NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 2

Setelah kembali dari rumah Yunita, Melisa segera pergi ke luar provinsi untuk membuat janji operasi aborsi. Keluarga Doreno semuanya adalah orang-orang berpengaruh dengan koneksi kuat. Jika dia melakukan operasi di kota ini, bahkan sebelum masuk ruang operasi pun, Juna pasti sudah mendapat kabar. Namun tepat sebelum masuk ruang operasi, Fanny kembali mengirimkan sebuah video padanya. Video itu berdurasi dua setengah jam. Di dalamnya, Fanny mengenakan lingerie seksi, sementara Juna memakai setelan jas rapi. Di atas meja di samping mereka, tampak berbagai barang yang digunakan untuk menambah suasana. Dapur, meja belajar, lorong masuk, keduanya bermesraan di setiap sudut ruangan tanpa rasa malu sedikit pun. Dalam video tersebut, Juna menunjukkan sisi gila yang belum pernah Melisa lihat sebelumnya. Setiap adegan dalam video itu terasa seperti belati yang menusuk hati Melisa, namun seperti menyiksa diri sendiri, dia tetap menonton hingga selesai. "Nona, sudah waktunya untuk operasi. Tapi dengan kondisimu sekarang, apakah kamu yakin sanggup?" tanya dokter dengan nada khawatir. Barulah saat itu Melisa sadar bahwa air matanya sudah membasahi seluruh wajah. Dia menangis hingga tubuhnya gemetar. Tangis itu bukan hanya karena patah hati, melainkan karena dia menyadari satu hal yang lebih menyakitkan. Meskipun sudah tahu Juna berselingkuh, dia tetap tidak bisa melepaskan cintanya terhadap Juna. Juna adalah manusia yang hidup, bukan sepotong pakaian yang bisa dibuang begitu saja. Membuang Juna dari hidupnya terasa seperti membelah dadanya sendiri, lalu mencabut jantungnya dalam keadaan berdarah dan mencabik-cabiknya hingga hancur. Melisa menyeka air matanya dan memutuskan untuk memberi Juna satu kesempatan terakhir. Dia menelepon Juna, lalu berkata, "Kamu lagi di mana? Aku kangen ... Kamu bisa pulang nggak?" Suara Juna terdengar tegang, seolah sedang menahan sesuatu. [Sayang, di kantor ada urusan penting, malam ini ... uh!] Dia mendesah tertahan, lalu suaranya tiba-tiba jadi tergesa. [Malam ini aku nggak pulang dulu ya!] Begitu selesai bicara, Juna langsung memutus sambungan. Melisa tertegun di tempat. Air matanya kembali mengalir deras. Selama ini, Juna tidak pernah sekalipun memutus teleponnya lebih dulu. Ini adalah yang pertama kalinya. Beberapa menit kemudian, Melisa menutup matanya dan menarik napas panjang. "Aku nggak apa-apa. Lanjutkan saja operasinya." Larut malam, Melisa pulang ke rumah dengan tubuh yang lemas. Pesan dari Yunita masuk. [Melisa, semuanya sudah diatur. Dua hari lagi dijalankan.] Melisa berbaring di atas tempat tidur. Sepanjang malam, setiap kali berhasil tertidur, dia akan terbangun sambil menangis. Menjelang subuh, dia hanya bisa duduk memeluk lutut dalam gelap, terjaga sampai fajar menyingsing. Keesokan paginya, Juna pulang. Dia melepas mantel, menunggu hawa dingin di tubuhnya menghilang sebelum berjalan mendekati Melisa dan memeluknya. Lalu dia membuka tablet, menunjuk pada sebuah pulau. "Sayang, lihat pulau ini. Aku baru saja membelinya. Hadiah untuk anak kita. Dan aku juga sudah memulai pembangunan taman bermain di setiap kota di seluruh negeri. Nanti semuanya akan dinamai sesuai dengan nama anak kita. Begitu dia lahir, aku akan mengadakan pesta seratus hari berturut-turut. Biar semua orang datang merayakannya bersama!" Dia mengucapkan semua itu dengan penuh semangat, namun baru menyadari bahwa sejak dia masuk ke rumah, Melisa belum mengucapkan sepatah kata pun. Tiba-tiba dia mendengar suara isak tangis pelan. Saat dia berputar ke arah Melisa, barulah terlihat bahwa wajah Melisa sudah penuh air mata. "Ada apa ini?" Suaranya gemetar karena panik. Belum pernah dia melihat Melisa menangis seperti ini. Bagi Juna, jika Melisa merasa sedikit saja tidak bahagia, maka rasa sakit yang dia rasakan akan berlipat ganda. Perasaan Melisa selalu bergaung dalam dirinya, seolah-olah diperbesar ribuan kali. Melihat air mata itu, hatinya terasa seperti diremas dan ditarik sampai nyaris hancur. "Aku nggak apa-apa." Melisa menghindari tangan Juna. "Kadang ibu hamil memang suka tiba-tiba ingin menangis." "Benarkah?" Juna akhirnya terlihat lega. "Hari ini aku temani kamu seharian di rumah, ya? Mau makan apa, biar aku yang masak." "Nggak usah," jawab Melisa lembut. "Siang nanti aku ada reuni teman kuliah, malamnya mau mampir ke rumah beberapa guru lama. Kamu kerja saja, nggak perlu khawatir." Melisa berdiri. Setelah pergi ke luar negeri, dia mungkin tak akan pernah kembali lagi. Sebelum benar-benar meninggalkan semuanya, dia hanya ingin bertemu mereka satu kali lagi sebagai salam perpisahan. Juna tidak tenang membiarkan Melisa pergi sendirian, jadi dia bersikeras ikut. Begitu mereka berdua masuk ke ruang privat tempat reuni diadakan, ruangan langsung dipenuhi gelak tawa teman-teman lama. "Aku sudah bilang, kalau Melisa datang hari ini, pasti Juna juga bakal ikut. Dia mana mungkin rela Melisa pergi sendirian." Juna hanya tersenyum santai, menerima semua candaan mereka dengan lapang dada. Dia lalu mengeluarkan hadiah yang sudah disiapkannya, dan membagikannya sendiri satu per satu kepada semua yang hadir. Semua orang terpana. "Ya ampun, ini satu set perhiasan terbaru dari Roseline, harganya sampai miliaran! Setiap kali kita dapat hadiah semewah ini dari Tuan Juna, semua berkat Melisa!" Melisa memang punya banyak teman baik sejak masa kuliah. Mereka yang hadir malam itu adalah sahabat-sahabatnya, dan Juna benar-benar bersedia mengerahkan tenaga dan uang untuk menyenangkan mereka. Sebab saat mereka senang, Melisa pun akan ikut bahagia. Dalam hati, semua diam-diam takjub akan kekuatan cinta. Bahkan pria setegar dan sejauh awan seperti Juna pun bisa berubah menjadi bunga matahari yang hangat dan tersenyum pada siapa saja. "Melisa, kami benar-benar iri padamu. Kamu punya suami yang mencintaimu sedalam itu!" Mendengar kata-kata itu, Melisa tidak lagi menampilkan senyum bahagia seperti biasanya. Dia hanya tersenyum sopan. Saat ruangan penuh dengan tawa dan canda, pintu tiba-tiba terbuka. Fanny muncul dengan penuh perhiasan mewah. "Kenapa nggak ada yang memberitahuku soal reuni ini? Bukankah kita semua satu angkatan?"

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.