Bab 3 Membersihkan Sepatunya Sudah Meninggikan Derajatmu
Rasa penghinaan yang tak berujung membakar dada Gisella. Sambil tersenyum getir, dia melayangkan pandangan penuh kepedihan dan kemarahan pada kedua orang yang sedang berpelukan itu.
Gisella berseru dengan suara parau, "Juvent, jangan keterlaluan!"
Wanita baru itu memanfaatkan kesempatan untuk merajuk seraya mengguncang-guncang lengan Juvent, "Tuan Muda Juvent, aku lapar sekali. Apa semua pembantu di rumahmu nggak tahu sopan santun seperti ini?"
Timbul sedikit kelembutan pada wajah tampan Juvent yang awalnya tanpa ekspresi, lalu berubah menjadi tegas saat menghadapi Gisella. "Kalau kamu masih berani mengatur-atur, pergi dari sini!"
Gisella hampir tidak bisa bernapas. Dia menekan kuat dadanya, mencoba mengalihkan rasa sakit yang menusuk itu.
Hanya karena satu keluhan wanita baru itu, Juvent bahkan ingin mengusirnya dari "sarang cinta" yang dulu dia bangun sendiri untuknya.
Bagai arwah gentayangan, Gisella berbalik dengan tatapan kosong menuju dapur.
Pembantu, Shinta, sepertinya mendengar pergerakan. "Nyonya, biar aku usir saja. Kurasa Tuan hanya terkecoh sesaat."
Gisella mengibaskan tangan dan menolak niat baiknya.
Gisella paham, Juvent belum puas pergi bermain sepanjang malam setelah pergi dari rumah ini semalam, bahkan sampai membawa wanita itu pulang.
Juvent sengaja mempermalukannya dan membuatnya malu. Gisella bisa menghindar kali ini, tetapi tidak untuk selanjutnya.
Kecuali dia benar-benar tidak mau tinggal lagi, tidak ingin menyelamatkan pernikahan yang sudah hancur berantakan ini.
Gisella berusaha menenangkan perasaannya yang kacau, lalu membawa sarapan keluar. Di ruang tamu, wanita itu malah duduk dengan seenaknya di pangkuan Juvent.
Gisella sangat ingin berpura-pura tidak melihat. Dia menaruh sarapan di meja dengan pandangan lurus ke depan.
Wanita itu dengan manja mengambil sebuah pangsit goreng. Mulutnya membentuk seperti huruf O. "Tuan Muda Juvent, biar Lili menyuapimu, ya?"
Hati Gisella terguncang. Jari rampingnya mengepal erat sampai memutih.
"Manis sekali, nggak seperti wanita tertentu yang jelas-jelas hina, tapi masih sok suci. Paling memuakkan," kata Juvent sambil menyantap pangsit itu dan mengunyah pelan. Ucapannya jelas mengarah pada seseorang.
Gisella tentu tahu siapa wanita yang Juvent maksud. Dia hanya ingin berpura-pura bodoh dan pergi. Mungkin dengan tidak melihat dan tidak mendengar, dia akan merasa lebih baik.
Namun, Juvent tidak memberinya kesempatan. Dia membentak dengan dingin, "Berhenti! Siapa yang mengizinkanmu pergi? Tunggu di samping!"
Lili yang peka pun menyadari keanehan. Dia memprovokasi, "Tuan Muda Juvent, pembantumu ini sombong sekali. Aku sampai nggak selera untuk sarapan."
Juvent berkata dengan lembut sembari mengangkat dagu wanita itu, "Sayang, kamu mau apa?"
Tebersit kilat redup di mata Lili. Dia berkata iseng, "Sepatu hak tinggiku baru saja kotor, harus dibersihkan."
Juvent langsung memerintahi Gisella, "Apa kamu tuli? Cepat bersihkan!"
Gisella tercengang memandangi pria berwajah datar itu. Suara yang keluar seolah-olah bukan miliknya, serak dan parau, "Kamu benar-benar mau aku membersihkan sepatunya?"
Pria yang dulu di sekolah pernah berlutut untuk mengikat tali sepatunya, yang tak pernah tega membiarkannya tersakiti sedikit pun, sekarang justru ingin menginjak-injaknya seperti ini.
Gisella merasa hatinya ditusuk-tusuk perlahan, dan lubangnya makin besar. Air mata darah hampir habis mengalir.
Wanita itu mengeluh lagi, "Tuan Muda Juvent, sepertinya aku nggak bisa menyuruhnya. Sudahlah, lebih baik aku pergi saja, daripada mengganggu!"
"Gisella, kamu lakukan atau nggak? Dibandingkan perbuatanmu yang menjijikkan, membersihkan sepatu sudah meninggikan derajatmu!" Suara dingin dan marah Juvent bergema di udara, benar-benar menghancurkan total harga diri Gisella.