NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 345

Selvi mengepalkan tangannya erat-erat. Sungguh menjengkelkan! "Nona Selvi sudah datang. Cuacanya dingin, mari masuk ke dalam," ujar Bibi Raina yang keluar saat mendengar keributan. Dia adalah pelayan pribadi Wenda. Selvi menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri. Dia lalu berbalik dan menampilkan senyum sopannya. "Baiklah, apa Kak Wenda sudah bangun?" "Sudah, dia sudah menunggu Anda untuk sarapan bersama," jawab Bibi Raina sambil tersenyum. Saat keduanya memasuki ruang tamu, seorang pemuda muncul dari balik dinding. Rian menyeringai sinis. "Kata siapa Damian punya pengendalian diri yang bagus? Jelas-jelas dia suka pria. Sekalipun diberi obat perangsang, dia nggak akan tertarik pada wanita!" ejeknya dalam hati. "Selvi juga bodoh, kenapa harus menyukai Damian?" "Kak Wenda, aku datang untuk menemanimu sarapan," katanya sambil masuk ke ruang tamu. Di ruang tamu, Wenda langsung menjamu Selvi di meja makan. Melihat keberadaan pemuda itu, dia tersenyum senang. "Rian, kamu datang." Setelah itu, dia minta Bibi Raina untuk menambah alat makan. "Saat lewat toko bunga, aku lihat anyelir ini indah sekali. Jadi, aku membawakanmu seikat." Rian berkata sambil mengeluarkan seikat anyelir merah muda dari balik tubuhnya, lalu menyerahkannya pada Wenda. Trik ini berhasil membuat Wenda tersenyum lebar. Anyelir dikenal sebagai "bunga ibu", dan perhatian seperti ini tentu menyentuh hatinya sebagai seorang ibu. "Anak baik, kamu benar-benar perhatian. Cepat cuci tangan, lalu kita sarapan bersama." Wenda menerima bunga itu dengan senyuman lebar. Dia kemudian menyerahkannya pada Bibi Raina. Rian masuk ke dapur untuk mencuci tangan, lalu kembali dan duduk di sebelah Wenda, berhadapan dengan Selvi. Dia melemparkan senyuman manis pada Selvi sambil berkata, "Nona Selvi, semalam pertemuanmu dengan Paman Damian nggak berjalan baik, ya?" Selvi baru saja berusaha melupakan kejadian semalam. Namun, pertanyaan itu membuatnya teringat lagi, ekspresinya berubah pucat. "Dasar kamu ini." Wenda berpura-pura menegur Rian. Kemudian, dia balik bertanya pada Selvi, "Pamanku nggak melakukan apa-apa padamu, 'kan?" Teringat akan kejadian semalam, Selvi pun berusaha memaksakan senyum dan menjawab, "Pak Damian sangat sopan. Dia jujur dan baik. Kami belum sampai ke tahap itu. Dia mengerti maksudkku dan menghormati alasanku." "Kamu nggak perlu cari alasan. Pamanku sama sekali nggak suka wanita. Dia sukanya pria," ujar Rian dengan blak-blakan. Senyum di wajah Selvi seketika lenyap. Andai saja Damian benar-benar menyukai pria, dia tidak akan merasa semalu ini. Namun, kenyataannya apa? Tidak sama sekali! Bayangkan, dia adalah putri keluarga Andraji, wanita genius yang sejak kecil selalu dihormati. Dia belum pernah mengalami penghinaan seperti ini! "Diam! Kamu nggak tahu apa-apa!" tegur Wenda pada Rian, lalu lanjut mengajak Selvi bicara. "Anak-anak nggak tahu apa-apa. Jangan dimasukkan hati, ya. Kalau Pamanku memang suka pria, dia nggak akan berhubungan dengan wanita lain di Kota Binsar, bukan?" Selvi masih diam. Bukannya merasa terhibur, dia malah makin tersakiti. "Kemarin malam memang agak terburu-buru. Ini salahku. Lain kali, kita pakai cara lain. Jangan khawatir, aku, Ayah, Nenek, dan semuanya menyukaimu. Kamulah yang akan jadi menantu ketujuh keluarga Cavali," janji Wenda. Ekspresi Selvi sedikit membaik. "Baiklah, nanti aku akan memeriksa kondisimu." Wenda senang sekali. Selain untuk mendekati Selvi, tujuan utama dari tindakannya ini adalah agar dokter sakti tanpa nama itu bisa memeriksanya.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.