NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Cinta yang TerlupakanCinta yang Terlupakan
Oleh: NovelRead

Bab 2

Manajer itu melihat kedua mata Alika yang memerah, tapi dia juga tidak berani banyak bertanya. Dia segera menyiapkan dokumen, lalu dengan hormat berkata, "Kami akan segera mengurus semua prosedurnya. Begitu semuanya beres, kami akan segera mengabari Nona kapan bisa pergi ke pulau itu." Alika menandatangani semua dokumen yang dibutuhkan, lalu mengeluarkan kartu hitam dari dalam dompet. Dia sama sekali tidak ragu saat menggesek kartu untuk bayar. Dia pulang ke rumah saat langit sudah gelap. Ketika Alika membuka pintu, cahaya lampu berwarna kuning menerangi hangatnya ruang tamu tempat orang-orang berkumpul di sofa. Randi sedang mengupaskan apel untuk Fania. Jari-jari panjangnya memegang pisau buah. Randi mengupas apel layaknya mengukir karya seni. Sementara ketiga kakak Alika juga duduk mengitari sofa. Kak Fian membawakan obat dan berkata, "Fania, sudah waktunya minum obat." "Obatnya pahit ... " Fania mengerutkan hidungnya, mulai merajuk, "Aku mau ada permen juga." Arya langsung mengeluarkan permen susu dari sakunya. "Ini permen kesukaanmu sejak kecil. Aku selalu siap sedia untukmu." Alika berdiri di pintu, kedua tangannya mengepal erat. "Alika?" Randi orang pertama yang menyadari kedatangannya. Dia meletakkan pisaunya dan menghampiri Alika. "Kenapa hari ini nggak di rumah? Kamu dari mana saja?" Suaranya masih tetap lembut, seolah dia bukanlah pria yang tadi siang memeluk dan mencium Fania di depan kantor catatan sipil. Alika hanya diam, tatapannya tertuju pada sosok Fania. Randi mengikuti arah pandangnya, kemudian menjelaskan, "Fania mengidap kanker stadium akhir, makanya pulang ke sini. Permintaan terakhirnya hanyalah ingin kami temani di sisa usianya." Dia terdiam sejenak, lalu lanjut, "Dulu dia salah karena kabur dari pernikahan. Tapi dia tetaplah kakakmu, makanya demi kamu ... " "Demi aku?" Alika tiba-tiba tertawa, lalu berkata, "Atau sebenarnya kamu memang nggak pernah bisa melupakannya?" Randi mengerutkan kening. "Alika ... " "Alika!" Vino maju dan hendak membelai rambut Alika seperti biasa. Tapi gerakan tangannya terhenti di udara, dan malah beralih menepuk bahu Alika. "Sisa waktu Fania nggak banyak, kehadirannya jauh lebih berarti dari siapa pun di rumah ini." "Benar." Fian menyahut, "Fania memang nakal dari kecil. Tapi sekarang dia sudah menyadari kesalahannya setelah mengalami banyak kesulitan di luar sana. Lagi pula, kita kan keluarga." Arya mendekat dan menambahkan, "Alika, kamu kan anaknya pengertian?" Hati Alika begitu ngilu hingga nyaris mati rasa saat mendengarkan ucapan mereka semua. Akhirnya, Alika mengangguk pelan. "Baiklah." Keempat pria itu menghela napas lega, mereka tampak puas. "Kamu tunggu sini temani Fania." Randi berujar lembut, "Kami mau menyiapkan kamar untuknya." Setelah suara langkah kaki mereka menghilang di tangga, Fania berjalan pelan menghampiri Alika. Wajahnya memang terlihat pucat, tapi tatapannya terkesan sombong. "Adikku, sudah lima tahun aku nggak memberimu hadiah." Alika otomatis mundur selangkah. Dari kecil hingga dewasa, hadiah yang dimaksud Fania merupakan boneka yang berisi jarum, atau kue yang dicampur obat pencahar. "Jangan takut." Fania tersenyum tanpa dosa. "Aku nggak akan menyakitimu seperti lima tahun lalu." Usai bicara begitu, dia mengulurkan kotak hadiah ke pelukan Alika, bahkan berbaik hati membukakannya. "Ah!" Seekor ular berbisa melompat keluar dan menggigit pergelangan tangan Alika! Rasa sakit menyebar ke seluruh tubuh wanita itu. Alika