NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4 Jatuh Mental

Barulah Gisella mengerti, ketika hati seseorang terluka hingga batasnya, menangis pun menjadi sebuah kemewahan. Gisella tidak tahu bagaimana dirinya berjalan ke depan Lili dan menekukkan kedua kaki. Yang terlihat adalah sepasang sepatu hak tinggi baru yang berkilau, jelas siapa yang membelikannya. Dulu, Juvent juga pernah membelikan Gisella begitu banyak barang mewah yang indah. Juvent berkata bahwa dapat menghabiskan uang untuknya adalah kehormatan terbesar dalam hidupnya. Namun, kenyataan selalu begitu ironis dan kejam. Sambil menahan kepedihan yang memenuhi dadanya, Gisella mengulurkan tangan dengan gemetar, bahkan malas mengambil tisu. Tangannya langsung menyentuh permukaan sepatu itu. Permukaannya halus, tetapi hatinya seperti ditusuk-tusuk. Wanita itu sengaja tidak kooperatif, menggerak-gerakkan kakinya ke kiri dan kanan, lalu mencela bahwa Gisella tak bisa bekerja. Tiba-tiba, rasa sakit yang tajam pada telapak tangan membuat Gisella menarik kembali tangannya dengan kaget. Noda merah cerah mekar seperti mawar. Wanita itu terus mengeluh, "Tuan Muda Juvent, lihat, dia sengaja! Kaus kakiku jadi kotor!" Juvent langsung merangkul Lili dan berdiri, melayangkan tatapan menghina pada Gisella yang masih jongkok di lantai. Dia bergumam rendah, "Merusak suasana saja! Ayo, kita makan di atas!" "Tuan Muda Juvent, kamu memang pengertian!" Tawa mesra pria dan wanita itu terus terdengar. Gisella terpaku melihat tetesan darah yang terus mengucur. Kemudian, suara pria yang tegas bergema di telinganya, "Cepat! Siapkan yang baru dan antar ke atas!" Gisella perlahan beranjak dari lantai, berpegangan pada tepi meja seraya menatap pasangan mesra itu menghilang di sudut tangga. Air mata yang telah membanjir di dalam dada tak tertahan lagi, meluap keluar dan mengaburkan pandangan Gisella. Jatuh di telapak tangan, meninggalkan noda merah yang makin mencolok. Gisella sudah hampir jatuh mental menyaksikan kemesraan Juvent dengan wanita lain dalam percakapan dan sikapnya. Jika harus melihat pemandangan yang lebih tidak senonoh lagi, dia tidak yakin apakah dirinya masih bisa bertahan. Keragu-raguannya segera dihapus oleh desakan pria itu. Usai menjawab panggilan telepon, Shinta melapor dengan terbata-bata, "Nyonya, Tuan memintamu mengantarnya sendiri ke atas!" Gisella mengelap air matanya. Dia mengangkat nampan makan dan berjalan menaiki tangga, berpura-pura tak terjadi apa-apa. Setiap langkah pada anak tangga yang sangat dikenalnya terasa seperti menginjak-injak hatinya sendiri. Sesampainya di lorong atas, seketika tubuh Gisella seperti tersengat listrik. Tak disangka, suara tawa mesra yang tak sedap didengar itu justru berasal dari kamar mereka. Tangan Gisella yang memegang nampan gemetar. Juvent bahkan tidak pernah masuk pada malam pernikahan mereka, tetapi sekarang malah membiarkan wanita tak jelas tidur di ranjang mereka. Api kemarahan dan penghinaan membakar kepalanya. Akal sehat hilang sudah. Gisella hanya ingin masuk dan mempertanyakan. Dia menendang pintu terbuka.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.