Bab 5
Malam ini, Selena tidur tanpa bermimpi. Keesokan paginya, dia turun ke bawah hendak menyiapkan sarapan untuk diri sendiri.
Namun, aroma makanan sudah tercium ketika dia menuruni tangga.
Susan telah menyiapkan sarapan untuk satu keluarga, dan saat ini dia sedang menggiling biji kopi, hendak menyeduh kopi untuk Niko.
Begitu melihat Selena, Susan tersenyum ramah dan berkata, "Kak Selena sudah bangun ya. Ayo sini, aku sudah buatkan sandwich. Nggak tahu kamu suka atau nggak."
"Masakan Tante Susan begitu enak, siapa yang nggak suka?"
Simon menjawab dengan senyum ceria, lalu diam-diam melirik Selena, wajahnya menyimpan sedikit rasa takut.
Dia takut pada ibunya, sekaligus membenci ibunya.
"Mama jadi aneh belakangan ini," pikir Niko dalam hati. Sebelumnya, Selena tidak pernah menatap Niko dengan tatapan yang begitu dingin.
Setiap kali Niko memuji Susan, Selena akan terpicu dan berusaha lebih baik terhadap Niko. Dengan begitu, Niko bisa mendapatkan waktu untuk bersantai dari jadwal les yang padat.
Selena bisa menebak apa yang dipikirkan putranya ini, tersenyum sinis.
Niko pikir, ibu kandungnya ini tidak bisa membaca pikiran kekanak-kanakannya kah?
Dulu, Selena memang sangat cemburu pada Susan. Bukan karena Susan menyayangi Simon, melainkan karena dia tidak bisa menerima bahwa suaminya sangat dekat dengan "orang ketiga" ini.
Soal perhatian Susan pada Simon, Selena selalu bersikap setengah acuh.
Simon adalah cucu tertua Keluarga Horman. Setelah melahirkan, ibu mertua berkali-kali mengingatkannya, pendidikan anak tidak boleh longgar.
Padahal Selena selalu mendorong anaknya untuk tumbuh bahagia. Dia tahu Simon adalah anak yang ceria dan penuh rasa ingin tahu.
Suka baca komik, main game, menjelajah alam. Namun, sebagai istri Niko, sebagai nyonya dari Keluarga Horman yang selalu jadi sorotan di lingkaran sosial kelas atas, dia harus bersikap tegas dan kaku.
Itulah sebabnya Simon sering mengadu pada papanya, bilang Mama terlalu galak.
Yang tidak Niko tahu, meskipun tampak keras, Selena telah mempelajari berbagai metode pendidikan dari seluruh dunia, menyusun sistem belajar yang seimbang antara belajar dan istirahat.
Di depan, Selena memang tampak sebagai ibu yang keras. Namun, saat Susan masih jadi anak magangnya, Selena sendiri yang menggambar buku dongeng, lalu memohon agar Susan menggunakan mainan itu untuk mendekati Simon.
Ikan asam manis favorit Simon pun diajarkan oleh Selena kepada Susan.
Dia hanya tidak menyangka, semua usaha itu kini menjadi pisau yang menusuk diri sendiri. Saat mengingat hasil yang begitu konyol ini, wajah Selena tampak dingin, sorot matanya pun penuh dengan keputusasaan.
"Baju yang kamu pakai itu?"
Susan seketika gugup, tidak menyangka kalimat pertama Selena adalah pertanyaan itu.
"Ini ... gaun. Semalam aku nggak punya baju bersih, jadi aku ambil saja dari ruang ganti. Kak Selena, kenapa?"
Kenapa?
Seorang orang luar, mengenakan pakaian miliknya, menyiapkan kopi untuk suaminya, memasak untuk anaknya, dan masih bertanya "kenapa" padanya?
Niko mungkin merasa Selena akan mulai "berulah" lagi. Dia mengernyit dan segera berkata, "Selena, cuma satu baju. Jangan diributin."
"Kamu bisa beli seratus baju baru dengan kartu hitam yang kuberikan padamu."
Mendengar itu, Selena tidak bisa menahan diri untuk tertawa sinis.
Dia merasa mual, entah karena efek kehamilan atau karena belum sarapan.
"Niko, kamu lupa ya, gaun itu ... "
Baju itu Selena kenakan saat pertama kali mereka melakukan.
Saat itu, Selena masih muda, baru lulus kuliah, penuh rasa ingin tahu tentang dunia.
Di sebuah pesta bisnis, dia pikir bisa membantu perusahaan mendapatkan kontrak triliunan. Dia pun minum banyak dengan klien, lalu sadar bahwa minumannya telah dicampur obat. Tanpa sengaja, dia akhirnya tidur dengan presdir perusahaan.
