Bab 2
Pada hari kedua setelah pulang, Sita melakukan tiga hal.
Hal pertama, mencabut surat kematian Christian dan memulihkan status pernikahan mereka yang seharusnya otomatis batal.
Hal kedua, mengganti nama dan identitasnya, serta memindahkan kartu keluarganya ke luar negeri.
Hal ketiga, pergi ke lembaga pemalsuan kematian untuk memesan "kematian palsu". Tanggalnya dipilih empat belas hari kemudian, yang juga hari pernikahannya dengan Sebastian.
Dia akan memutus hubungan dengan masa lalu dengan cara yang paling langsung.
Saat keluar dari lembaga itu, Sita melihat sebuah berita internasional.
Isinya video Sebastian terbang ke luar negeri untuk membantu Cynthia bercerai.
Pria itu mematahkan tangan dan kaki mantan suami Cynthia, membuat usaha keluarganya bangkrut total, dan semua aset jatuh ke tangan Cynthia.
Detik berikutnya setelah Sita selesai membacanya, berita itu dan seluruh topiknya langsung lenyap.
Sita tahu, ini adalah perlindungan Sebastian untuk Cynthia.
Tanpa sadar, dia teringat, setelah mendapatkan kontrak dengan bungee jumping, Sita yang baru keluar dari rumah sakit mengikuti Sebastian menghadiri sebuah jamuan.
Di sana, seseorang merendahkan Sita dan mengejeknya di depan banyak orang, mengatakan bahwa dia hanyalah seekor anjing yang mengibaskan ekor memohon belas kasihan pada Sebastian.
Namun, Sebastian bersikap seolah-olah tidak melihat apa pun, hanya duduk menonton.
Bahkan setelah itu, pria itu malah menegur Sita dengan dingin, "Kalau hal kecil seperti itu saja nggak bisa kamu selesaikan, lain kali jangan ikut aku. Memalukan."
Wajar saja, dia tidak pernah menempatkan Sita di hatinya, bagaimana mungkin dia akan memperlakukan Sita setara dengan Cynthia?
Setelah pulang, Sita mulai merapikan barang-barang pribadinya.
Dia menyetujui perjodohan ini karena ingin menjaga jantung itu seumur hidupnya.
Oleh karena itu, saat pindah, semua benda terkait Christian pun dibawanya.
Setelah merapikannya, dia memanggil kurir untuk mengirimkannya ke vila miliknya di luar negeri.
Sisanya, selain pakaian, hanyalah beberapa foto bersama Sebastian, catatan tentang kesukaan pria itu, dan banyak buku mengenai penyakit jantung.
Semuanya dilempar Sita ke tungku api dan berdiri di halaman melihatnya terbakar hingga habis.
"Apa yang kamu bakar?"
Suara batuk kesal Sebastian terdengar di belakangnya, tetapi Sita tidak menoleh. "Nggak ada, cuma beberapa barang yang nggak penting."
Sita menuang air yang sudah disiapkan untuk memadamkan api, lalu membuang abu itu ke tempat sampah.
Saat hendak pergi, Sita dihalangi.
Jarang sekali Sebastian terlihat frustrasi. "Kamu masih marah karena aku meninggalkan kamu? Kamu tahu, Cynthia sangat penting bagiku. Dia mengalami kekerasan rumah tangga, aku nggak bisa diam saja."
Ekspresi Sita tetap tenang. "Hmm. Ada lagi? Kalau nggak, aku mau masuk dulu."
Di depan Sebastian, dia selalu lembut, selalu menanggapi apa pun.
Sikap sedingin ini baru pertama kali terjadi.
Sebastian agak bingung. Baru saja dia hendak menarik Sita untuk bertanya, Cynthia sudah berjalan mendekat.
"Ini pasti Nona Sita, ya? Aku pernah mendengar Sebastian menyebutmu," sapa Cynthia dengan lembut.
Namun, dia sengaja berdiri sangat dekat dengan Sebastian, lebih mirip sedang menegaskan kepemilikan.
Kening Sita berkerut samar.
Meski dia sudah tidak peduli lagi pada Sebastian, perilaku provokatif Cynthia yang terang-terangan seperti itu sulit membuatnya merasa simpatik.
Namun, sebelum dia bicara ...
Cynthia seolah-olah menerima penghinaan besar, matanya berkaca-kaca. "Sebastian, sepertinya Nona Sita nggak suka padaku. Kalau begitu ... aku pergi saja."
Cynthia berbalik hendak pergi, tetapi ditarik oleh Sebastian. "Ini rumah Keluarga Hutomo, nggak ada yang bisa menyuruhmu pergi."
Lalu, dia menoleh pada Sita, nada suaranya berubah dingin. "Sita, Cynthia baru bercerai dan masih merasa nggak aman. Aku yang mengizinkan dia tinggal di sini. Kamu nggak perlu melampiaskan emosi padanya."
Sita merasa hal itu lucu. Dia belum mengucapkan satu kata pun, tetapi sudah dijatuhi vonis.
Sedikit rasa hangat yang dulu muncul karena jantung itu, kini menghilang tanpa jejak.
Dia tersenyum dan mengangguk. "Hmm, kamar utama di lantai tiga paling nyaman. Bagaimana kalau Nona Cynthia pindah ke sana?"