NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 1

[Selena, kamu sudah pikirkan yang kita bicarakan waktu itu? Kakekmu sakit parah, Ibu dan Ayah hanya punya seorang putri, kamu. Kamu benaran nggak mau pulang untuk mewarisi perusahaan keluarga?] Di kamar yang kosong dan hening, Selena Zamira sedang memegang kuas sambil mendengarkan suara lelah ibunya yang muncul dari ponsel. Dalam cahaya redup, dia menyelesaikan goresan terakhir pada lukisan keluarga kecil beranggotakan tiga orang. Saat ibunya mengira bahwa kali ini pun tidak akan berhasil membujuknya, Selena tiba-tiba berkata, "Baiklah." Naura tertegun, agak tidak percaya dengan apa yang didengarnya. "Kamu ... kamu setuju?" "Ya," jawab Selena dengan tenang. "Aku setuju, tapi aku masih perlu waktu untuk beresin urusan di sini. Dalam setengah bulan, aku akan pulang," tambahnya. Setelah menyampaikan beberapa hal, dia menutup telepon. Selena keluar dari kamar, memandang ke arah tiga orang di ruang tamu. Matanya tertuju pada pria yang duduk di sofa. Wajah pria itu tampan, tegas namun tidak garang, berwibawa dan tenang. Kemeja dan celananya rapi, kancing dikancingkan hingga atas, seluruh penampilannya tampak sangat berkelas. Itulah suaminya, Niko Horman. Pria yang dulu dia pilih dengan tegas, menolak perjodohan keluarga, bahkan rela memutus hubungan dengan keluarga demi menikah dengan pria tersebut. Di Kota Bellis, Pak Niko dikenal sebagai "Pangeran Dingin", jarang tersenyum, selalu menjaga jarak. Akan tetapi, kini dia sedang berbicara lembut dengan seorang wanita. Di samping mereka, seorang anak laki-laki berusia lima atau enam tahun yang sangat rupawan melompat ke pelukan wanita itu, matanya berbinar saat berkata dengan manja, "Tante Susan, aku ingin makan ikan asam manis, bisa Tante buatkan?" Wanita itu bernama Susan Harun. Dia tersenyum lembut sambil menyentuh hidung si kecil. "Tentu," jawabnya. Wajah Simon tampak berseri-seri. "Tante Susan baik sekali, nggak seperti Mama. Mama selalu nggak bolehin aku makan banyak." Setelah mengatakan itu, Simon mengerucutkan bibirnya. Susan tertawa dan berkata, "Kalau begitu, hari ini Simon makan lebih banyak, ya." Simon mengangguk, lalu tersenyum manis. "Tante Susan memang terbaik! Andai saja Tante itu ibu kandungku." Mendengar itu, senyum Susan makin dalam. Dari lantai atas, Selena merasakan sakit yang samar di hatinya. Anak kecil cenderung makan berlebihan. Selena membatasi makan putranya hanya agar tidak sakit perut karena makan terlalu banyak. Selena tidak berniat melihat pemandangan itu lagi. Padahal dua orang itu adalah suami dan anaknya, tetapi mereka bertiga malah terlihat seperti satu keluarga. Sementara dirinya, seperti orang asing di rumah ini. Dia berbalik dan masuk ke kamar. Tidak lama kemudian, terdengar langkah kaki dan Susan masuk ke kamar. Susan mengenakan riasan sempurna, tersenyum lembut saat berkata, "Kak Selena, ayo turun, kita rayakan ulang tahun Simon bersama." Dulu, Selena adalah anak magang di bawah Selena. Latar belakangnya miskin, dan kemampuannya biasa saja. Dia pernah menangis di hadapan Selena, mengatakan dia akan dipaksa menikah oleh keluarganya kalau tidak dapat pekerjaan. Merasa iba, Selena pun menerimanya ke perusahaan. Siapa sangka, yang membawa masuk orang ketiga yang merusak rumah tangganya adalah dirinya sendiri. Susan meniru gaya dan sikap Selena, berusaha menggantikan posisi Selena sebagai istri pemilik Grup Astron. Saat Selena menyadarinya, Susan sudah akrab dengan suami dan anaknya. Selena sudah melihat dengan jelas kedok di balik wajah Susan, dan diam-diam pernah membenci dirinya sendiri karena telah membawa serigala masuk ke rumah. "Aku sedang nggak enak badan, jadi nggak ikut dulu," ujar Selena dengan nada dingin. Dengan wajah polos, Susan menasihati, "Kak Selena, kamu kan ibunya Simon. Dia butuh ucapan selamat dan doa darimu." Selena mengernyit. Saat ingin menolak lagi, dia teringat sesuatu dan menghela napas. Simon masih anak-anak, tidak seharusnya menjadi korban karena urusan orang dewasa. Sebagai ibunya, Selena merasa wajib memberikan ucapan selamat dan doa untuknya. Selena akhirnya meletakkan peralatan melukisnya. Saat Selena berjalan menuju pintu, melewati Susan, bahu mereka