NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 4

Sore harinya, Melisa pergi mengunjungi guru-guru lamanya. Sebelum berpisah, sang guru tua menggenggam tangannya dan membawanya ke sebuah kuil di dekat situ. Katanya, tempat ini sangat sakral, dan beliau ingin memohonkan jimat keselamatan untuk Melisa. Namun, ketika mereka tiba di sana, seorang biksu yang belum pernah bertemu dengannya tiba-tiba memanggil namanya. "Apakah kamu ingin tahu kenapa aku bisa mengenalmu?" Sang biksu tersenyum dan berkata, "Setahun lalu, ada seorang dermawan bernama Juna yang menyumbangkan 160 miliar untuk kuil ini. Dia bahkan berjalan sambil bersujud setiap tiga langkah dari kaki gunung sampai ke kuil, hanya demi memohon jimat keselamatan untukmu. Tapi waktu itu, dia nggak membawanya pulang. Dia memintanya untuk tetap disimpan di sini agar bisa terus didoakan dan diberkati." Sang guru sangat senang. "Si Juna benar-benar tulus padamu. Melihat kalian sebagai pasangan yang harmonis, aku pun merasa tenang!" Melisa menundukkan kepala. Perasaan hangat di masa lalu dan sakit karena pengkhianatan bercampur menjadi satu, membuat hatinya yang susah payah menjadi tenang kembali terguncang. "Karena hari ini kebetulan kamu datang, bawalah jimat keselamatan ini bersamamu," ucap biksu itu. Setelah menerima jimat keselamatan dan hendak berbalik pergi, biksu itu memanggilnya, "Tunggu, Nona! Saat itu Pak Juna juga memohon tiga jimat keselamatan, bawalah juga semuanya." Melisa menerimanya, namun saat melihat nama-nama yang tertulis di atasnya, dia hampir tertawa. Nama yang tertulis di atas jimat itu adalah Fanny dan nama kedua anak kembar mereka. Malam harinya, saat Juna pulang, dia mendapati Melisa sudah tertidur seorang diri. Selama bertahun-tahun ini, mereka sudah terbiasa saling menunggu hingga yang satu pulang, lalu baru bisa tidur nyenyak dalam pelukan satu sama lain. Ini adalah kali pertama, Melisa tidak menunggunya. Perasaan tak tenang muncul di hati Juna. Dia memeluk Melisa erat dan menyandarkan wajahnya di lekukan leher sang istri. "Aku sangat merindukanmu, Sayang. Walaupun baru beberapa jam nggak ketemu, rasanya seperti berabad-abad. Kalau suatu hari kamu nggak ada di sisiku lagi, aku pasti nggak akan bisa hidup." "Begitukah?" gumam Melisa pelan. "Ngomong-ngomong, Sayang, aku mau diskusi satu hal soal pulau itu. Aku sudah minta pendapat dari orang pintar, katanya tempatnya nggak bagus. Jadi aku beli dua pulau baru, menurutmu gimana?" Melisa menutup mata dan berkata, "Terserah kamu saja." Merasakan nada dingin dan ketidaksabaran dalam suaranya, Juna jadi makin cemas. Dia bertanya dengan hati-hati, "Sayang ... apa aku membuatmu marah?" "Nggak, aku cuma lelah." Melisa menarik napas dalam, "Beberapa hari lagi kan hari ulang tahun pernikahan kita. Besok sore aku mau naik jet pribadi ke luar negeri sebentar. Aku sudah pesan hadiah di luar negeri, dan mau ambil sendiri." "Kamu kan lagi hamil ... harus terbang lima belas jam itu terlalu melelahkan. Biar aku saja yang ambil, ya?" Nada suara Melisa berubah sedikit manja. "Nggak mau ... aku mau ambil sendiri, pokoknya." Mendengar nada manjanya, hati Juna langsung luluh. Meski nyawanya yang diminta pun, dia takkan menolak. "Baiklah, aku akan mengikuti semua keinginanmu." Keesokan paginya, Juna bangun lebih awal dan menyiapkan sarapan sebelum berangkat. Katanya, ada urusan penting di kantor. Begitu dia pergi, Melisa mulai membereskan barang-barangnya. Dia membuka lemari pakaian, mengambil semua baju yang dulu pernah dia jahit sendiri dan berikan