NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 5

Dia bersembunyi di balik pilar luar aula, namun tanpa sengaja mendengar percakapan santai antara Juna dan sepupunya, Risma. "Aku mau tanya, Kak. Apa kamu benar-benar berniat menjalani hidup seperti ini terus-menerus?" Risma mengernyit dan bertanya, "Sebagus apa pun kamu menutupinya, suatu hari Kak Melisa pasti akan tahu. Nggak ada rahasia yang bisa disimpan selamanya." Juna tersenyum tenang. "Aku mencintai Melisa, tapi Fanny sudah melahirkan anakku. Aku nggak mungkin meninggalkannya. Menjalani hidup seperti ini ... sebenarnya nggak terlalu buruk." "Kalau nanti terbongkar, apa yang akan kamu lakukan?" Risma menggerutu, "Kamu jelas-jelas nggak setia dalam pernikahan. Itu nggak adil bagi Kak Melisa." "Tenang saja, hal seperti itu nggak akan terjadi. Buktinya, dua tahun terakhir semuanya berjalan baik-baik saja." Juna masih terdengar percaya diri. "Aku memang bersalah pada Melisa, tapi aku akan memperlakukannya dengan lebih baik dan menebus semuanya." Risma memandangnya dengan tatapan sinis, bahkan sampai memutar bola mata. "Kamu pikir cinta bisa ditebus dengan barang-barang? Karena kita sepupu, aku hanya ingin mengingatkan satu hal. Paman kita sebentar lagi akan kembali dari luar negeri. Dia itu orangnya sangat kolot dan paling nggak suka dengan pria yang bermain-main dalam hubungan. Kalau dia sampai tahu soal Fanny, dia pasti akan mengungkap semuanya!" Melisa perlahan-lahan merosot di sepanjang pilar hingga jatuh terduduk di lantai. Rasa sakit di hatinya sudah begitu hebat hingga menjadi mati rasa. Saat ini, yang dia rasakan hanyalah mual dan muak. Dengan langkah terhuyung, dia berlari keluar dari Hotel Avani. Namun tekanan mental yang menumpuk selama berhari-hari membuatnya tak lagi sanggup bertahan. Pandangannya menggelap, dan tubuhnya ambruk ke tanah. Saat membuka mata kembali, dia sudah berada di dalam sebuah ruangan asing. Di sofa di samping ranjang, duduk seorang pria mengenakan setelan jas rapi. Di atas hidungnya bertengger sebuah kacamata tanpa bingkai. Pria itu sedang membalik-balik setumpuk dokumen tebal. Meskipun ekspresinya datar, sorot mata yang tajam dan tampan itu memancarkan tekanan yang sulit dijelaskan. Melisa bangkit duduk, terpaku beberapa detik sebelum akhirnya mengenali pria di depannya. Itu adalah pamannya Juna, Yehuda.. Dia sudah lama menetap di luar negeri untuk urusan bisnis, dan Melisa baru beberapa kali bertemu dengannya. Yang dia tahu, Juna agak takut pada paman yang hanya tiga tahun lebih tua darinya ini. Saat masih kecil, karena kenakalannya, orang tua Juna tak tega menghukumnya, dan Yehuda-lah yang biasanya memukulnya. Juna pernah berkomentar tentangnya. "Dia orang yang kaku dan serius. Semua hal harus sesuai aturan." "Kamu sudah sadar?" Pria itu menutup berkas di tangannya. "Dokter bilang kamu baru saja keguguran, ditambah kondisi emosimu yang nggak stabil, makanya kamu pingsan." Dia melangkah pelan mendekati Melisa. "Soal keguguran ini, Juna belum tahu, 'kan? Kalau dia tahu, pasti sudah panik setengah mati dan nggak akan membiarkan kamu pingsan sendirian di pinggir jalan." Melisa terdiam lama sebelum akhirnya berkata, "Terima kasih untuk bantuanmu hari ini, tapi tolong ... jangan beri tahu dia soal ini." Melihat Yehuda tidak segera mengiakan, dia memohon dengan suara rendah, "Kumohon." Yehuda sedikit terkejut. Jelas ada masalah dalam rumah tangga mereka. Secara logika, hal seperti ini