saling menyentuh sedikit. Senyum di wajah Susan sempat memudar, dan matanya menyiratkan kebencian sebelum dia ikut turun ke bawah. Melihat Niko dan Simon, Selena terdiam sejenak. Sepuluh tahun lalu, dia masuk ke Grup Astron untuk mengasah diri. Di perusahaan inilah dia bertemu dengan Niko. Hubungan mereka dimulai dari bertengkar, lalu bercanda, dan akhirnya menikah. Selena menolak perjodohan keluarga, bersikeras menikah dengan Niko, bahkan memilih putus hubungan dengan orang tuanya. Selama sepuluh tahun, dia tidak pernah menyesali keputusan itu. Suami tampan dan baik, anak cerdas dan menggemaskan. Dia pernah merasa hidupnya sangat bahagia. Selena memandang Susan yang dengan ramah menyendokkan makanan untuk ayah dan anak itu. Kehadiran Susan telah mengubah segalanya yang dulu indah. Saat Selena diam-diam mengambil lauk untuk makan, tiba-tiba rasa mual menyerangnya. Dia buru-buru meletakkan sendok dan berlari ke kamar mandi, mulai muntah-muntah. Niko yang tampak khawatir bersiap pergi melihat Selena, tetapi dihalangi Susan yang tampak cemas. Susan menarik lengan Niko, sorot matanya dipenuhi kekhawatiran saat bertanya, "Pak Niko, Kak Selena kenapa?" Niko segera menenangkan Susan dengan suara lembut, "Belakangan ini dia begitu terus, nggak apa-apa, jangan khawatir." Niko lalu menoleh ke Selena dan mencibir, "Kali ini pakai alasan apa lagi? Flu? Masakan rumah nggak enak?" Selena tidak menjawab, hanya menyeka sudut bibirnya dengan tisu. Kalau dia bilang sedang hamil, apakah mereka akan percaya? Sudahlah, toh dia akan segera pergi. Untuk apa memberi tahu mereka? Jangan sampai merusak hubungan mesra suami dan si wanita ketiga. Sebagai sekretaris, Susan bahkan berani menasihati atasannya dengan sikap yang manja, "Pak Niko, jangan bicara begitu pada Kak Selena. Mungkin dia memang sedang nggak enak badan. Belakangan ini dia terlihat makin kurus." Sambil bicara, Susan bangkit dan menuangkan segelas air hangat, lalu menyodorkannya ke Selena. "Kak Selena, kamu nggak apa-apa, 'kan? Minumlah sedikit." Selena masih merasa mual, dan lebih tidak tahan lagi melihat wajah Susan. Dengan kesal, dia mendorong tangan Susan menjauh. Dia jelas tidak menggunakan banyak tenaga, tetapi Susan justru mengikuti arah dorongan itu, membuat air tumpah ke tangannya sendiri. "Ah!" Susan menjerit kesakitan. "Susan!" "Tante Susan!" Niko dan Simon serempak berlari ke sisi Susan, menatap tangannya dengan penuh kekhawatiran. Tangan Susan yang putih kini memerah karena terkena air panas. Mata Simon berkaca-kaca, penuh rasa sayang. "Tante Susan, sakit sekali ya?" Susan sengaja menunjukkan senyuman getir. "Nggak apa-apa, Simon. Tante yang ceroboh. Nggak sakit kok." Niko menatap Selena, matanya nyaris menyala marah. Suaranya dingin seperti es saat bertanya, "Kamu sedang cari masalah apa lagi?!" Selena merasa sangat terluka, tetapi saat bertemu tatapan penuh kemenangan dari Susan, dan melihat putranya berdiri melindungi Susan, dia menutup mata dengan putus asa. "Bukan aku." Mana mungkin Niko percaya, 'kan? Setelah dokter keluarga datang, Niko membantu Susan, membiarkan Susan bersandar di dadanya. Sorot matanya yang penuh kekecewaan tertuju pada Selena. "Selena, kamu sudah berubah. Kamu dulu nggak melakukan hal seperti ini hanya karena cemburu." Selena berubah? Ya, dia memang berubah. Sepuluh tahun lalu, dia tidak punya kerutan akibat melahirkan normal, tidak punya kulit kusam karena bergadang demi anak. Dia juga tidak akan meninggalkan karier demi memasak di rumah hanya karena permintaan suami, yang akhirnya digantikan oleh wanita baru. Selena tiba-tiba merasa sangat lelah. Dia menelan semua kata-kata penjelasan, lalu berbalik naik ke atas. Sebelum masuk kamar, dia menoleh, memandang kekacauan di bawah. Terakhir, dia menatap suami dan anak yang dulu dia cintai sepenuh hati. Mereka masih saja mengelilingi Susan, seolah ketiganya sulit terpisahkan. Selena menggelengkan kepala dengan senyum pahit, lalu menyentuh lembut perutnya sendiri. Dia membuka ponsel dan mengatur hitungan mundur untuk pergi. Dia berbalik, masuk ke kamar tanpa sedikit pun berat hati. Mulai sekarang, dia tidak akan mengganggu mereka lagi.
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.