Bab 268 Emosi dan Rasa Sakit yang Begitu Rumit
Begitu pintu terbuka, rasa lelah yang ada di wajah Jane seketika menghilang. Wajahnya berubah menjadi cerah dan penuh dengan senyum lebar.
Elior bersandar di depan jendela. Dia menoleh begitu mendengar suara pintu dibuka. Dia melihat Jane yang tersenyum lebar. Dia begitu kaget sampai kemarahannya bergolak dalam dirinya. Namun, sesaat kemudian, kemarahan ini menghilang.
“Masuklah.” Dia mendesah dalam hati. Jane mungkin tidak tahu kalau senyumannya sekilas memang terlihat begitu cerah, namun sesaat kemudian, senyuman ini terlihat ragu dan selanjutnya, ada semburat rasa sakit yang begitu parah di sana.
Perempuan itu masih berdiri di pintu, kakinya tidak bergerak. Elior membalikkan badannya dan berjalan ke arah Jane. Dia mengulurkan tangan panjangnya dan mengagetkannya karena menariknya ke dalam. “Berhenti tersenyum. Dia tidak akan melihatnya juga.”
Senyuman Jane menggantung di wajahnya.
“Dia tertembak di sekitar daerah jantung. Kurang lebih dua sentimeter dari jantung.”
“Setelah insiden itu, dia langsung dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawan penyelamatan darurat.”
“Setelah berjam-jam di sana, dia kemudian dibawa ke ruang operasi dan setelah itu ditaruh di ICU.”
“Kita berhasil membuat kondisi cukup baik sementara. Meski begitu, kondisinya juga tidak terlihat terlalu bagus.”
"Kondisi tidak terlalu bagus ... seburuk apa?”
Elior melihat ke arah wanita di depanya dari jarak dekat. Dia sadar kalau wajah yang terlihat cerah ini ternyata dibuat dengan riasan tebal dan lipstik merah menyala di bibirnya. Oleh karena itu, Elior sengaja melihat daerah di bawah mata. Bedak tebalnya menutupi kantung mata di sana.
Elior tidak langsung menjawab. Dia langsung membuka tirai di belakangnya.
Jane belum pernah melihat Sean dalam keadaan seperti ini. Semua jenis selang kini menempel di badannya, semua jenis alat diletakkan di sampingnya. Dia hanya terbaring di atas ranjang sakit tanpa menunjukkan tanda-tanda kehidupan.
Di belakangnya, suara Elior seperti menyapu melewati kegelapan dan mencapai telinga Jane. “Kau juga melihatnya sendiri. Dia tidak bisa bertahan tanpa menggunakan alat-alat ini.”
“Sean bergantung pada alat-alat ini untuk memonitor organ tanda-tanda kehidupannya setiap saat.”
“Sebelum kau sampai di sini, dia sudah melewati lima puluh tindakan penyelamatan darurat.”
“Dengan kata lain ....”
"Aku paham.” Jane langsung memotong kalimat Elior. Maksud Elior adalah ‘dengan kata lain Sean bisa meninggal dunia ini kapan saja.”
Perempuan ini paham dengan maksud Elior. Hanya saja, dia tidak ingin mendengarkan maksud itu dikatakan dengan keras.
"Apakah kau sudah memberitahu pihak Stewarts?”
Ketika Jane menanyakan hal ini, suaranya terdengar tercekat. Akan tetapi, dia tidak menangis dari awal sampai sekarang.
Elior menggelengkan kepalanya. ”Hanya kamu. Hubungan internal dalam Keluarga Stewart ini sangat rumit. Kalau sampai berita mengenai kecelakaan Sean ini tersebar, maka akan ada beberapa orang yang mengambil kesempatan untuk menyerang Sean.”
Wajah Jane menjadi pucat. ”Bisakah aku meminjam ponselmu?” kata Jane dengan cemas.
Begitu Jane mendapatkan ponsel Elior, dia langsung menghubungi Vivienne.
“Jangan bilang pada siapa pun kalau aku ada di luar negeri. Kau harus merahasiakannya. Kau harus menutup mulutmu beberapa hari.” Kali ini, Vivienne paham betul meski Jane tidak menyebut kata Sean.
Setelah itu, Jane mengembalikan ponselnya ke Elior.
"Bagaimana dengan kepalanya? Apakah kepalanya terluka?”
"Setelah Sean tertembak, dia ambruk dan kepalanya jatuh mengenai susuran tangga. Tidak ada luka parah di kepalanya.”
"Bisakah kau ... membiarkan aku bersamanya sendiri sebentar?”
Elior menatap tajam ke arah Jane, kemudian membalikkan badannya dan meninggalkan ruangan ini tanpa banyak bicara. Pintu bangsal rumah sakit ini pun ditutup. Hanya ada keheningan yang tertinggal. Sangat hening hingga begitu terasa menakutkan. Jane berdiri di depan ranjang rumah sakit, melihat ke arah orang yang tak bergerak sama sekali di atasnya. Kesedihan mulai menguasainya. Sejauh ini, dia masih belum menangis.
Ada pembuluh darah yang mulai terlihat menonjol di sekitar rongga matanya yang kering. Cinta, benci, kesedihan, rasa sakit. Tatapan matanya begitu rumit hingga tidak ada yang berani menatapnya secara langsung kali ini.
Semuanya terasa begitu sunyi. Tidak ada yang tahu apa yang sedang Jane pikirkan saat ini. Dia hanya berdiri di samping ranjang, terlilit oleh cinta, benci, kesedihan dan rasa sakit. Perasaan ini begitu rumit hingga tidak ada bahasa yang bisa merubahnya menjadi kata-kata. Jane melihat ke arah lelaki yang terbaring di atas ranjang itu tanpa berkedip.