NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Cinta yang TerlambatCinta yang Terlambat
Oleh: NovelRead

Bab 4

Zavier selalu bersikap rendah hati dan sopan di hadapan Andre dan istrinya, Liana Chandra, semata-mata karena mereka adalah orang tua Irish Wenos. Irish adalah putri sulung Keluarga Wenos dan kakak perempuan Thalia. Seharusnya, dialah yang menjadi tunangan Zavier. Sayangnya, Irish meninggal akibat mengalami kecelakaan pada malam sebelum pesta pertunangan. Zavier dan Irish dulunya adalah pasangan yang membuat semua orang iri. Akhir-akhir ini sedang musim hujan. Thalia baru saja turun dari mobil dan sedang memegang payung, tetapi tubuhnya sudah basah kuyup. Begitu memasuki sebuah ruangan privat yang hangat karena pemanas, Thalia refleks mengecilkan tubuhnya. Dia menyapa Andre dan Liana dengan hormat. Liana tidak mau menatap Thalia, sementara Andre berkata dengan tenang, "Kamu sudah datang? Ayo duduk." Thalia mengiakan dengan patuh, lalu duduk di sebelah Zavier. Namun, begitu Thalia duduk, Liana langsung berujar dengan kesal, "Seenaknya saja main duduk. Memangnya kamu masih punya tempat di sini?" Thalia sontak terdiam. Suara Zavier yang datar tanpa emosi pun menyadarkan Thalia. "Hanisha sudah kembali." Mata thalia berkilat bingung. Saat dia hendak bertanya, tiba-tiba dia mendengar suara sepatu hak tinggi menapak di belakangnya. Liana segera berdiri sambil tersenyum. "Sudah meneleponnya, Hani? Ayo cepat ke sini, biar mereka bisa menyajikan makanan." "Halo, apa kamu bisa minggir?" tanya seorang perempuan dengan suara yang jernih dan ramah dari belakang Thalia. "Kamu menghalangiku." Thalia pun menoleh dengan perlahan, lalu sontak mematung. Di belakangnya berdirilah seorang wanita yang bertubuh jangkung. Dia cantik sekali dengan rambut pendek yang mencapai telinganya. Penampilannya jadi tampak makin keren. Namun, yang membuat Thalia tercengang adalah karena wajah perempuan ini 80% mirip dengan Irish. Hanisha Furma sedikit mengernyit, mungkin karena ekspresi Thalia terlalu terang-terangan. Dia akhirnya berujar lagi dengan suara yang terdengar dingin dan angkuh, "Ini tempat dudukku." Thalia pun tersadar dari keterkejutannya dan menyadari sesuatu. Irish memiliki saudara kembar yang hilang saat mereka masih sangat kecil. Setelah itu, Andre membawa saudara kembar Irish pulang. Thalia menatap Hanisha di depannya. Wajah yang mirip sekali dengan Irish itu tidak bisa menipu siapa pun. Apalagi setelah melihat sikap Liana, semuanya menjadi jelas. Liana akhirnya berujar mendesak dengan tidak sabar, "Kenapa kamu malah menghalangi jalan? Benar-benar nggak punya otak." Thalia kembali terdiam sesaat, lalu menurunkan pandangannya dan refleks mundur dua langkah untuk memberi ruang bagi Hanisha. Ekspresi Hanisha terlihat datar. Dia mengabaikan Thalia dan duduk di sebelah Zavier. Thalia menatap Zavier dan membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu, tetapi sorot mata Zavier tampak begitu dingin. Thalia akhirnya menelan kembali apa yang hendak dia katakan. Zavier memang tidak pernah sabar dengan Thalia, apalagi peduli terhadap situasi Thalia yang memalukan atau menjelaskan apa pun kepada Thalia. Zavier hanya akan merasa itu merepotkan. Vila Harmoni adalah rumah milik Keluarga Wenos, ruangan privat ini disediakan bagi Keluarga Wenos untuk makan. Saat Irish masih hidup, Keluarga Wenos hanya beranggotakan empat orang. Setelah Irish meninggal, Zavier pun bergabung dengan keluarga tersebut. Andre tidak suka kursi kosong, jadi di dalam ruang privat selalu disiapkan empat kursi kosong. Sekarang, Andre, Liana, Zavier dan Hanisha sudah duduk. Thalia hanya bisa berdiri di sana dengan bodoh. Dia tidak berani pergi tanpa perintah dari Andre. Di tengah lingkungan yang begitu megah ini, Thalia seperti sosok yang tidak pada tempatnya. Namun, tidak ada yang menyadari rasa malu Thalia. Mata dan hati Liana dipenuhi oleh Hanisha. Dia menatap Hanisha dengan sorot penuh iba dan kasih sayang. "Hani, kamu pasti sangat menderita selama ini. Ibu dan Ayah selalu mencarimu." