NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Setelah menyepakati waktu serah terima studio dengan Vivi, Selena kembali ke rumah Keluarga Horman. Dia memberi dirinya waktu setengah bulan sebagai hitung mundur, karena sepuluh tahun terlalu banyak hal yang terjadi. Dia tidak bisa pergi begitu saja, masih banyak yang harus dibereskan. Yang paling penting adalah urusan rumah tangga Keluarga Horman. Rumah vila seluas lima ratus meter persegi ini tidak memiliki satu pun asisten rumah tangga, hanya karena satu ucapan dari Niko: "Terlalu berisik". Setiap hari, Selena sendiri yang membersihkan rumah. Selena akan pergi, jadi akan dia lakukan dengan elegan, seperti seorang sekretaris sempurna yang tahu diri. Ini adalah kebanggaannya sebagai putri Keluarga Zamira. Susan jelas tidak bisa mengurus rumah, jadi Selena pun mulai mencari pembantu yang baik untuk suami dan anaknya. Dari siang hingga sore, dia mewawancarai banyak orang, meminta mereka memasak sup sesuai selera Niko. Malamnya, saat Selena sedang makan, suara tergesa-gesa terdengar dari pintu. "Pak Doni, cepat panggil dokter keluarga!" Niko yang berteriak. Selena yang sedang hamil sangat sensitif terhadap bau darah, langsung merasa mual. Dia mengernyit, perasaan khawatir muncul secara naluriah. Apa yang terjadi? Dia terluka? Selena spontan menuju pintu depan, dan mendapati Niko sedang membopong seorang wanita, berlari masuk. Air hujan yang dingin di Kota Bellis membasahi rambut dan bahunya, tetapi Niko tidak peduli. Niko meletakkan wanita itu di sofa, lalu mendesak dengan marah, "Orang-orang ke mana? Cepat panggil dokter!" Selena tidak perlu melihat wajah wanita itu untuk tahu siapa dia. Susan. Dengan jubah tidur, Selena berdiri di samping dan bertanya dengan tenang, "Dia kenapa?" Karena pagi tadi mereka bertengkar, Niko melirik Selena dan tampak enggan menjawab. Sesaat kemudian, dia berkata dengan nada kesal, "Ketemu penagih utang, bahunya ditusuk." "Penagih utang? Utang siapa?" Selena penasaran. Seorang presdir Grup Astron, masa bangkrut? Belum sempat Niko menjawab, Susan yang pucat langsung berkata dengan suara lemah, "Maaf, Kak Selena, ini salahku." "Ayahku punya utang judi di luar, entah gimana mereka tahu aku itu sekretarisnya Pak Niko. Malam ini, mereka menunggu di jalanan dan berusaha menculikku. Aku berusaha melawan, jadi terluka." "Untung saja Pak Niko sedang lembur dan kebetulan lewat. Kalau nggak, mungkin aku sudah dibunuh." "Jangan bicara sembarangan." Niko menegurnya dengan serius. "Selama aku ada, mereka nggak akan berani macam-macam sama kamu, tapi tempat tinggalmu sekarang nggak aman. Aku sudah lapor polisi. Sebelum pelaku tertangkap, kamu tinggal dulu di rumah Keluarga Horman." "Nggak boleh." Tanpa berpikir panjang, Selena langsung menolak. Mendengar itu, Niko mengangkat kepalanya dan menatap Selena. Selena masih tampak sedikit pucat, tetapi sudah jauh lebih mendingan. Mungkin suasana hatinya jauh lebih baik karena hari ini dia sudah mengundurkan diri dan berdamai dengan sahabat lamanya. Kedua pipinya bersemu merah muda. Dia mengenakan jubah tidur sutra berbulu, membuatnya tampak seperti kucing Persia yang malas. Amarah Niko yang sejak pagi membara, mendadak meluap saat mendengar penolakan dari Selena. Niko langsung memalingkan wajah, seolah mengejek. Dia langsung menyimpulkan Selena memang hanya ingin mencari perhatian. Di luar tampak tenang, tetapi dalam hati tetap cemburu terhadap Susan. Dia memperingatkan dengan nada menegur, "Selena, ini rumah Keluarga Horman." Maksudnya adalah dialah tuan rumah di sini. Selama dia mengizinkan, siapa pun boleh tinggal. "Tetap nggak boleh." Selena berkata tegas, "Kamar nggak cukup, dia nggak punya tempat untuk tidur." Rumah Keluarga Horman sangat besar, terdiri dari tiga lantai, tetapi kamar tidur yang bisa digunakan hanya ada tiga. Satu untuk Simon, satu untuk Selena, dan satu untuk Niko. Semuanya sudah terisi. Dulu, rumah Keluarga Horman ini punya beberapa kamar tamu. Namun, saat mereka baru menikah dan masih mesra, Niko dengan penuh semangat merenovasi semuanya. Ada ruang ibu dan bayi yang mewah, ruang pakaian, ruang ganti dengan lemari khusus barang-barang mewah, serta ruangan yang digunakan Selena untuk mengisi waktu, seperti ruang taman bunga, studio lukis, dan ruang yoga. Tidak ada kamar tidur tambahan. Sebenarnya, dua dari tiga kamar tidur itu dirancang oleh Niko untuk anak laki-laki dan