pada Juna, lalu mengguntingnya menjadi potongan-potongan kecil sebelum membuangnya ke tempat sampah. Semua perhiasan dan hadiah mewah dari Juna, dia kumpulkan dan berikan pada para asisten rumah tangga. Enam belas album foto kenangan yang mereka kumpulkan bersama selama tiga tahun, album yang pernah mereka janjikan akan dilihat kembali saat tua nanti, semuanya dibakar oleh Melisa. Saat itu, Juna yang lupa membawa dokumen penting, kembali ke rumah. Dan yang dia lihat adalah album-album foto mereka terbakar dalam kobaran api. Seketika kepalanya seperti meledak. Tanpa pikir panjang, dia langsung menerjang ke dalam api dan berhasil menyelamatkan setengah album terakhir. "Sayang ... " Suara Juna bergetar saat menatap Melisa, "Kenapa kamu bakar semua ini?" Melisa tersenyum ringan. "Nggak ada apa-apa. Aku cuma merasa fotonya jelek, jadi aku nggak mau simpan foto-foto jelek itu." Dia melangkah mendekat dan menggenggam tangan Juna yang terluka karena terbakar. "Kita masih punya banyak waktu ke depan. Kita bisa ambil foto baru kapan pun. Tapi kenapa kamu nekat masukkan tangan ke api? Lihat, sampai segini parahnya. Ayo, panggil dokter." Melihat kekhawatiran di matanya, kepanikan dalam hati Juna pun perlahan mereda. Dia mulai manja. "Kalau kamu tiupin, pasti langsung nggak sakit." Kalau bawahannya melihat sikap Juna sekarang, mereka pasti akan mengira bos dingin mereka sedang kerasukan sesuatu. "Sudah sebesar ini, masih saja nggak tahu malu." Melisa melangkah ke tempat sampah dan diam-diam menutupi potongan-potongan pakaian yang sudah dia gunting sebelumnya. Setelah mengambil dokumen, Juna mengecup kening Melisa. "Aku ke kantor dulu, nanti siang pulang." Tak lama setelah dia pergi, Fanny kembali mengirim pesan padanya. "Hotel Avani. Suamimu ada di sini. Hari ini ada tontonan seru buat kamu ... " Melisa terdiam. Ternyata setiap kali Juna bilang pergi ke kantor, sebenarnya dia pergi menemui Fanny. Dia tahu pasti apa yang akan dilihat di sana akan menghancurkan hatinya, tapi Melisa tetap memutuskan untuk pergi. Ternyata hari ini adalah hari ulang tahun si kembar. Juna, bersama orang tuanya dan teman-temannya, semua berkumpul untuk merayakan ulang tahun kedua anak itu. Mereka mengadakan pesta ulang tahun di hotel, dan para staf yang lalu-lalang memanggil Fanny dengan sebutan "Nyonya Juna". Juna sama sekali tidak membantah, malah tersenyum saling pandang dengan Fanny, dengan tatapan lembut yang menyala di mata mereka. Orang tua Juna juga menunjukkan senyum hangat pada Fanny, senyum yang tak pernah Melisa lihat ditujukan padanya. "Kalau bukan karena Fanny, mana mungkin kami bisa merasakan kebahagiaan keluarga seperti sekarang. Juna, kamu jangan pernah menyia-nyiakan Fanny, ya. Kamu harus memperlakukannya dengan baik, mengerti?" Juna mengangguk sambil tersenyum. "Kapan aku pernah mengecewakannya? Apa yang Melisa punya, Fanny juga punya. Baju, perhiasan, barang mewah, semuanya sudah kusiapkan dua set." Melisa semula mengira dirinya sudah cukup tenang untuk menghadapi segalanya. Tapi di detik itu juga, seolah sesuatu meledak di dalam kepalanya. Seluruh kenangan manis masa lalu langsung hancur berkeping-keping dan berbalik menusuk ke dalam hatinya, meninggalkan luka yang menganga dan berdarah. Ternyata, semua orang tahu. Dan sejak lama, apa yang dia kira sebagai satu-satunya cinta yang istimewa, semuanya hanyalah kebohongan belaka. Apa yang diberikan padanya, Fanny juga punya. Apa yang tidak diberikan padanya, Fanny tetap punya.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.