Bab 433
"Jangan takut. Aku akan selalu bersamamu sampai kita berhasil keluar," bisikku kepada Clara. Aku mencoba menghiburnya agar tenang.
"Cepat, kita harus pergi dari sini!" Ben membopong Clara dan sedikit terhuyung-huyung saat melangkah maju.
"Ikuti aku … " Aku berjalan di depan. Sambil mencari jalan, aku memastikan Ben tetap dekat di belakangku.
"Qiara? Kamu nggak apa-apa' kan?" seru Yoga dengan cemas. Dia buru-buru berjongkok untuk mengecek kondisi Qiara.
"Dia terluka parah!" seru Yesa setelah melihat kondisi Qiara. "Perutnya ditusuk."
Setelah memeriksa kondisi Qiara, Yesa menyuruh Yoga menggendong Qiara yang nyaris kehilangan kesadaran.
"Jangan lupa dengan Zane." Posisi Zane masih berada di tempatnya semula.
Sesampainya di tempat Zane, kami menemukan dia tergeletak lemah. Dengan hati-hati, kami mengangkat tandunya dan melanjutkan perjalanan.
"Kumohon tolong aku … " Sebuah tangan tiba-tiba mencengkeram pergelangan kakiku.
Aku menunduk dan melihat bahwa itu adalah Yuna.
Aku menghentikan langkahku dan berkata pelan, "Selain Arya, siapa yang mau menolongmu? Kamu selalu memanfaatkan kebaikan orang lain. Sudah waktunya kamu berhenti."
Aku bisa merasakan jari-jari Yuna bergetar hebat. Insting bertahan hidupnya yang kuat membuatnya tetap mencengkeram kakiku dengan segenap tenaga. "Kamu pikir dia mendorongku ke luar lift untuk menyelamatkanku? Sanny, kamu naif sekali. Dia melakukan ini untuk Shani! Orang hidup nggak mungkin bisa melawan orang mati. Inilah kenapa aku nggak bisa mengalahkan Shani."
Yuna berusaha menahan sakit dengan segenap kekuatannya. Dia memberikan penawaran, "Aku masih berguna. Aku tahu rahasia Yeno. Arya takut kalian nggak akan mengetahui rahasia ini, jadi sekalipun harus mati, dia nggak ragu menyelamatkanku."
Aku mengerutkan kening. Tanpa menanggapi Yuna, aku melayangkan tendangan kencang ke tangan Yuna hingga pegangan tangannya di kakiku terlepas. "Aku nggak punya kewajiban menolongmu. Kalau masih mau hidup, bangunlah sendiri."
Isak tangis Yuna terdengar tak berdaya. Namun, keinginannya untuk terus hidup membuatnya berusaha bangkit. Dia mencengkeram ujung pakaian Clara, seolah-olah memohon kepada Ben agar ikut membawanya keluar.
"Davin … "
Kami pun bergegas menuju ke arah datangnya suara pipa baja tadi.
Namun, suara ketukan itu tiba-tiba berhenti dan kami mendengar suara perkelahian sebagai gantinya.
Aku sadar bahwa masih ada orang lain yang sekarang mungkin berusaha menyerang Davin.
"Davin!" Aku memanggil dengan panik dan buru-buru menghampiri.
Bruk! Terdengar suara sesuatu yang terjatuh dari ketinggian.
"Davin!" Aku memanggil dengan napas tersengal. Dalam kegelapan, aku yang merasa cemas mencoba terus bergerak ke depan.
Davin tidak menjawab sehingga tenggorokanku terasa tercekat.
Aku benar-benar cemas. Jantungku berdebar kencang saat rasa takut mulai menjalar ke seluruh tubuh.
"Aku di sini." Pada saat perasaanku kalut dan tak berdaya, sebuah tangan merengkuhku ke dalam pelukan.
Napasku pun perlahan-lahan menjadi stabil. Aku mempererat pelukan Davin di tubuhku sambil berbisik, "Aku ... aku nggak sanggup tanpa dirimu."
Inilah perasaanku yang sebenarnya.
Aku tidak sanggup kehilangan Davin.
"Aku akan terus berada di sisimu selamanya … " balas Davin lirih. Dari suaranya yang parau, dia jelas terluka.
Aku langsung memeriksa Davin dengan perasaan khawatir dan baru merasa tenang setelah yakin dia tidak mengalami cedera parah.
"Semuanya, ayo kemari dan saling bergandengan." Davin tahu bahwa kami tidak bisa berlama-lama di sini. Dia pun menyuruh semua orang untuk maju sambil berpegangan tangan.
"Jangan jauh-jauh dari dinding dan berjalanlah perlahan ke bawah." Davin menempelkan badannya ke dinding dan menggantikan Yoga mengusung tandu. Sebagai gantinya, Yoga menggendong Qiara dan pergi lebih dahulu.
Klik! Ada suara dari bawah jalur evakuasi dan tampak cahaya obor di sana.
"Hei! Apa kalian di sana?" Terdengar teriakan dari lantai satu di gedung terbengkalai ini. Itu suara Arya.
"Bagaimana keadaan kalian semua?" seru Arya.