Bab 436
Klon.
Huh ... sebuah kata yang mengerikan.
"Lalu Davin?" tanyaku dengan suara serak.
Kalau aku adalah subjek eksperimen, bagaimana dengan Davin?
"Dia ... bukan sepenuhnya subjek eksperimen," ujar Yuna menahan sakit sambil bersandar di dinding. "Dia memang sudah melewati proses seleksi genetik, tapi dia cuma subjek eksperimen modifikasi gen. Nggak seperti kamu, dia masih manusia normal. Tapi, kamu ... bukan ... Sanny, kamu sama sekali nggak bisa disebut manusia. Bagi mereka, kamu cuma hewan ternak yang bisa disembelih seperti sapi atau kambing yang dipelihara peternak. Kamu adalah subjek eksperimen mereka. Mereka bisa merancang 'kecelakaan' untuk menghapus keberadaanmu kapan saja kalau hasil eksperimennya nggak bagus."
Yuna melanjutkan, "Seperti Dolly, domba hasil klon pertama di dunia, kamu cuma ditakdirkan sebagai sampel yang disimpan di rak laboratorium bawah tanah. Aku menduga ... ada banyak sampel mayatmu di stasiun eksperimen bawah tanah sindikat rekayasa genetik."
"Huh ..." Aku mencibir dan bangkit dengan lemah. Kepalaku terasa kosong dan aku tidak tahu harus bicara apa. Sambil berpegangan pada dinding, aku perlahan berjalan ke bawah.
Klon?
Konyol sekali.
Film fiksi ilmiah telah mencoba menunjukkan hasrat dan keburukan manusia.
Kloning dilakukan dengan alasan kemajuan, evolusi, kehidupan abadi, melawan penuaan dan yang lainya. Terlalu banyak sisi gelap hati manusia yang belum diketahui.
Sisi gelap itu adalah hal yang asing bagi sebagian besar orang. Mereka bahkan tidak bisa membayangkan seberapa mengerikan sisi gelap itu.
Ya, bisa hidup dengan normal adalah sebuah kebahagiaan.
"Shani!" Arya berteriak memanggilku.
"Di awal film The Godfather ada kutipan, 'Di balik kekayaan yang besar, tersembunyi kejahatan yang besar.' Karl Marx juga mengatakan, 'Ketika modal datang ke dunia ini, setiap porinya meneteskan darah kotor.'"
Suaraku serak saat berbicara. Satu per satu, langkahku menuntun ke bawah.
Kata-kataku tidak cuma ditujukan untuk Arya, tetapi juga untuk diriku sendiri.
Kemegahan dan kekayaan yang kita lihat di dunia ini hanyalah apa yang diperbolehkan para penguasa dunia untuk kita lihat.
Di balik itu semua, ada sisi gelap yang tak terbayangkan.
"Shani," ujar Arya, tampak khawatir. "Ini bukan salahmu."
Aku menoleh ke arah Arya dan tersenyum sinis. "Aku nggak pernah menganggap kalau ini kesalahanku."
Jadi, siapa yang salah?
"Jaga wanita itu. Jangan biarkan dia sembarangan bicara."
Aku menunjuk Arya dan berkata lagi, "Arya, kamu baik pada semua orang, kecuali Shani. Jangan terlalu baik atau kebaikanmu itu akan dimanfaatkan orang."
"Aku nggak salah. Davin juga nggak salah," ujarku sambil berbalik dan lanjut berjalan. "Soal Yeno dan komplotannya … "
"Katakan pada dia, aku akan menghancurkan mereka dengan tanganku sendiri."
Aku tidak akan mengalah.
Aku juga tidak akan mundur.
Orang-orang yang mencoba membunuhku sebenarnya ingin memanfaatkanku untuk membongkar jaringan ini. Meskipun tujuannya baik, cara yang mereka gunakan kejam. Mereka berhasil mengungkap Yeno dan komplotannya yang melanggar kemanusiaan dengan melakukan eksperimen genetik.
Saat ini pihak kepolisian sudah sangat serius menanggapi sehingga Yeno dan yang lainnya mulai panik.
Namun, ini hanya permulaan.
"Shani, aku akan membantumu," ujar Arya pelan.
Meskipun menyadari bahwa risikonya sangat tinggi, dia telah membuat keputusan.
"Tapi, sebelum itu, aku harus menemukan si pembunuh dulu," jawabku.
Aku mulai curiga bahwa orang yang berada di balik permainan maut ini sedang mengujiku. Dia tampaknya ingin menuntunku untuk menemukannya dan bergabung dengannya untuk bersama-sama melawan sindikat rekayasa genetik.
Aku pun sampai di lantai satu.
Davin berdiri di dekat api unggun dan membuka kedua tangannya ke arahku.
Mataku berkaca-kaca dan aku segera melompat dari tangga, menghambur ke pelukannya.
"Jangan takut. Kita sudah di lantai satu. Di sana ada cahaya," ujar Davin sambil menunjuk ke celah di dinding yang memancarkan sinar.
Kota Hairo adalah tempat yang seharusnya disinari cahaya. Parasit-parasit berhati gelap tidak boleh dibiarkan bertindak semaunya.
"Ya. Ayo, kita pulang."
Tatapanku lalu jatuh pada sosok Qiara. Bajunya berlumuran darah dan dia duduk di sana dengan napas terengah-engah. Namun, tatapannya padaku penuh makna.
Benar saja ... ada bekas cakaranku di punggung tangannya.