NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 6

Beberapa menit kemudian, Juna keluar dari dalam kawasan Pohon Kenangan. Melisa menatapnya dalam diam sejenak, lalu tiba-tiba mengangkat pergelangan tangannya, memperlihatkan gelang yang melingkar di sana. "Ini gelang yang kamu buat sendiri untukku. Tapi hari ini ... aku sadar, warnanya mulai memudar. Dia menatap Juna, matanya tenang tapi tajam. "Juna, menurutmu ... apakah cintamu padaku juga akan memudar?" "Tentu saja nggak!" Juna menjawab dengan ekspresi sungguh-sungguh. Dia menggenggam tangan Melisa dan mencium punggung tangannya dengan serius. "Cintaku padamu hanya akan bertambah setiap harinya, takkan pernah berkurang." Melisa tersenyum dengan senyum yang sulit ditebak. Mencintainya, tapi masih sanggup menipunya dan mempermainkannya seperti ini? Awalnya Melisa hanya ingin pergi dengan tenang, tanpa kata-kata. Tapi sekarang, dia berubah pikiran. Dia ingin membalas Juna, membalas pengkhianatannya, membalas dua tahun penuh kebohongan dan penghinaan. Membalas pengkhianatannya atas janji-janji mereka, karena telah meninggalkannya sendiri dalam derita tanpa sedikit pun belas kasih. Membalas cinta yang pernah diberikannya ... cinta yang berubah menjadi luka paling dalam dan tak akan pernah sembuh. Melisa mengangkat tangannya, lalu memeluk Juna erat. "Juna, aku juga mencintaimu. Jadi ... tunggulah aku. Tunggu aku dan anak kita kembali untuk merayakan ulang tahun pernikahan kita yang ketiga ... bersama-sama." "Oh ya." Melisa tiba-tiba mengeluarkan sebuah map dokumen dan menyerahkannya pada Juna dengan sangat serius. "Ini hadiah untuk kamu. Tapi baru boleh dibuka dua hari lagi, ya." Di dalamnya, ada hasil operasi kuretase aborsinya, serta tangkapan layar dari video yang dikirim Fanny padanya. Dia tahu, saat nanti kabar kecelakaan pesawat sore ini tersebar, Juna pasti akan membuka map itu. Saat itulah, pria itu akan sadar bahwa perselingkuhannyalah yang membuat Melisa kehilangan harapan, membuat Juna kehilangan anak yang sudah lama mereka tunggu-tunggu, dan bahkan, kehilangan istri yang paling dia cintai. Dia ingin memastikan, mulai hari itu dan seterusnya, hidup Juna dipenuhi penyesalan dan kesakitan tanpa akhir. "Oke, aku tunggu kamu pulang," kata Juna, matanya berbinar, penuh harapan. "Sayang, sekarang biar aku antar kamu ke bandara." Melisa menggeleng pelan, menolak dengan tenang. Dalam perjalanan hidup ini, Juna sudah cukup lama mendampinginya. Tapi untuk langkah terakhir sebelum perpisahan, dia tidak ingin ada siapa pun di sisinya. "Nggak perlu kamu antar. Aku tahu kamu orang yang sibuk. Sebentar lagi pasti ada yang mencarimu lagi." Juna tertegun sejenak. Apakah ini hanya perasaannya saja? Mengapa kata-kata istrinya barusan terdengar seperti sindiran? Rasa tidak tenang tiba-tiba menyelimuti hatinya, menebar kegelisahan yang tak bisa dia jelaskan. Di saat berikutnya, ponsel Juna tiba-tiba berdering. Sebuah pesan dari Fanny masuk. [Sayang, tadi rasanya belum puas. Setelah kamu antar istrimu pergi, kembali ke sini lagi ya, kita lanjutkan ... ] Pesan itu disertai foto dirinya mengenakan pakaian dalam milik Melisa. Napas Juna langsung menjadi berat. Rasa gelisah yang sempat mengusik hatinya seketika tersapu oleh api nafsu yang menyala kembali. Sebenarnya, hubungan fisik pertama antara dia dan Fanny terjadi karena orang tuanya memaksanya minum alkohol sampai mabuk. Saat itu, dia merasa begitu kotor, bahkan sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun Fanny berlutut di hadapannya, tanpa rasa harga diri, menangis dan memohon, "Meskipun kamu yang membuat keluargaku bangkrut, aku tetap cinta kamu, Juna. Tanpa kamu, aku nggak bisa hidup. Apa pun akan aku lakukan, asalkan kamu senang ... " Demi menyenangkan hati Juna, Fanny benar-benar rela melakukan apa saja tanpa batas. Semua jenis permainan, dari yang ringan sampai yang paling vulgar, termasuk "permainan huruf" yang bahkan belum pernah Juna bayangkan sebelumnya, dia coba semua. Pada akhirnya, Fanny bahkan mengenakan pakaian milik Melisa, lalu berkata dengan manja, "Anggap saja aku itu dia. Semua yang kamu nggak tega lakukan ke dia, kamu boleh lakukan ke aku." Di saat itulah, api dalam diri Juna benar-benar tersulut. Selama ini, Juna memang menyimpan banyak fantasi liar tentang Melisa. Tapi setiap kali ingin mendekatinya lebih jauh, rasa bersalah dan hormat justru menahannya. Fantasi itu lenyap, tergantikan oleh cinta tulus yang hampir seperti penyembahan. Namun bersama Fanny, dia tidak perlu menahan diri. Semua fantasi terliar yang tidak pernah berani dia wujudkan pada Melisa, bisa dia lepaskan sepenuhnya pada Fanny, tanpa beban, tanpa penyesalan. "Kalau begitu, Sayang, aku nggak antar kamu ke bandara ya. Hati-hati di jalan." Sebelum pergi, Melisa menatap Juna untuk terakhir kalinya. Namun yang dia lihat hanyalah punggung pria itu yang sudah membelakanginya. Dengan suara pelan, dia berpamitan, "Selamat tinggal, Juna ... semoga kita nggak pernah bertemu lagi." Beberapa jam kemudian, saat Juna sedang bermesraan dengan Fanny di ranjang besar di Pohon Kenangan, dia menerima telepon dari asistennya. Dengan nada terganggu, Juna menjawab, "Kalau ini bukan urusan yang sangat penting, lebih baik jangan ganggu aku sekarang." "Pak Juna, kami baru saja menerima kabar. Pesawat yang ditumpangi Bu Melisa jatuh begitu meninggalkan wilayah udara dalam negeri dan melintasi lautan ... " Raut wajah Juna seketika berubah pucat, seluruh tubuhnya terasa kaku, seperti darahnya berhenti mengalir. Dengan suara lirih tak percaya, dia berkata, "Apa ... yang kamu katakan barusan?"

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.