seharusnya memang disampaikan pada Juna. Entah kenapa, hati Yehuda tiba-tiba melunak, dan pada akhirnya dia justru setuju untuk merahasiakan semuanya dari Juna. Dia lalu menyuruh orang untuk mengantar Melisa pulang ke rumah. Tak lama setelah Melisa tiba di rumah, Juna pun ikut pulang. "Sayang, siang ini kamu mau makan apa? Biar aku masak, ya." Karena khawatir masakan dari juru masak rumah kurang cocok atau kurang diperhatikan dengan baik, selama bertahun-tahun ini, Juna selalu menyiapkan sendiri tiga kali makan untuk Melisa sesibuk apa pun dia. Dia lalu mengeluarkan satu set perhiasan. "Perhiasan yang dipesan khusus sudah datang. Sayang, coba lihat, kamu suka nggak?" Melisa melirik sekilas pada perhiasan itu, dan langsung menyadari. Modelnya persis sama dengan yang Juna berikan kepada Fanny hari ini. Dia tak bisa menahan diri untuk tertawa. Selama ini, apa yang dia kira sebagai perlakuan istimewa, rupanya hanyalah bentuk cinta murahan yang dibuat dua salinan. "Nggak perlu. Aku mau ke Pohon Kenangan sebentar." Pohon Kenangan adalah taman pribadi yang dibangun Juna untuk Melisa lima tahun lalu, tempat yang menyimpan banyak kenangan berharga. Di sanalah, pengakuan cinta Juna yang ke-97 kali akhirnya diterima. Mereka pertama kali bergandengan tangan di sana, dan pertama kali berciuman di sana. Dan di tempat itulah Juna melamarnya, mengucapkan janji untuk hanya mencintai Melisa seumur hidup. Namun tempat itu terletak di pinggiran kota. Karena dianggap terlalu jauh, setelah menikah mereka jarang sekali mengunjunginya. Sekarang pukul dua belas. Pada pukul tiga sore nanti, Melisa akan terbang dengan pesawat pribadinya dan pergi selamanya dari tempat ini. Dia ingin melihat Pohon Kenangan sekali lagi, sebagai perpisahan terakhir. Juna tertegun, wajahnya tampak panik. Beberapa waktu lalu Fanny sempat merengek ingin tinggal di sana, jadi dia memberikan kunci Pohon Kenangan padanya. Hari ini Fanny membawa kedua anaknya bermain ke sana. "Baiklah, setelah makan siang kita ke sana," kata Juna, lalu masuk ke dapur dan diam-diam mengirim pesan ke Fanny agar segera pergi dari sana. Pukul satu siang, mereka tiba di taman pribadi itu. Begitu melangkah masuk, Melisa langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres. Mawar-mawar di taman telah diganti menjadi bunga lili, tirai berwarna hijau muda diganti menjadi merah muda, bahkan di ruang tamu kini ada kursi goyang anak-anak. Sudah jelas, ada orang lain yang pernah tinggal di sini. Namun Melisa pura-pura tidak menyadari apa pun, lalu langsung naik ke lantai atas. Di kamar tidur, masih ada beberapa album foto berisi kenangan dirinya bersama Juna. Dia ingin membawanya pergi untuk dibakar. Meninggalkannya di sini hanya membuatnya merasa jijik. Namun saat membuka album foto itu, tubuh Melisa seketika membeku di tempat. Album yang seharusnya menyimpan momen-momen indah mereka justru penuh dengan foto Juna bersama Fanny dan kedua anak mereka. Empat sosok itu tersenyum di ladang lavender, berpose di bawah menara dan menaiki balon udara, semua tempat yang dulu pernah dia kunjungi bersama Juna. Tempat-tempat itu adalah saksi bisu dari janji cinta mereka. Namun kini, Melisa menyadari bahwa saat dia tak tahu, Juna telah membawa perempuan lain ke tempat yang sama, merusak semua kenangan yang pernah dia anggap suci dan hanya milik mereka berdua. Begitu melihat wajah Melisa yang mendadak pucat, Juna segera mendekat. "Kenapa, Sayang?" Melisa buru-buru menutup