Bab 458
Ujung jariku terasa agak dingin. Dengan lembut, aku menyentuh pipinya dan menciumnya lagi.
Untuk sementara ini, aku ingin melupakan semua kerumitan.
"Davin ... " Aku mulai membuka kancing bajuku, melepas kemeja, lalu membuka pengait bra di belakang.
Aku yang mengambil langkah pertama, tetapi malah Davin yang malu.
Wajahnya tiba-tiba memerah dan matanya refleks ingin berpaling.
"Lihat aku ... " Aku menempelkan dahiku ke dahi Davin dan melanjutkan ciuman tadi.
Dia ingin mengambil kendali, tetapi aku sudah mengikat tangannya di belakang dengan kemejaku.
"Kamu ... belajar dari mana?" tanya Davin dengan tergagap dan wajah memerah. Namun, aura dan tatapannya tetap menekan.
"Internet," jawabku jujur.
"Kamu ... jangan buka situs yang aneh-aneh." Davin terbatuk, merasa bahwa rasa penasaranku terlalu kuat.
"Tunggu dulu." Saat jemariku menyentuh pinggangnya, Davin mencegahku dan dengan suara serak berkata lagi, "Laci sebelah kiri ... ada kondom."
Aku menyipitkan mata dan memegang leher Davin. "Kenapa ada kondom di ruang bawah tanah?"
Sebaiknya dia memberikan penjelasan yang masuk akal.
Davin menghindari tatapan mataku dan menjawab, "Kalau-kalau ... aku perlu menyekapmu di sini."
Ternyata dia punya niat lain saat membantu menyembunyikanku. Dia ingin menyekapku di ruang bawah tanah dan bercinta denganku.
"Kita sudah sah," bisik Davin.
"Kalau ada yang nggak setuju, sudah menikah pun juga nggak boleh memaksa." Aku tersenyum menggodanya dan duduk di pangkuannya sambil menggoyangkan pinggangku.
Napas Davin mulai memburu, tetapi dengan sabar dia berkata, "Waktu itu kamu memohon padaku."
Dia ternyata khawatir aku paranoid dan tidak ingin keluar lagi.
Jadi, bercinta pun mungkin akan terpaksa di tempat ini.
Aku menunduk dan menciumnya lagi. "Vincent ... bantu aku melupakan semuanya biarpun cuma sebentar."
"Oke ... "
Entah sejak kapan dia sudah melepaskan ikatan di tangannya dan segera menindihku. Ciumannya pun menghujani tubuhku.
"Davin ... "
Aku meneriakkan namanya seolah-olah ingin membenamkan kekhawatiranku.
Hanya pada saat seperti ini, aku bisa fokus sepenuhnya. Aku tidak perlu berpikir lagi dan tidak perlu meragukan siapa pun.
Davin baru berhenti pukul dua pagi.
"Lepaskan ikatanku." Suaraku serak. Dengan mata yang merah, aku mencoba menarik-narik tanganku.
Dia ternyata cepat meniru.
"Ngga mau." Davin mendengus sambil memelukku erat. "Kalau dilepas, kamu bakal lari."
"Vincent!" Aku memanggil namanya sambil mengertakkan gigi.
Namun, dia tidak peduli. Tangannya kembali meraba-raba tubuhku. "Shani ... aku masih ingin ... "
"Awas, ya! Jangan coba-coba!" Aku segera waspada. Apa dia ingin membunuhku?
Davin menggerutu dengan wajah cemberut, lalu memelukku seperti seekor gurita.
"Vincent, aku peringatkan, ya. Lepaskan aku."
Dia tetap acuh tak acuh.
Aku malas berdebat lagi dan akhirnya tertidur kelelahan.
Saat bangun keesokan harinya, tali di pergelangan tanganku sudah dilepas dan aku meringkuk di pelukannya.
Aku harus mengakui, Davin adalah obat penenangku.
Aku dan Davin tidur di ruang bawah tanah semalam. Ruang itu tidak berjendela dan hanya memiliki sistem ventilasi. Aku merasakan rasa aman yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.
"Pak, ada perempuan di luar. Katanya, dia putri Yeno." Fendi mengetuk pintu dan memberi laporan, tetapi Davin tetap memelukku dan berpura-pura tidur.
Aku menyipitkan mata dan menjewer telinganya. "Jangan pura-pura tidur."
Davin membuka matanya dengan kesal sambil berbisik. "Iya, iya, aku bangun."
Sekarang dia baru bangun.
"Putri Yeno?" Putri sulung Yeno mengidap kelumpuhan otak sejak lahir dan kabarnya sudah meninggal. Sementara itu, putri kedua Yeno adalah anak dari istrinya yang sekarang. Jadi, yang datang pastilah putri kedua Yeno.
Dia juga cucu dari direktur rumah sakit jiwa.
"Oh, Tuan Arya juga datang," lapor Fendi lagi.
Aku mengernyit. Apa Arya dan putri Yeno datang bersama?
"Oh, iya, ada Bu Yuna juga," tambah Fendi.
Davin bangkit dengan kesal. "Lain kali, laporkan semuanya sekaligus. Biar Yuna dan Arya bisa aku usir dulu."