengan nada mengejek lagi. Kesabaran Arya benar-benar sudah habis. "Tutup mulutmu!" "Dia istriku, jadi terserah aku mau bilang apa. Kami punya buku nikah!" Davin merasa tidak terima. Cemoohan barusan seketika berubah menjadi pemicu pertengkaran. Davin menatap Arya dengan pandangan menantang seolah siap berkelahi kapan saja. "Sudah. Kalau masih bisa dibicarakan baik-baik, jangan main tangan," cegahku seraya menarik lengan Davin. Davin mendengus, lalu duduk sampingku dengan kasar. Arya hanya memijat pelipisnya dalam diam. Kepalanya pasti sakit menghadapi suamiku ini. "Bisa keluar dulu, nggak? Ada yang perlu aku bicarakan dengan Shani," tanyanya sambil melihat ke arah Davin. "Nggak," jawab Davin dengan tegas. Aku tidak habis pikir. Saat memperhatikan tingkah Davin, aku tiba-tiba tertawa. Padahal hatiku masih mati rasa, tetapi aku baru sadar setelah beberapa saat. Barusan, apa aku tertawa? Rasanya … aneh sekali.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.