NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 3

Karena kemunculan Fanny, suasana mendadak menjadi tegang dan sunyi. Namun dia seolah tak menyadari ketidaknyamanan semua orang, langsung duduk di seberang Melisa dan tersenyum sambil melirik hadiah di tangan mereka. "Roseline, merek yang cukup terkenal ya. Tapi sepertinya kalian belum tahu, itu merek yang aku dirikan sendiri." Merek miliknya? Semua orang dalam hati penuh tanda tanya. Keluarganya dulu bangkrut karena dihancurkan oleh Juna, bahkan tidak bisa bertahan hidup di dalam negeri. Bagaimana mungkin dia bisa mendirikan merek mewah seperti itu? "Dulu keluargaku memang mengalami sedikit musibah," ujar Fanny sambil tersenyum bangga. "Tapi kemudian aku bertemu suamiku. Dua tahun lalu, dia mengucurkan dana ratusan miliar dan memanfaatkan banyak koneksi. Dia repot ke sana ke mari demi membantuku mendirikan perusahaan. Dan bukan cuma satu, dia mendirikan dua puluh enam perusahaan untukku." Saat berkata begitu, Fanny melirik sekilas ke arah Juna, lalu tersenyum pada Melisa dengan tatapan yang mengandung sedikit tantangan. Melisa seketika merasa dadanya sesak. Dia teringat dua tahun yang lalu, saat Juna tiba-tiba menjadi sangat sibuk. Waktu itu, Juna bilang perusahaan sedang memperluas pasar ke luar negeri, jadi dia sedikit lebih sibuk dari biasanya. Ternyata, dia sibuk mendirikan perusahaan untuk Fanny. Rasa nyeri yang menusuk tiba-tiba menjalar dari dada Melisa, membuatnya refleks memegangi dadanya. "Ada apa, Sayang? Sakit di mana?" Juna langsung berdiri panik. "Aku panggil dokter sekarang juga." Fanny terkekeh dingin. "Melisa, padahal Pak Juna sudah begitu memanjakanmu seperti ratu, tapi kenapa kamu tetap saja kelihatan seperti mau mati setiap saat, ya?" Begitu ucapan itu keluar dari mulut Fanny, wajah Juna langsung menggelap. Dengan emosi yang meledak, dia menampar Fanny keras-keras. "Kalau kamu nggak bisa tutup mulut, keluar sekarang juga. Kalau nggak, aku pastikan kamu nggak akan bisa bicara lagi seumur hidupmu!" Fanny memegangi pipinya sambil meringis, mendengus tak terima, lalu melangkah keluar dari ruangan dengan enggan. Begitu dia keluar, ruangan itu menjadi ramai kembali. Namun, wajah Melisa masih tetap pucat pasi. Juna dengan cemas menggenggam tangan Melisa. "Sayang, kamu sakit di mana? Dokter akan segera datang." Melisa menepis tangannya. "Aku nggak apa-apa. Sekarang aku mau ke toilet sebentar, jangan ikut." Begitu Melisa keluar ke lorong, Fanny langsung mengadangnya. Dengan senyum sinis, dia menatap Melisa dari atas sampai bawah. "Jangan pikir karena Juna menamparku demi kamu, berarti kamu begitu penting buat dia. Jangan lupa, aku yang melahirkan sepasang anak untuknya. Hatinya pelan-pelan mulai berpaling padaku." Dia mendekat dan menurunkan suaranya penuh provokasi. "Kamu percaya nggak, kalau aku bilang dua anak itu demam sekarang, dia pasti langsung datang ke tempatku?" Ketika Melisa kembali ke ruang VIP, ekspresi Juna ternyata benar-benar penuh kegelisahan. Dia segera menghampirinya dan mengecup kening Melisa. "Sayang, aku ada urusan mendesak dan harus balik ke kantor sebentar. Aku sudah bicara dengan manajer di sini, semua biaya nanti ditagihkan ke aku. Kamu nikmati saja waktumu bersama teman-teman, ya." Melisa menggenggam erat lengan bajunya. "Bukankah kamu bilang hari ini mau menemaniku? Tetaplah di sini, ya?" Saat menatap mata Melisa yang setengah memohon dan setengah tenang, entah kenapa hati Juna tiba-tiba dilanda rasa panik. Dia merasa kalau dirinya pergi hari ini, maka akan kehilangan sesuatu yang sangat penting. Namun Fanny bilang anak-anaknya sedang sakit. Itu darah dagingnya. Dia harus pergi melihat mereka. Akhirnya, Juna tetap melepaskan jari-jari Melisa yang mencengkeram erat lengannya. "Sayang, malam ini aku pasti pulang temani kamu, oke?" Melisa menarik napas dalam-dalam. Ternyata, hati Juna memang sudah mulai berpaling. Setengah jam kemudian, Fanny mengirimkan sebuah video padanya. Meski tahu pasti isinya apa, tangan Melisa tetap gemetar saat menekan tombol putar. Dalam video itu, Fanny menangis tersedu-sedu dengan wajah penuh kesedihan. "Aku merasa nggak bisa hidup kalau satu detik saja nggak melihatmu. Aku kangen kamu sampai nggak kuat, makanya datang ke reuni. Tapi waktu lihat kamu mesra dengan Melisa, aku jadi cemburu setengah mati. Makanya aku mengucapkan beberapa kata yang menyakitkan, dan kamu malah memukulku." Juna tersenyum tipis, jelas terlihat kalau dia cukup menikmati situasi itu. Dia mengambil telur hangat dan menempelkannya ke wajah Fanny yang memerah dan membengkak. "Sudah, kalau terus menangis kamu bisa-bisa jadi kucing belang. Apa pun yang kamu mau, bilang saja. Anggap saja ini bentuk kompensasi." "Kalau begitu ... ulang tahun anak-anak kita sebentar lagi. Aku mau pulau yang baru kamu beli itu menjadi hadiah ulang tahun buat mereka." Juna langsung mengernyit. "Nggak bisa. Pulau itu aku belikan untuk anakku dengan Melisa." Fanny merajuk manja. "Ayolah, Sayang. Aku sudah tanya ke seorang ahli. Katanya pulau itu cocok sekali sama tanggal lahir anak-anak kita, dan bisa bawa keberuntungan besar buat mereka. Kamu kan janji mau kasih kompensasi ke aku ... " Kali ini, Juna mengiakan permintaan itu. Fanny menatap ke arah kamera dan memperlihatkan senyum penuh tantangan. Tak lama kemudian, dia mengirimkan sebuah pesan suara. [Kamu lihat, 'kan? Bahkan hal yang awalnya sudah dijanjikan untukmu, selama aku membuka mulut, dia tetap akan memberikannya padaku. Kamu kalah.] Melisa menggenggam ponselnya erat-erat, terpaku duduk di tempat. Dia teringat, dulu saat dirinya terluka karena pekerjaan paruh waktu, Juna juga pernah membantunya meredakan rasa sakit dengan cara yang sama. Ternyata, semua yang pernah dia anggap spesial ... juga bisa dilakukan Juna untuk wanita lain. Saat itu, Melisa merasa benar-benar lelah. Tapi dia tahu, selama bisa meninggalkan Juna, semuanya akan membaik. Besok ... dia akan pergi.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.