NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Misteri KematiankuMisteri Kematianku
Oleh: NovelRead

Bab 434

Mendengar suara Arya, Yuna kembali memiliki harapan. Dengan tergesa-gesa, dia menuruni tangga, tetapi kemudian tergelincir. Sambil merintih kesakitan, Yuna memanggil, "Arya … " Aku sejenak mengamati kondisi di bawah dengan bantuan cahaya obor. Benar saja, jalur evakuasi di lantai tujuh langsung menuju ke lantai satu. "Dari mana kamu bisa mendapatkan obor?" tanyaku, setengah berteriak. "Liftnya jatuh dan terbakar, jadi aku mengambil kayu sisa konstruksi untuk membuat obor ini." Arya memang cerdas. Dia memahami bahaya jika tidak ada penerangan dan menggunakan sampah di gedung untuk membuat obor. "Kalau tahu akan begini, lebih baik kita nggak keluar dari lift," ujar Yesa dengan nada mengeluh. "Iya, tapi insting kita akan tetap menyuruh kita keluar. Lagian, kita nggak tahu apa kita bisa selamat waktu liftnya jatuh." Aku terus menuruni tangga. Dengan bantuan pencahayaan dari lantai satu, aku sudah tidak harus meraba-raba dalam kegelapan lagi. "Waktu menghadapi situasi yang nggak pasti, naluri akan membuat kita memilih jalan yang paling aman. Itu sudah sifat dasar manusia," ujarku sambil menatap Davin yang tersenyum padaku. Senyumnya tidak pernah gagal memberiku rasa nyaman. "Setelah berhasil keluar dari sini, kita harus lebih menghargai hidup. Hiduplah dengan baik, hindari perbuatan ilegal dan bersikap baiklah kepada semua orang. Selain itu, jangan berbuat kejahatan atau menindas dan mengganggu orang lain. Jadilah diri sendiri. Jangan cari masalah, tapi juga jangan takut dengan masalah," ujar Ben dengan bijaksana sambil membopong Clara. Rangkaian peristiwa tragis dalam permainan maut ini adalah kejahatan yang dirancang oleh orang yang menjadi korban penindasan. Entah di panti asuhan atau di sekolah, para penindas selalu sewenang-wenang. Demi menikmati kesenangan sementara, mereka tega menyakiti orang yang lebih lemah. Mereka sama sekali tidak memikirkan akibat dari perbuatannya. Saat korban penindasan menggunakan metode yang lebih kejam untuk membalas, apa mereka bisa protes? Saat kami sampai di lantai empat, Arya menyusul ke atas. "Orang yang terjatuh juga dari sindikat rekayasa genetik. Dia pakai topeng." Arya lantas menatapku dengan ekspresi khawatir. "Kamu nggak apa-apa, 'kan?" Davin sontak merasa kesal dengan pertanyaan Arya dan bertanya dengan sengit, "Kenapa kamu peduli sama istriku?" Tanpa menghiraukan pertanyaan Davin, Arya mengecek kondisiku dari kepala hingga kaki dengan cermat. Dia baru bisa bernapas lega setelah mendapati bahwa aku baik-baik saja. Arya hendak kembali berbicara, tetapi Yuna sudah lebih dahulu memeluknya. Tangisannya terdengar keras saat dia mengeluh dengan sedih, "Arya, aku ... aku terluka. Mereka mencoba membunuhku waktu situasi sedang kacau … " Yuna akhirnya menemukan tempat bersandar karena orang yang bersedia melindunginya telah kembali. Dia langsung menumpahkan air matanya di pelukan Arya. Sambil memegangi perutnya yang terluka, Yuna menatapku dengan tatapan permusuhan. "Aku yakin Sanny yang sudah menusukku. Saat kejadian, nggak ada seorang pun di dekatku. Cuma dia yang nggak kenapa-kenapa. Dia pasti ingin membunuhku karena aku mengetahui rahasia tentang Shani!" Aku memutar kedua bola mataku dengan ekspresi mencemooh. Ini adalah sifat dasar manusia. Sebanyak apa pun ditolong, mereka akan lupa. Ini seperti air susu dibalas air tuba. "Kamu memang lebih baik mati saja." Clara yang terkulai lemas di dada Ben tak lupa mencaci kelakuan buruk Yuna. Yuna makin mempererat pelukannya di tubuh Arya. "Arya, tolong bantu aku … " Arya pun memeriksa perut Yuna yang terluka dan buru-buru menggendongnya sambil menatapku dengan ekspresi panik. "Shani ... dia nggak boleh mati sekarang. Dia tahu informasi penting. Lebih baik kita turun secepatnya." "Kamu tetap di sini sebentar." Aku menghentikan Arya yang hendak beranjak dan membiarkan yang lain untuk turun terlebih dahulu. Davin menatapku sejenak. Dia mengusap rambutku dengan lembut sebelum akhirnya menggotong Zane menuruni tangga. Dia selalu paham dengan rencana dan pemikiranku. Ketika semua orang sudah berjalan ke bawah, Yuna menatapku dengan ekspresi panik. Tatapannya beralih kepada Arya untuk meminta pertolongan. "Arya, dia mau membunuhku. Dia ... dia mau bunuh aku. Cepat gendong aku untuk meninggalkan tempat ini, aku mohon ... " Teriakan Yuna sungguh histeris. Dia terus memohon kepada Arya untuk menjauhkan aku darinya. Arya menatapnya dengan lekat. Dia tidak menuruti permintaan Yuna karena pada akhirnya dia memilih diam di tempat. Aku mencibir dengan sinis. "Kamu nggak salah menebak. Aku memang akan memanfaatkan kesempatan ini untuk mengakhiri hidupmu … " Aku menarik belati dan langsung menodongkannya ke leher Yuna. Aku memeriksa tangannya dengan teliti untuk memastikan apa dia memiliki bekas cakaran di punggung tangannya. "Apa kamu pikir aku akan membiarkanmu hidup lebih lama?" Aku menjauhkan tubuhnya dari pelukan Arya sebelum menjatuhkannya ke bawah dengan tendanganku. Yuna langsung kesakitan di sekujur tubuhnya. Dia hanya bisa meringkuk tak berdaya. Saking sakitnya, dia tidak punya tenaga untuk menjerit. "Shani … " Arya menahan napasnya dengan panik. Dia secara naluriah mencoba menggenggam tanganku untuk menghentikan tindakanku. Dia tampaknya khawatir aku betul-betul akan membunuh Yuna.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.