NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Cinta yang TerlupakanCinta yang Terlupakan
Oleh: NovelRead

Bab 4

"Cepat berlutut!" Arya membentak keras. Para pengawal langsung maju dan menekan bahu Alika seolah wanita itu adalah pelaku kejahatan. Alika berontak, tapi tetap dipaksa berlutut hingga kedua lututnya menghantam marmer dingin dengan keras sampai kesakitan. Vino mengangkat cambuk rotan yang sudah disiapkan dari tadi. Dia mengayunkannya hingga menimbulkan angin, lalu mengarahkannya ke punggung Alika. "Plak!" Rasa sakit menjalar, seolah ada ribuan jarum menancap bersamaan di punggung Alika. Wanita itu menggigit bibirnya hingga berdarah, tapi dia tetap diam tanpa suara. "Apa kamu sudah menyadari kesalahanmu?" tanya Kak Vino. "Aku nggak salah ... " Alika mengucapkan sederet kata tersebut dengan susah payah. "Plak!" Cambukan kali ini lebih keras daripada sebelumnya. Punggungnya sampai berdarah, darahnya merembes ke bajunya seperti bunga merah darah yang merekah. "Apa kamu sudah menyadari kesalahanmu?" "Aku nggak salah ... " Dia terus dicambuk. Setiap cambukan itu seolah merobek jiwanya. Punggungnya makin berdarah-darah dan merembes ke rok putihnya, bahkan hingga menetes ke lantai. "Sudah ... jangan dicambuk lagi, kumohon ... " Bu Linda si pelayan tua berlutut sambil terisak, "Nyonya bisa mati ... dia bisa mati kalau diteruskan ... " Namun, ketiga kakak Alika tidak mau dengar. Mereka terus mencambuki adiknya. Alika mulai kehilangan kesadaran, matanya sudah berkunang-kunang. Samar-samar, dia mendengar ketiga kakaknya berkata, "Kalau tetap nggak mau mengakui kesalahanmu, akan terus kami cambuk sampai mengaku." Tubuh Alika sudah tidak sanggup saat dicambuk lagi. Pandangannya jadi gelap gulita dan dia hilang kesadaran. Sebelum pingsan, hal terakhir yang dia lihat adalah genangan darah di lantai. Serta tatapan dingin ketiga kakaknya. Alika dibiarkan sendirian di kamarnya selama tiga hari. Dia berbaring di ranjang, dan bisa mendengar suara tawa dari kamar sebelah. Siang dan malam, suara manja Fania serta ketiga kakaknya yang berusaha membujuk, ditambah tawa rendah Randi, terdengar begitu mengiris hati Alika yang sudah terluka. "Minum obatnya, Fania." "Nggak mau ... obatnya pahit ... " "Ya sudah, nanti aku beri permen kalau sudah minum obat." "Randi, aku mau disuapi ... " Alika membenamkan wajahnya di bantal, tangannya terkepal erat. Dia kira dirinya sudah mati rasa dan tidak akan sakit hati lagi. Tapi setiap kali menarik napas, dadanya masih terasa seperti dihantam. Pagi hari di hari keempat, Alika bisa bangkit dari ranjang. Dia berjalan dengan susah payah sambil berpegangan pada dinding. Dia berjalan pelan ke arah tangga, dan mendengar suara orang mengobrol riang di bawah. "Kudengar, belakangan ada lumba-lumba di laut sekitar sini." Randi jarang terdengar sesenang ini saat bicara, "Fania kan dari dulu ingin lihat lumba-lumba." "Kalau begitu, ayo kita lihat ke sana hari ini." Ketiga kakaknya setuju, "Sekalian supaya Fania senang." Langkah Alika terhenti di tikungan tangga. Tangannya yang memegang erat pegangan tangga pun gemetar. Luka cambukan di punggungnya masih belum sembuh, dia juga masih sulit berjalan. "Alika?" Fania tiba-tiba mendongak kaget. "Kamu akhirnya bangun juga!" Keempat pria yang lain juga ikut mendongak dan melihat Alika di tangga dengan tatapan rumit. Alika terlihat sangat kurus, membuat baju tidur yang wanita itu pakai tampak longgar. Pergelangan tangannya juga masih lebam. "Kami mau pergi lihat lumba-lumba," kata Fania. Dia berlari naik tangga dan merangkul lengan Alika dengan semangat. "Kamu mau ikut?" Alika refleks menarik tangannya, membuat Fania langsung ingin menangis. "Alika, aku sudah memaafkanmu." Suara Fania terdengar menahan tangis. "Kamu memang sudah mempermalukanku ... tapi karena sisa umurku nggak lama lagi, aku nggak akan mempermasalahkannya." "Alika!" Randi langsung maju dan berdiri di depan Fania, berusaha melindunginya. "Fania sudah minta damai, kamu malah bersikap begini?" Arya menyeringai. "Benar, lihatlah Fania, lalu lihat dirimu sendiri. Kalian benar-benar beda!" Alika menggigit bibirnya sampai berdarah. Dia menatap keempat pria yang dulu begitu dekat dengannya, kini malah terasa begitu asing. Pada akhirnya, demi menyenangkan Fania, Alika dipaksa ikut naik yacht. Laut biru membentang luas, matahari menyinari kapal kecil itu, membuat orang silau. Fania bersemangat saat usul minta makan barbeku. Tapi keempat pria itu langsung mengernyit dan melarangnya. "Aku sudah mau mati ... " Fania menunduk, suaranya makin lirih saat lanjut berkata, "Apa aku nggak boleh melakukan apa yang kumau?" "Jangan asal bicara begitu!" Fian langsung menutup mulutnya. "Kami sudah menghubungi dokter ahli terbaik di luar negeri, kamu akan baik-baik saja." Alika duduk diam di sudut, menatap mereka sibuk menyiapkan barbeku. Tidak ada yang ingat kalau Alika alergi makanan laut. Sama seperti tidak ada satu orang pun yang ingat kalau punggungnya masih terluka. "Kenapa nggak makan?" Randi tiba-tiba memperhatikannya. "Aku alergi makanan laut." Alika menjawab pelan. Suasana otomatis jadi canggung. Randi mengerutkan kening, dia mau berdiri dan minta koki menyiapkan makanan lain. Tapi tiba-tiba ada ombak kencang. Yacht sampai goyang dan membuat panggangan terbalik. Bara api pun jadi terbang ke mana-mana! "Awas!" Alika melihat keempat pria itu bergegas ke arah Fania di saat bersamaan. Mereka menggunakan tubuh mereka sebagai tameng untuk melindungi wanita itu. Sementara Alika sendiri ... "Ah!" Bara api menyambar gaun Alika dan langsung membakarnya! Dia berguling-guling sambil meraung kesakitan, tapi tidak ada yang menoleh ke arahnya.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.