Bab 10
Selena mengerutkan keningnya. Di seberang sana, Vivi mungkin sudah mendengar teriakan Niko.
Secara refleks, dia menekan tombol tutup panggilan.
Melihatnya memutuskan telepon, suasana hati Niko semakin buruk.
"Siapa yang tadi dia telepon?" pikirnya.
Menatap surat perjanjian cerai yang dilemparkan ke hadapannya, hati Selena justru terasa tenang.
"Sudah tanda tangan?"
Nada bicaranya datar, tenang seperti sedang bertanya apakah dia sudah makan.
Kening Niko berkedut. Dia tidak tahu apakah harus tertawa marah atau menganggap Selena sedang "ngambek". Dia mengulang pertanyaannya, "Kamu nggak mau Simon? Nggak mau anak yang kamu kandung selama sembilan bulan itu?"
"Ya!"
Selena mendongak menatap Niko.
Matanya yang biasanya jernih dan terang seperti mata air ...
Kini tidak lagi menyimpan kerinduan dan ketergantungan terhadap Niko.
Dengan tenang Selena berkata, "Aku nggak mau dia lagi. Lagi pula, Simon juga nggak suka aku sebagai ibunya."
Saat mengucapkan kalimat terakhir, rasa sakit tetap menyelinap di hati Selena.
Dada Niko terasa sesak. Dia mengerutkan kening dan berkata, "Simon masih kecil, dia nggak tahu kalau kata-katanya bisa menyakitimu. Bagaimanapun juga, kamu tetap ibunya."
Niko tidak mengerti. Selena yang dulu menganggap Simon sebagai segalanya, bagaimana bisa sekarang berkata tidak mau Simon lagi?
"Ibu dan anak nggak ada dendam berlarut-larut. Kamu nggak perlu berdebat hal sepele dengan anak enam tahun."
Aura Niko yang biasanya angkuh kini tampak semakin dingin.
Wajahnya menunjukkan ketidaksabaran yang jelas terhadap Selena.
Seolah menyalahkan dia, seorang ibu, malah bersikap kekanak-kanakan terhadap anak kecil.
Selena menekan bibirnya rapat-rapat, hingga warna bibirnya memucat.
"Sudah, jangan bahas soal cerai lagi. Aku nggak mau dengar untuk kedua kalinya."
Niko hendak pergi, tetapi Selena mengadangnya. "Aku serius soal cerai."
Dia menyerahkan surat perjanjian cerai padanya. "Tanda tanganlah. Aku ingin segera bercerai."
Urat di dahi Niko yang berkerut terlihat jelas. "Selena, sebenarnya kamu mau apa sih? Belum puas buat keributan?!"
Dengan marah, dia meraih surat cerai dan merobeknya di depan mata Selena.
"Aku bilang nggak mau cerai! Jangan pernah bahas ini lagi!"
Sobekan kertas dilempar Niko, lalu bertebaran dan jatuh ke lantai.
Selena tetap tenang, menatap dingin ke arah Niko yang penuh amarah. "Kalau kamu nggak mau cerai dengan damai, kita ketemu di pengadilan saja. Aku nggak keberatan bikin hal ini jadi skandal besar."
"Kamu tahu nggak apa yang kamu katakan?"
Tatapan Niko gelap, dia mencengkeram pergelangan tangan Selena. Dengan suara dingin dia bertanya, "Alasan kamu mau cerai, karena kamu punya pria lain, ya? Pengacara yang bantu kamu itu?"
Selena merasa Niko sudah tidak bisa diajak bicara baik-baik. Dia berusaha menarik tangannya.
Namun, semakin dia berusaha lepas, Niko semakin mengeratkan genggamannya.
Sampai wajah Selena memucat karena kesakitan, dan dia tidak bisa menahan diri untuk mengerang pelan. Baru pada saat ini Niko sedikit tenang dan melepaskan tangannya.
Di pergelangan tangan Selena yang putih, tampak jelas bekas merah yang mencolok.
"Aku ... "
Sorot mata Niko meredup, dia ingin menyentuh Selena tetapi dihindari.
Selena memalingkan wajah, berseru dengan nada dingin, "Keluar!"
"Sele ... "
"Keluar!"
Selena bersikeras membalikkan badan.
Niko hanya sempat melihat air mata bening mengalir cepat di pipi sampingnya.
Tangan yang sempat terulur kini mengepal, lalu dilepaskan, lalu mengepal lagi. Akhirnya, dengan wajah kelam, dia berbalik dan pergi.
Begitu dia pergi, Selena buru-buru menyeka air matanya. Dia membenci dirinya sendiri yang masih menangis di depan Niko.
Butuh waktu lama untuk menenangkan emosinya. Baru dia sadar, dalam waktu singkat tadi, Vivi sudah menelepon belasan kali.
Ucapan Niko tadi pasti sudah terdengar Vivi.
Selena segera menyesuaikan emosinya, lalu menelepon balik.
[Selena, kamu nggak apa-apa? Niko si berengsek itu nggak nyakitin kamu, 'kan?!]
