Bab 439
"Shani, jangan takut," bisik Davin untuk menenangkanku. Dia sengaja berlari mendekat dan menabrak seorang tentara bayaran dan seorang penduduk setempat.
Pemimpin tentara bayaran marah dan menodongkan senjatanya ke Davin.
"Jangan tembak!" Aku terkejut dan segera berbicara. Aku tahu kami semua ingin melawan.
Tentara bayaran yang lainnya ikut mengarahkan senjata kepada kami.
Penduduk setempat saling berbicara dengan bahasa yang tidak kami mengerti. Namun, terlihat jelas bahwa mereka sudah terbiasa dengan keberadaan tentara bayaran ini.
Davin mengangkat kedua tangannya dan perlahan-lahan mundur.
Tanpa perlawanan, kami pun naik ke mobil.
Kami dikumpulkan di bagian belakang mobil. Semua meringkuk, memeluk kepala masing-masing.
Davin melirikku dan diam-diam mengeluarkan ponsel yang tadi dia curi dari penduduk setempat yang ditabraknya.
Melihat itu, Yesa mengacungkan jempol ke arah Davin.
Ben juga menganggukkan kepala kepada Davin.
Kami tidak bisa bahasa setempat, jadi Davin kesulitan melapor ke polisi. Dia hanya mengirimkan lokasi dan menunggu kesempatan.
Pemimpin tentara bayaran sedang menelepon dan setelah mobil berhenti, dia mencocokkan wajah kami dengan gambar di ponselnya.
"Ini, ini." Pemimpin itu menunjuk aku dan Davin, lalu kami ditarik ke luar dari mobil.
Davin menyelipkan ponsel itu ke tangan Ben.
"Kalian mau apa?" Arya mengerutkan kening, mengkhawatirkan keselamatanku.
Namun, tidak ada yang menggubrisnya.
Alih-alih, seorang tentara bayaran memukul Arya dengan popor senapan.
"Sisanya nggak terlalu penting, tapi di antara mereka ada polisi. Bawa mereka pergi," kata pemimpin tentara bayaran kepada bawahannya. Dia sepertinya memerintahkan agar Ben dan yang lainnya dilepaskan.
Ben mengerutkan kening dan dengan waspada menatap para tentara bayaran. "Kalian mau membawa mereka berdua ke mana?"
"Mau dibawa ke mana itu bukan urusanmu. Kalau masih mau hidup, cepat pergi." Pemimpin itu menunjuk ke arah Ben, lalu berbalik dan pergi.
"Shani … " Meskipun baru saja dipukul, Arya kembali berteriak dengan cemas, ingin melindungiku.
Aku memelototinya, memberi isyarat padanya agar diam.
Apa dia sudah bosan hidup?
Arya terdiam dan menatapku dengan ekspresi rumit.
Aku mengalihkan pandanganku dari Arya dan menatap Ben sejenak. Clara dan Zane sangat membutuhkan perawatan, jadi mereka harus segera pergi.
Ben mengangguk, mengisyaratkan agar aku tidak perlu khawatir.
Melihat itu, aku dan Davin pun bisa merasa sedikit lega.
Aku menatap Davin sejenak dan tersenyum untuk menenangkannya.
Davin balas tersenyum dan menggenggam tanganku.
Kami dinaikkan ke mobil yang lain dengan tangan terikat dan mata tertutup.
"Mungkin ... kita akan dibawa ke pusat perdagangan manusia."
Davin mengiakan dan menggenggam tanganku lebih erat.
"Diam!" bentak tentara bayaran yang mengawasi kami.
Mobil pun berjalan perlahan. Di luar, terdengar keramaian aktivitas penduduk setempat.
Aku menutup mata dan jari-jariku menyentuh urat nadi dengan lembut.
Aku dan Davin harus berusaha mengingat rute kami dengan mendengarkan suara-suara di sekitar.
Setelah sekitar satu jam, mobil akhirnya berhenti.
Seorang tentara bayaran melepas penutup mata kami.
Aku segera mencari Davin.
Davin yang berdiri di sampingku tersenyum.
"Mau membandingkan siapa yang bisa mengingat rute ke sini dengan lebih baik?" bisikku.
Davin mengangkat alisnya. "Oke."
Dia memang selalu memanjakanku. Di tengah situasi genting dan dalam keadaan terikat di markas musuh, dia masih saja meladeni candaanku.
"Suntik mereka."