Bab 10
Thalia sontak tertegun. Dia mengerjapkan matanya dan termangu menatap Zavier.
Hanisha mengikuti Zavier dengan ekspresi tenang dan berkata, "Aku baru saja memesan beberapa makanan, jadi ayo kita makan sama-sama. Tapi, terima kasih Dokter Zavier sudah mau membawakannya buatku."
Thalia pun mengepalkan tangannya.
Tiba-tiba dia mengerti. Pantas saja Zavier menawarkan diri untuk pergi ke gerbang timur dan mengambilkan pesanan. Pantas saja Zavier bilang akan merepotkan apabila Thalia mengikutinya.
Ternyata Zavier berniat menemui Hanisha.
Dengan kata lain, Thalia memang tidak pantas mengikuti Zavier.
Wisnu tertegun sejenak sebelum menyadari apa yang sedang terjadi, lalu menjawab dengan santai seperti biasa, "Oh, ternyata hari ini ulang tahun Dokter Hanisha. Kebetulan sekali."
Para dokter lain pun berkata, "Pantas saja Keluarga Wenos menyumbangkan alat-alat ke rumah sakit hari ini. Mereka juga ingin merayakan ulang tahun Dokter Hanisha, 'kan? Dokter Hanisha baru saja datang ke rumah sakit kami, jadi kami senang sekali Dokter Hanisha bergabung dengan kami. Selamat ulang tahun, Dokter Hanisha!"
Setelah itu, makin banyak orang yang memberikan ucapan selamat kepada Hanisha.
Di sisi lain, Thalia merasa tidak cocok dengan suasana yang penuh tawa dan kegembiraan ini.
Dia bahkan tidak punya tenaga untuk ikut tertawa.
Thalia merasa sangat sedih hingga hampir tidak bisa bernapas. Thalia menatap Zavier yang berada di samping Hanisha. Saat Zavier menundukkan kepala dan berbicara dengan Hanisha, tatapan pria itu tampak begitu lembut.
Tubuh Zavier setinggi 188 sentimeter. Thalia hanya setinggi bahu Zavier, tetapi pria itu tidak pernah memperlakukannya selembut ini.
Zavier juga sepertinya tidak ingat bahwa pendengaran Thalia tidak begitu bagus. Thalia harus berkonsentrasi ekstra keras setiap saat untuk memastikan dia dapat mendengar ucapan Zavier dengan jelas.
Ketika semua orang tertawa, orang yang merasa tidak cocok pasti akan menonjol.
Akhirnya, ada yang menyadari keanehan respons Thalia dan bertanya dengan nada khawatir, "Suster Thalia kenapa? Apa kamu merasa nggak enak badan?"
Karena nama Thalia mendadak dipanggil, semua orang pun refleks menatapnya. Termasuk Zavier dan Hanisha.
Saat melihat tatapan Zavier yang sedikit mengesankan bertanya, Thalia mendadak teringat kata-kata Zavier bahwa dia tidak boleh sampai mencari masalah dengan Hanisha.
Meski hati Thalia terasa sakit, dia tetap menurunkan pandangannya. Tangan kanannya memijat telinganya dengan lembut, lalu berkata dengan suara pelan, "Maaf, alat bantu dengarku tiba-tiba bermasalah tadi, jadi aku nggak bisa mendengar dengan jelas. Aku keluar dulu sebentar."
Setelah itu, Thalia mengabaikan pandangan orang lain dan berjalan keluar sambil menutup telinganya.
Tepat saat dia hendak keluar dari kantin, dia mendengar ada yang berkomentar, "Sayang sekali. Padahal Suster Thalia hebat dan cakap, tapi kenapa dia malah tuli?"
Perkataan itu terlontar dengan terang-terangan mungkin karena mereka merasa Thalia tidak bisa mendengarnya sekarang.
Thalia berhenti sejenak dan mengeratkan kedua tangan yang menutupi telinganya, lalu segera berjalan pergi.
Thalia tidak berhenti melangkah sampai suara itu benar-benar hilang dari telinganya. Dia duduk di koridor dan akhirnya melepaskan tangannya yang menekan telinganya.
Lama sekali Thalia hanya duduk di sana, dia tidak mau kembali. Pikirannya terasa kacau.
Dulu, Thalia juga makan kue di hari ulang tahunnya yang semuanya dibuat oleh Irish sendiri.
Tidak hanya kue, Irish juga akan menyiapkan banyak hadiah untuk Thalia. Irish bahkan mendesak Zavier untuk menyiapkan beberapa hadiah pula bagi Thalia.
Irish adalah satu-satunya yang tahu bahwa Thalia menyukai Zavier.
Irish pula satu-satunya orang yang akan mengelus wajah Thalia dan berkata sambil tersenyum, "Aduh, Thalia menggemaskan sekali sih."
Mengingat semua itu membuat rasa getir dalam hati Thalia perlahan bertambah kuat dan seolah merasuk ke tulang-tulangnya.
Thalia pun bergumam dengan suara rendah, "Kak, aku ingin makan kue buatan Kakak."
Tiba-tiba, ponsel Thalia berdering dan sesosok orang muncul di hadapannya.
Thalia menundukkan kepalanya dan refleks menatap ponselnya. Ternyata itu telepon dari sahabatnya, Nila Alaric.
Belum sempat Thalia mengangkat telepon itu, suara Zavier yang berat sudah terdengar. "Thalia."
Thalia pun terdiam dan mendongak menatap Zavier.
Zavier berdiri di depan Thalia, punggungnya menghadap cahaya senja yang samar di belakang sana. Zavier menundukkan pandangannya dan terdiam setelah melihat mata Thalia yang basah.
Setelah beberapa saat, Zavier pun mengernyit seolah merasa bingung. "Kamu habis menangis?"