album foto dan tersenyum, "Nggak apa-apa. Aku mau pulang." Dia berbalik hendak turun ke bawah, namun tiba-tiba ponsel Juna berbunyi. Wajahnya langsung berubah panik. "Sayang, aku ke kamar mandi sebentar ya. Kamu tunggu di bawah dulu." Melisa mengangguk dan berjalan pergi. Namun beberapa menit kemudian, dia kembali naik diam-diam. Di depan pintu kamar mandi, dia mendengar suara Juna yang terdengar panik. "Bukannya aku sudah bilang kamu bawa anak-anak pergi? Kenapa kamu masih di sini!" Lalu terdengar suara manja Fanny dari dalam, "Aku cuma ingin sedikit seru-seruan. Dulu kan kita sudah pernah 'main' di ranjang pernikahan kalian, sambil lihat foto nikah kalian juga. Tapi sekarang dia ada di bawah loh. Bukankah ini terasa lebih menegangkan?" Napas Juna mulai berat dan terengah. "Dasar nakal ... " Segera setelah itu, terdengar suara berciuman disertai suara-suara menjijikkan lainnya dari balik pintu. Melisa berdiri diam di depan kamar mandi, hatinya tak lagi terguncang. Dia bahkan tak merasakan apa-apa. Yang terlintas di benaknya hanyalah satu pertanyaan. Bagaimana bisa seseorang yang begitu dia cintai berubah menjadi makhluk seperti ini? Seperti bunga poppy yang tumbuh dari lumpur busuk. Memikat, tapi penuh racun dan bau busuk yang menusuk. Atau ... mungkinkah memang sejak awal Juna adalah pria seperti ini, hanya saja dia tak pernah menyadarinya? Ingatannya melayang ke masa lalu, saat Juna pertama kali menggandeng Melisa masuk ke dalam lingkaran sosialnya. Meski para pewaris keluarga kaya dan elite itu mengucap selamat di hadapan mereka, di balik layar, mereka justru mentertawakan Juna dan menganggapnya bodoh karena hanya mencintai satu wanita. Dengan kekayaan dan kekuasaan mereka, memelihara sepuluh wanita sekaligus pun tak akan jadi masalah. Dulu, Juna pernah berkata, "Aku berbeda dari mereka. Aku hanya mencintaimu seorang." Kini Melisa akhirnya sadar, tak ada bedanya. Semua sama busuknya, hanya soal waktu kapan busuk itu tercium. Dia tersenyum pahit, melangkah pelan menuruni tangga. Dia bukan berasal dari keluarga yang bahagia. Dia lahir di pelosok pegunungan, dari seorang ibu yang dulunya korban perdagangan manusia. Hanya karena tak melahirkan anak laki-laki, ibunya setiap hari menerima pukulan dari suami. Melisa pun ikut menanggung penderitaan itu sejak kecil. Di usia tiga belas, dia akhirnya melarikan diri dari rumah. Hal pertama yang dia lakukan adalah menyeret ayah kandungnya ke penjara. Sang ayah mengutuknya agar mati dengan tragis. Sedangkan sang ibu, meski akhirnya bebas, tak pernah berterima kasih pada Melisa. Sebaliknya, dia melihat Melisa sebagai simbol dari aib, bukti hidup dari penghinaan yang tak bisa dia lupakan. Dibesarkan dalam keluarga seperti itu, Melisa tumbuh membangun dinding tinggi di sekeliling hatinya. Dia terbiasa menjaga jarak, bahkan dari orang yang mendekat dengan niat baik. Namun di usia delapan belas, Juna hadir menerobos masuk ke hidupnya. Seperti kobaran api yang hangat dan tak kunjung padam, Juna dengan sabar melelehkan lapisan es di hati Melisa, menyembuhkan luka-luka lama dengan kasih sayang dan ketulusan. Dia telah memberikan Melisa cinta yang tak terhitung jumlahnya, dan membuatnya kembali mampu mencintai. Namun tetap saja, dia pula yang menusukkan luka paling dalam di saat Melisa sedang berada di puncak kebahagiaannya. Luka itu akan selamanya menganga dan tak pernah bisa sembuh kembali.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.