Keesokan paginya, dia bangun dan mendapati pakaiannya sudah dirobek oleh Niko. Dia tidak bisa pergi kerja, hanya duduk di ranjang dengan wajah memerah.
Saat itu, Niko merasa ekspresinya itu lucu. Niko lalu menyuruh asisten membelikan gaun khusus ini. Sejak kejadian ini, Selena pun menjadi sekretaris pribadi Niko.
Selena ingat semua itu dengan sangat jelas. Karena itulah awal hubungan mereka.
Tidak disangka, Niko telah melupakan semuanya. Bahkan membiarkan Susan memakai pakaian yang pernah Selena kenakan. Sungguh menjijikkan!
Niko menatap wajah Selena yang penuh emosi dan terdiam kehilangan kata-kata, lalu hanya tersenyum mengejek, dan matanya yang gelap memancarkan tatapan aneh.
"Apa maksudmu? Katakan dengan jelas!"
"Selena, kamu sebegitu nggak rela dengan baju ini?"
Susan langsung menangkap ketegangan yang memuncak. Dia buru-buru maju, menggenggam tangan Selena erat-erat.
"Kak Selena, jangan salahkan Pak Niko. Dia nggak tahu apa-apa. Aku yang pilih sendiri gaun ini."
"Pak Niko hanya merasa kasihan padaku, jadi nggak suruh aku lepasin. Aku nggak sangka Kak Selena akan begitu keberatan ... "
"Maaf, Kak Selena. Aku akan segera ganti baju ini. Tolong jangan marah ya!"
Susan memohon dengan suara gemetar, air mata hampir jatuh dari matanya.
Selena merasa jijik, lalu menepis tangan itu. "Nggak perlu. Gaun itu cocok di tubuhmu. Anggap saja hadiah dariku."
"Bukan cuma gaun ini. Apa pun yang kamu suka di ruang gantiku, ambil saja."
"Termasuk ... "
Selena menatap Niko, senyum mengejek di muncul wajahnya.
"Segala yang pernah jadi milikku di rumah ini, semuanya milikmu sekarang, Susan."
"Selena!"
Mendengar itu, Niko akhirnya tidak bisa menahan diri. Dia membentak sambil menepuk meja.
"Harus ya kamu memojokkan dia seperti ini?"
"Bukan aku yang memojokkan dia. Kalian berdua yang memojokkan aku."
Ding! Ding!
Suara notifikasi membuat Selena menunduk menatap layar ponselnya.
Hitung mundur: tersisa tiga belas hari.
Dengan situasi seperti ini, tampaknya Selena tidak bisa menunggu selama itu, jadi harus meninggalkan mereka lebih cepat.
Selena tidak menyangka, Niko bisa begitu kejam padanya. Setiap hari, Niko terus menginjak batas kesabarannya.
Hari ini soal baju. Besok apa lagi?
Saat pikiran itu berputar, Selena tiba-tiba mencium aroma samar dari tubuh Susan.
Parfum?
Aroma bunga yang lembut, nyaris tidak terdeteksi dari jauh. Namun, saat mendekat, wanginya menusuk hidung.
Selena memang sensitif terhadap aroma. Wajahnya langsung menjadi pucat. Di benaknya, terlintas catatan yang dulu dia buat di meja kerja di kantor.
[3. Dia tidak mengizinkan wanita pakai parfum.]
"Bagus. Niko, jadi begini caramu?" pikirnya.
"Selama wanita ini ada, semua prinsip bisa kamu langgar ya?" lanjutnya dalam benak.
Selena tertawa, air mata mengalir tanpa sadar. Hanya sekejap, dia menyadari bahwa dia tidak bisa menunggu lebih lama lagi.
Dia ingin pergi sekarang juga.
Ayah dan ibunya menunggunya. Kakeknya juga menunggunya. Sahabat-sahabat lamanya pun menunggunya.
Mengapa Niko masih bisa berdiri di sini, membiarkan wanita lain menghina dan menginjak sepuluh tahun masa mudanya?
"Kalau kamu merasa tertekan, pergi saja!"
Suara Niko dingin, penuh ledakan emosi.
"Wajahmu selalu masam, seakan-akan semua orang bersalah sama kamu saja! Selena, kamu ingin bercerai, 'kan? Oke, kita bercerai saja!"
Dada Selena naik turun, napasnya tersengal karena emosi. "Oke, kalau begitu ... "
Belum sempat mengucapkan kata "kita bercerai", dia tiba-tiba mencengkeram kerah bajunya, tubuhnya memerah, napasnya terputus-putus.
Matanya menatap Susan dengan ketidakpercayaan.
Parfum ...
Aroma ... bunga ...
Selena tersenyum getir, lalu mengucapkan kalimat terakhir, "Niko, kalau kamu ingin aku mati, langsung bilang saja."
Setelah itu, tubuhnya ambruk. Dia kehilangan kesadaran sepenuhnya.