NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 269 Terbangun

Elior dan Ray tidak tahu apa yang Jane pikirkan sepanjang waktu dia sendirian di dalam bangsal bersama Sean. Ketika pintu dibuka, Sean masih bisa diselamatkan. Ada langkah kaki tergesa-gesa di koridor. Semua orang tampak gelisah. Jane seolah terlupakan karena semua orang fokus pada lelaki yang sedang diselamatkan. Tidak ada seorang pun yang berbicara. Sang dokter akhirnya mengumumkan kalau masa kritisnya sudah lewat setelah sekian lama. Akan tetapi, ini bukanlah akhir. Selama lima hari lima malam Jane bersama dengan Sean, kondisi kritis yang hampir merenggut nyawanya selalu terjadi. Selama lima hari lima malam sudah terjadi sebanyak sebelas kali. Jane sudah menghitungnya. Setiap tindakan penyelamatan, dia ingat dengan baik. Dia tidak tahu kenapa dia bersikap seperti ini. Dia tidak tahu apakah dia masih bisa memiliki energi untuk membenci Sean di dalam hatinya. Dia sendiri tidak bisa memahami dirinya sendiri, bagaimana mungkin dia bisa memahami Sean? Pagi-pagi sekali, harapan muncul. Jane seperti biasa, ada di ranjangnya melihat ke arah wajah pucat pasi lelaki di depannya sepanjang malam. Dia menatapnya dengan diam dan tidak berani tertidur meski dia begitu kelelahan. Larut malam. Jane duduk di samping ranjang Sean dan melihat ke arah wajah familier yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidupnya. Kadang-kadang, dia seperti kerasukan. Muncul pikiran buruk di kepalanya. Kalau Sean meninggal maka dia akan bebas. Akan tetapi begitu pikiran tentang kematian Sean itu muncul di kepalanya, rasa sakit yang begitu menyiksa muncul di hatinya dan membuatnya sampai kesulitan untuk bernapas. Jane tidak tahu apa yang diharapkan dari Sean. Apakah dia menginginkan lelaki itu mati atau berharap dia tetap hidup. “Apa kau tidak ingin membangunkannya?” Elior bertanya sambil menggertakkan giginya. Jane tidak bisa menjawab pertanyaan ini. “Jika dia tidak bangun maka apakah tidak akan sakit di sini?” Elior menunjuk ke sebelah dada kirinya dengan marah dan bertanya pada Jane yang sama sekali tidak menangis. Ya! Tentu saja! Dia tidak perlu bertanya-tanya, jiwa Jane sudah berteriak. ’Iya! pasti akan sakit! Sakit sekali!’ “Aku sudah mengalami banyak sekali penderitaan sebelumnya,” kata Jane. Dia tidak tahu apakah Elior bisa memahami kalimatnya ini. Entah, apakah Jane mengatakan kalimat ini untuk dirinya atau untuk Elior. ‘Aku sudah mengalami begitu banyak penderitaan. Begitu banyak penderitaan. Kau bertanya padaku apakah aku merasakan sakit atau tidak jika dia tidak pernah bangun, ya, tentu saja aku sakit. Akan tetapi, meskipun aku merasakan kesakitan, aku sudah mati rasa sekarang.’ ‘Iya, aku mati rasa.’ Jane berkata pada dirinya lagi dan lagi seolah dia tidak akan kesakitan jika hanya diam. Akan tetapi, kenapa dia tiba-tiba merasa udara seperti semakin menipis dan dia menjadi kesulitan untuk bernapas? “Aku ingin mencari udara segar.” Elior mengepalkan tangannya. Dia tidak berhak untuk menyalahkan Jane. Akan tetapi, dia hanya kesal karena wanita ini bersikap begitu dingin dan tak berperasaan. Meski begitu, kalau dia memang dingin dan tak berperasaan, kenapa dia masih ada di sisi Sean dan tidak mau pergi selama beberapa hari ini. Elior memutar kepalanya dan melihat ke arah Sean yang masih terbaring di atas ranjang rumah sakit. … Di malam hari. Ini adalah malam pertama di mana Jane tertidur karena begitu kelelahan. Dia berbaring di ranjang rumah sakit begitu dia terlelap. Di pagi hari, dia terbangun oleh suara ribut-ribut. Ketika dia membuka matanya, ada banyak orang yang mengelilingi ranjang. Dia melihat Elior dan Ray di ujung kasur. Keduanya terlihat begitu emosional. Seolah melihat ke arah … Jane menoleh dan melihat ke arah di mana orang-orang ini melihat, tatapannya mendarat di ranjang rumah sakit ... tiba-tiba .... Matanya membelalak. Matanya melongo, dia tidak berani untuk berkedip. Dia melihat ke arah lelaki yang ada di atas ranjang itu berkedip kepadanya. Berkedip? Sekarang ini, Sean sudah benar-benar bangun. Semua rasa lelah di tubuhnya sudah menghilang. Sean sudah sadar! Ada rasa bahagia yang kini memenuhi dadanya. Meski begitu, ketika dia menyadari rasa bahagia ini, dia mulai merasakan rasa jijik. Kenapa dia bahagia? Jane langsung meluapkan rasa jijik ini pada Sean. Dia meluapkannya dalam bentuk kalimat dan menyerangnya. “Aku tidak pernah menangis untukmu. Aku tidak akan menangis untukmu.” Sekarang ini, semua orang melotot ke arah Jane. Ray menahan kemarahannya, namun dia masih membentak Jane, ”Kau ini keterlaluan!” “Sean baru saja bangun dan kau sudah memarahinya? Apa kau ingin membuatnya mati karena kemarahanmu?” Eliro melanjutkan. Setelah Jane mengatakan kalimatnya, dia langsung menyesalinya. Namun demikian, dia tidak menunjukkan kelemahannya. Jane tidak minta maaf. Dua bibirnya terkatup rapat. Tiba-tiba, sebuah suara terdengar. “Kakak, apa kau membenciku?” Suara lelaki itu terdengar sedih. Dia tersinggung. Dia seperti anak kecil yang baru saja disalahkan. Jane menatap ke arah lelaki yang wajahnya sudah dipenuhi dengan keluhan. “Kau ....”

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.