Bab 346
Di sisi lain.
Di dalam ruang tamu kediaman utama kepala keluarga.
Saat ini, Damian dan Anis berdiri berhadapan. Satu dengan wajah dingin, satunya lagi dengan wajah muram. Suasana tegang, seakan ada dua aura berbeda yang saling berbenturan di udara.
“Jangan pernah mengatur hal seperti ini lagi untukku!” kata Damian dengan suara dingin.
"Apa yang kurang dari Nona Besar keluarga Andraji? Di zaman sekarang, di antara para gadis muda yang cocok untuk dinikahi dan sepadan dengan keluarga Cavali kita, hanya Nona Besar Andraji yang paling sesuai. Dia cerdas, berpendidikan, dan juga memiliki keahlian dalam bidang kedokteran. Kalau kalian menikah, dia akan sangat membantu keluargamu. Lalu, apa lagi yang masih membuatmu nggak puas?" ujar Anis dengan wajah tegas dan nada suara yang keras.
"Kalau sehebat itu, kenapa nggak kamu saja yang menikahinya?" tanya Damian sambil menyeringai sinis.
Damian lebih tinggi setengah kepala dari Anis, sehingga pandangan matanya menampilkan sikap angkuh dan meremehkan.
“Sungguh memalukan!” bentak Anis seraya membanting keras cangkir porselen biru-putih di tangannya ke lantai.
Itu adalah salah satu perabot teh antik dari Dinasti Qima yang sangat dia sukai. Biasanya dia sangat menjaganya dengan hati-hati, tetapi sekarang dia sendiri yang menghancurkannya. Itu menunjukkan betapa marahnya dia.
Pengurus rumah tangga keluarga Cavali yang berdiri di samping tersentak kaget. Dengan sigap dia memapah Tuan Anis untuk duduk dan menenangkannya, "Tuan, jangan marah."
Kemudian, dia beralih pada Damian dan berkata, "Pak Damian, Pak Anis sedang nggak enak badan. Jangan sengaja membuatnya marah."
Bukannya tidak sengaja?
Belum lagi usia Anis yang hampir seumuran kakeknya Selvi, posisi Nyonya Utama keluarga Cavali juga belum lowong.
"Pak Damian ini setiap kali pulang selalu ingin membuat Pak Anis marah. Akhirnya, keduanya selalu bertengkar hebat dan berpisah dalam keadaan tidak menyenangkan. Ah, sungguh melelahkan," batin Anis.
"Dua tahun di luar benar-benar membuatmu liar! Semua ajaran keluarga Cavali sudah kamu lupakan. Seharusnya kamu kubiarkan saja di barak seumur hidup!" ujar Anis sambil memukul meja dengan keras.
"Seharusnya kamu sudah mengakhiri hidupku sejak lama. Sekarang menyesal bukankah sudah terlambat!" pungkas Damian. Dia menatap Anis dengan tajam.
Dulu, ibunya dipaksa hingga mati oleh pria ini, sehingga dia dibawa kembali ke keluarga Cavali oleh Hendra.
Setelah kepergian Hendra, kakak keenamnya berturut-turut menjalani masa hukuman penjara. Tak lama kemudian, kakak ipar keenamnya meninggal dunia dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Kejadian-kejadian tragis ini membuat Anis berhasil merebut hak asuh Damian.
Dulu, dia masih kecil dan terpaksa mengikuti aturannya.
Sekarang masih ingin mengendalikan dirinya?
Mimpi!
"Kamu! Kamu ... Uhuk uhuk ... "
Anis marah sampai terbatuk keras.
“Pak Anis, cepat minum obatnya.” Kepala Pelayan Cavali segera mengeluarkan obat yang selalu dibawanya, menuangkan air, dan memberikannya pada Anis.
Setelah Anis minum obat, dia berusaha menenangkan diri selama beberapa saat, lalu mengangkat kepalanya dan melihat Damian menatapnya dengan wajah dingin dan tanpa perasaan.
Tatapan dingin itu, serta kebencian yang tak tersembunyi, seolah-olah sedang memandang mayat.
"Kamu pikir sekarang sudah dewasa, aku nggak bisa melakukan apa-apa lagi?" Wajahnya menegang, suaranya berubah serius saat melanjutkan, "Kalau kamu mau dua kontrak investasi dengan keluarga Amarta itu berjalan lancar, sebaiknya kamu menurutiku!"
Mendengar itu, Damian menatapnya dengan tatapan dinginnya dan berujar, “Apa yang kamu inginkan?”
Anis mengira Damian takut, lalu berkata dengan suara tajam, “Aku nggak peduli bagaimana kamu bersenang-senang di luar, tapi calon istrimu hanya bisa dari keluarga yang setara, yaitu putri keluarga Andraji!”
"Sudah kubilang, kalau mau menikah, kamu saja yang menikah! Urus saja urusanmu! Kalau kamu masih berani mencampuri urusanku lagi, jangan salahkan aku kalau bersikap kasar!"
Damian pergi setelah mengucapkan kata-kata itu.
Brak!
"Lancang! Apa kamu pikir aku nggak bisa mengaturmu?" teriak Anis seraya mengangkat sebuah cangkir porselen biru dan melemparkannya ke arah Damian yang berjalan pergi.
Cangkir itu jatuh dan pecah di ambang pintu. Pecahan terlempar ke belakang kepala Damian, dia sedikit memiringkan kepala dan menghindarinya dengan mudah.
"Pak Anis, tenanglah. Jangan sampai sakit karena emosi. Pak Damian memang keras kepala. Makin Anda memaksanya, dia justru akan makin keras kepala, dan malah mendapatkan hal yang sebaliknya," hibur Kepala Pelayan Cavali.
"Apa aku harus terus-menerus menuruti kemauannya?" kata Anis dengan tatapan tajam lalu menambahkan, "Aku nggak mau! Kalau begitu, dia akan benar-benar merasa nggak ada seorang pun di dunia ini yang bisa mengendalikannya!"