perempuan mereka kelak. Namun, pasangan yang baru menikah tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari mereka akan tidur di kamar terpisah karena retaknya hubungan. Tidak disangka Selena menggunakan alasan ini untuk menolak Susan tinggal. Wajah Niko langsung menggelap. Suara Niko terdengar sangat kesal, "Selena, kamu tidur di kamar utama." Maksudnya jelas, mereka bisa tidur bersama. Serenggang apa pun hubungan mereka saat ini, tiga bulan lalu mereka masih seranjang. Jika tidak, dari mana datangnya anak di dalam perut Selena? Namun, Selena tidak peduli karena saat itu Niko hanya sedang mabuk. Bercinta tanpa ada rasa cinta sedikit pun, apalagi hasrat. Selena berdiri tegak di tempat, sikap bersikerasnya membuat Niko semakin marah. Di saat genting, Simon turun dari lantai atas dengan mata mengantuk. "Papa, Mama, ada apa? Aku dengar kalian bertengkar lagi ... " Dia mengeluh dengan suara kecil. Kemudian, dia langsung terjaga ketika melihat Susan di sofa, masih berdarah dan sedang diobati. "Tante Susan!" Simon berlari menghampiri. "Tante, kenapa kamu terluka? Sakit nggak? Kamu baik-baik saja, 'kan?" Susan tersenyum, mengelus rambut Simon. "Nggak apa-apa, Simon sayang. Kamu kembali tidur, ya." "Nggak mau! Tante terluka, Simon nggak akan tidur sampai Tante sembuh!" Anak kecil itu sangat lengket. Dia langsung memeluk Susan erat-erat dan tidak mau melepaskan. Melihat Simon begitu menyukai Susan, Selena tiba-tiba tersenyum tipis. "Simon, jangan khawatir. Beberapa hari ke depan, mungkin Tante Susan akan tinggal bersama kita. Tapi karena kamar di rumah nggak cukup, gimana kalau Tante Susan tidur sama kamu? Boleh?" "Sungguh?!" Mata Simon langsung membesar, wajahnya penuh kegembiraan. "Boleh, boleh ... " Baru bicara setengah, dia buru-buru menutup mulutnya. "Bukan begitu, Mama ... aku nggak bermaksud seperti itu ... " Dia lupa, Mama sangat tidak suka kalau dia terlalu dekat dengan Tante Susan. Dulu, saat dia bermain terlalu lama dengan Susan dan lupa pulang, Mama sangat marah. Sejak saat itu, Papa mengajarinya agar tidak menunjukkan betapa baiknya Tante Susan di depan Mama. "Nggak apa, kamu boleh bermaksud seperti itu." Suara Selena terdengar pelan. Di balik jubah tidur, tangan yang dingin menyentuh perutnya. Apa yang disebut melahirkan anak yang tidak tahu berterima kasih, hari ini dia benar-benar mengerti. Selena masih ingat hari kelahiran Simon. Dia mengalami kesulitan melahirkan selama dua hari penuh. Dokter bahkan mengatakan tidak bisa menyelamatkan keduanya, dan meminta Niko memilih antara menyelamatkan ibu atau anak. Saat itu, Niko dengan mata memerah, berteriak histeris di luar ruang operasi, meminta untuk menyelamatkan Selena. Namun, Selena menolak. Sambil menangis dan suara gemetar, dia memohon pada dokter agar menyelamatkan anaknya. Asalkan anaknya dengan Niko selamat, dia rela kehilangan segalanya. Pada akhirnya, dengan sisa tenaga terakhir dan tanpa satu pun suntikan bius, dia melahirkan Simon secara normal. Dia meninggalkan pekerjaannya, membesarkan Simon dengan tangannya sendiri. Balasannya? Simon menyukai wanita lain, bahkan ingin mengganti ibunya. Selena benar-benar lelah. Bahkan anak yang kini dikandungnya, saat hasil pemeriksaan keluar minggu lalu, reaksi pertamanya adalah ingin menggugurkannya. Dia sudah terlalu putus asa, tidak pernah berpikir untuk memberikan Niko anak lagi. Namun, saat teringat keputusannya untuk pergi, Selena seperti melihat secercah harapan. Kali ini, tanpa belenggu Keluarga Horman, mungkin saja dia dan anaknya bisa tumbuh bebas dan lebih baik, 'kan? Memikirkan itu, Selena tidak lagi peduli. Dia pun berbalik dan pergi. Sikap Selena itu tidak bisa dimengerti oleh Simon. Dia hanya terpaku menatap punggung ibunya yang menjauh. Setelah berdiam cukup lama, dia tiba-tiba menangis keras. Anak kecil itu sensitif, meskipun tidak paham apa-apa. Ikatan darah seakan memberikannya firasat bahwa dia telah ditinggalkan untuk selamanya. "Uwaaa!" Susan terkejut, buru-buru memeluk Simon dan menenangkan. "Simon jangan sedih, Tante ada di sini. Simon, jangan takut ya." Susan menatap Niko dengan panik, mata beningnya tampak mengisyaratkan keluhan. Lihatlah, Selena lagi-lagi membuat Simon menangis. Seketika, ekspresi Niko makin masam. Tatapannya yang dalam dan tajam tertuju pada lantai dua. Pada akhirnya, dia tidak mengatakan apa-apa lagi.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.