jelas langsung melemparkan kotak itu menjauh. Tapi kotak itu malah mengenai bahu Fania. Fania sampai jatuh ke lantai. Dia menjerit sambil menangis keras, "Aduh, sakit ... " "Ada apa ini?" Keempat pria di lantai atas bergegas turun, dan mereka malah melihat ... Fania menangis tersungkur di lantai, sementara Alika memegangi tangannya yang berdarah dengan wajah pucat. Randi orang pertama yang bergegas turun dan mendorong Alika. "Apa yang kamu lakukan?" Alika terhuyung menabrak meja, membuat punggungnya kesakitan. "Fania sudah baik hati memberimu hadiah." Vino berkata sinis sambil membantu Fania berdiri. "Apa ini caramu membalasnya?" "Itu ular ... " Alika berkeringat dingin menahan sakit. "Dia memberikan ular beracun supaya menggigitku ... " "Omong kosong!" Arya berseru keras, "Fania mau jalan saja sulit, mana mungkin dia sanggup cari ular untuk mencelakaimu?" Fania menangis pilu, air matanya turun deras. "Randi, Kak Vino, Kak Fian, Kak Arya, aku cuma ... cuma mau memberi hadiah dan berbaikan dengan Alika. Nggak kusangka dia masih dendam padaku. Dia bahkan tega menuduhku!" Alika tidak pernah menyangka, sudah lima tahun berlalu, tapi Fania masih jago akting. Alika benar-benar tertekan, dia pun berusaha mengambil kotak tadi. "Aku nggak bohong! Kalau nggak percaya kalian lihat ... " "Cukup!" Randi meraih pergelangan tangan Alika dengan kasar. Luka bekas gigitan ular tadi makin berdarah-darah. "Dia itu kakakmu yang sedang sakit. Kenapa kamu setega ini padanya?" Fian sudah membantu Fania berdiri dan memeluknya. "Ayo ke rumah sakit, dia nggak boleh sampai syok." Keempat orang itu bergegas pergi, tanpa ada satu orang pun yang melihat kondisi Alika. "Aku nggak bohong ... itu memang ular ... " Alika berlutut di tanah. Racun ular tadi mulai menyebar, membuat pandangannya makin buram. Dia melihat para pelayan menghampirinya dengan panik. Dia mendengar teriakan ketakutan mereka, tapi kesadarannya juga menghilang perlahan. "Nyonya! Nyonya!" Bu Linda berlutut di samping Alika sambil menggoyang dan menepuk wajahnya. "Bangun!" Ambulans melaju kencang membawa Alika ke rumah sakit. Tapi saat berada di IGD, dokter jaga di sana malah pergi dengan tergesa. "Maaf, semua dokter baru saja dipanggil ke ruang VIP. Kondisi Nona Fania tiba-tiba memburuk, makanya atasan menyuruh para dokter untuk fokus menanganinya. Sebaiknya kalian cari rumah sakit lain." Bu Linda panik, sambil menahan tangis dia berkata, "Nggak bisa! Nyonyaku nggak akan sanggup bertahan. Dia bisa mati di jalan!" Alika terbaring di ranjang pasien dalam kondisi kadang sadar kadang tidak. Tubuhnya berkeringat dingin menahan rasa sakit, tapi luka di hatinya tetap lebih menyakitkan. Dia mengeluarkan ponsel dengan tangan gemetar, lalu berusaha keras menekan nomor telepon Randi. Telepon berdering lama hingga akhirnya diangkat. "Randi ... " Napas Alika sudah tercekat saat berkata, "Aku digigit ular berbisa ... tolong ... kirimkan dokter ... " "Alika!" Nada bicara Randi malah terdengar sedingin es, "Kondisi Fania memburuk karenamu! Dia mengidap kanker, bisa-bisanya kamu setega itu? Kamu bahkan masih mau pura-pura di saat seperti ini?" "Nggak ... aku nggak pura-pura ... " Telepon lalu diakhiri sepihak. Alika menggenggam erat ponselnya, hanya bisa menangis tanpa suara. Dia meringkuk menahan sakit. Kesadarannya juga makin sirna perlahan. "Nyonya! Nyonya!" Bu Linda mengguncang tubuhnya sambil menangis. "Jangan pingsan! Jangan!" Tapi Alika tidak sanggup lagi. Rasanya begitu menyakitkan, dia lelah ... Kelopak matanya pun menutup perlahan.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.