Bab 441
Davin menoleh melihatku. "Shani, apa kamu berharap aku adalah dalang di balik semua ini?"
"Sama sekali nggak," jawabku sambil menggeleng.
Tidak peduli apa pun tujuan dalang di balik semua ini, caranya sungguh kelewatan. Terlalu ekstrem.
Bisa-bisanya dia menggunakan cara kejam seperti ini untuk menyakiti orang lain demi mencapai tujuan pribadi. Aku tidak yakin orang semacam ini bisa dibilang 'baik'.
Davin tiba-tiba memegang tanganku, menarikku bersembunyi di belakang sebuah truk kargo, lalu melepas pakaian pelindungnya. "Kalau kamu nggak berpikir aku pelakunya, ya sudah, berarti bukan aku."
Tanda tanya besar menggantung di atas kepalaku. "Bagaimana kalau aku berpikir kamu dalangnya?"
"Hmm, maka aku akan menemukan pelaku di balik semua ini dan menggantikannya. Apa pun itu, aku akan selalu jadi orang yang kamu harapkan," jawab Davin dengan serius.
Aku hanya tersenyum mendengar jawabannya ini, aku tidak habis pikir. Wajah seriusnya itu terlihat agak konyol.
Namun, dia dengan cerdas menjawab pertanyaanku dan menghapus segala keraguan di hatiku.
Yesa pernah bilang kalau seorang Vincent Ismana adalah orang yang hanya memiliki IQ tanpa perasaan. Menurutku tidak begitu. Di mataku, Davin adalah orang yang memiliki IQ dan kecerdasan emosional yang sama tinggi. Kalau itu membuatnya jadi orang yang menakutkan, aku setuju.
Namun, dia menggunakan IQ-nya untuk berhadapan dengan orang lain sedangkan kecerdasan emosionalnya hanya dia gunakan untuk 'menggodaku'.
Aku menghela napas dan mengekor di belakangnya.
Pada saat itu juga, aku memeluknya dari belakang dan berkata dengan lirih, "Aku lelah sekali. Gendong aku."
Sebuah senyuman terukir di bibir Davin. Dia lalu menggendongku di punggungnya dan terus berjalan.
"Pak Davin." Entah sudah berapa lama kami berjalan, yang aku ingat hanya aku tertidur di punggung Davin.
Begitu membuka mata, aku mendapati Fendi sudah datang dengan mobil. Tidak cuma Fendi sendiri, dia datang bersama banyak orang. Pasti karena dia tahu bahwa lingkungan di sekitar kami tidak aman.
Aku sedikit terbelalak, lalu melihat ke arah Davin. "Kok bisa Pak Fendi datang secepat ini?"
"Pak Davin hilang selama beberapa hari dan posisi terakhirnya sebelum hilang ada di sekitar sini. Saya sudah sampai di lokasi ini dari tadi dan terus mencari-cari kalian," jelas Fendi.
"Bagaimana kondisi Yoga dan yang lainnya? Mereka semua nggak apa-apa, 'kan?" Tubuhku sudah tidak sanggup lagi. Rasanya tenagaku benar-benar terkuras habis sampai mau pingsan.
Selama berhari-hari mempertaruhkan nyawa dalam permainan maut di reruntuhan gedung ini, aku bisa bertahan karena bergantung pada adrenalin yang memicu tubuhku untuk terus bergerak.
Terjatuh dari tangga saja sudah sangat menyakitkan, tetapi lebih dari itu, aku juga kelaparan dan kurang tidur. Sekujur tubuhku sangat lemas sekarang.
"Semuanya baik-baik saja. Zane yang paling parah, tapi nyawanya masih tertolong. Yuna dibawa oleh orang-orang dari kelompok yang memodifikasi gen, jadi nggak mungkin dia mati di tangan mereka. Clara juga nggak terluka parah," jelas Fendi menenangkanku. "Selain mereka, semuanya cuma mendapat luka ringan."
Aku menghela napas lega, lalu mulai terlelap lagi.
Bahkan dalam dunia mimpi, aku bisa merasakan Davin terus menggenggam tanganku.
Dia … tidak pernah sekali pun melepaskanku.
Sebenarnya, sejak awal aku tahu kalau dalang di balik permainan yang mempertaruhkan nyawa manusia itu bukanlah Davin. Hanya saja, aku takut sekali. Aku takut dialah pelakunya.
…
Begitu bangun dari tidur lagi, tahu-tahu aku sudah berada di Rumah Sakit Kota Hairo. Aku langsung disambut dengan pemandangan Clara yang menangis di sebelah tempat tidurku, serta Arya yang duduk dengan kesal sambil melayangkan tatapan tidak bersahabat kepada Davin.
"Shani!" Begitu melihatku membuka mata, Clara langsung berteriak memanggil namaku dengan penuh semangat.
"Aku … Ini ... " Aku mengernyit bingung. Aku cuma tidur sebentar, jadi bagaimana bisa aku berakhir di ranjang rumah sakit begini? Kenapa mereka bertiga memasang tampang khawatir begitu?
"Shani, akhirnya kamu bangun juga." Clara bergegas turun dari tempat tidur, lalu menangis sambil memelukku erat-erat.
"Ben dan yang lainnya mana?" tanyaku sambil menepuk-nepuk punggung Clara.
"Ben sudah kembali ke kantor polisi. Kasus kali ini menarik perhatian pimpinan kami. Untungnya, banyak orang yang sangat peduli pada kita," jelas Clara perlahan, lalu tanpa ragu dia melanjutkan, "Ada hal-hal yang nggak bisa kujelaskan lebih detail. Kalian paham, 'kan? Bahkan pimpinan kami nggak habis pikir ada kasus seperti ini!"
Aku terdiam sejenak. Aku paham, dalang di balik semua ini pasti menarik perhatian masyarakat. Mau bagaimana pun juga, berita tentang kasus ini tidak bisa terelakkan.
Hanya saja, sekarang beritanya belum dipublikasikan karena takut akan menimbulkan kepanikan di masyarakat.
Setelah ini, pemerintah pasti akan campur tangan dan orang-orang dari organisasi modifikasi gen itu pasti sedang panik sekarang.
"Aku ... tidur lama sekali, ya?" Aku mendaratkan pandangan ke arah Davin yang langsung berdiri menghalangi Arya.
"Dua minggu … " jawab Arya lebih dahulu. Tampaknya dia sangat khawatir padaku.