Begitu telepon tersambung, Selena bisa membayangkan wajah Vivi yang penuh kekhawatiran.
"Aku nggak apa-apa, dia ... "
[Kamu di mana? Aku langsung ke sana jemput kamu!]
Vivi begitu panik sampai tidak mendengar penjelasan Selena.
Tadi saat panggilan masih tersambung, dia mendengar nada suara Niko yang penuh amarah, takut Selena mengalami kekerasan rumah tangga.
"Nggak usah, Vivi. Aku benaran baik-baik saja. Setelah urusan cerai selesai, aku akan pulang."
[Nggak bisa!]
[Aku nggak tenang. Kalau Niko si bajingan itu sampai nyakitin kamu, gimana aku bisa bantu? Cepat kirim alamatmu, aku langsung ke sana!]
"Vivi ... "
[Selena, jangan menolak lagi! Cepat kirim alamatmu, aku segera jemput kamu!]
Nada keras Vivi tidak memberi ruang untuk penolakan. Selena tahu betul sifat keras kepala sahabatnya ini.
Akhirnya dia mengalah, "Oke. Hati-hati di jalan."
Keluarga Lunardi punya bisnis di seluruh negeri. Kebetulan Vivi sedang berada di kota sebelah. Dia minta Selena menunggu satu jam, dan akan segera datang menjemputnya.
...
Sekitar satu jam kemudian.
Selena menerima telepon dari Vivi, mengatakan dia sudah hampir sampai di luar kompleks vila.
Selena berganti pakaian.
Tidak disangka, saat turun ke bawah, dia bertemu Niko.
Niko duduk tegak di sofa ruang tamu. Saat melihat Selena turun, dia sempat tertegun, lalu mengira Selena turun untuk menghiburnya.
Niko melirik sekilas.
Langkah Selena terhenti sesaat, lalu kembali berjalan menuju pintu depan vila.
"Sudah malam begini, kamu mau ke mana?!"
Baru saat Selena hampir mencapai pintu, Niko sadar, Selena bukan turun untuk menghiburnya, tetapi hendak keluar rumah?
Selena tidak menjawab, hanya sedikit menoleh lalu terus melangkah.
"Prak!"
Entah apa yang Niko lempar di belakang, suara benda jatuh terdengar keras. Kemudian terdengar dia berkata dengan suara sinis, "Kamu pergi malam-malam begini untuk ketemu selingkuhanmu yang memalukan itu?"
"Memang memalukan."
Selena tertawa dingin, menoleh, lalu lanjut berkata dengan senyum mengejek, "Mana bisa dibandingkan dengan Pak Niko, yang dengan santainya bawa selingkuhan masuk rumah, tanpa rasa malu sedikit pun, 'kan?"
Tanpa menunggu reaksi Niko, Selena melangkah keluar dari vila.
Dia berselingkuh, lalu mengira semua orang berselingkuh seperti dirinya?
Tepat saat Selena keluar, Vivi sudah tiba dengan mobil.
"Selena, cepat naik!"
Selena duduk di kursi penumpang depan. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu, Vivi langsung membuka sabuk pengaman dan memeluknya sambil menangis.
"Sudah, sudah. Lihat, aku baik-baik saja, 'kan?"
Selena menahan air mata, matanya memerah, tidak ingin membuat Vivi menangis lebih keras.
Setelah cukup lama, Vivi mengusap air matanya. "Kehidupan malam baru dimulai, Selena. Ayo, kita pergi minum! Malam ini kita boleh menangis, boleh marah, besok biar si berengsek itu nggak bisa lagi menjangkau kamu!"
Dia menginjak kopling, memutar arah mobil, dan melaju kencang meninggalkan kompleks.
"Minum nggak usah."
"Tenang saja, minum sepuasnya, aku yang tanggung ... "
"Aku sedang hamil, nggak bisa minum alkohol."
"Apa?!"
"Ciiit!"
Suara rem mendadak membuat ban berdecit keras.
Vivi menatap Selena dengan mata terbelalak. Sudah mau cerai, tetapi masih mengandung anak dari mantan suami?
"Anak ini, Niko si berengsek itu belum tahu?"
Selena tersenyum kecil saat mendengar Vivi menyebut Niko "berengsek", lalu menggeleng.
Baru hendak bicara, suara klakson dari belakang terdengar. "Bisa nyetir nggak sih? Mobil mewah bukan berarti bisa berhenti sembarangan!"
Vivi melirik ke kaca spion. "Aku bawa kamu ke tempatku dulu," ujarnya.
Mereka tiba di hotel saat malam sudah larut. Selena dan Vivi mengobrol hampir semalaman, baru kemudian tertidur lelap.
Pagi harinya, suara dering ponsel membangunkan Selena.
Dia menjawab sambil setengah mengantuk. Langit di luar sudah terang.
Suara Niko langsung terdengar.
[Selena, Simon ingin makan sup buatanmu.]
Selena mulai terjaga, berkata dengan suara datar, "Oh, lalu?"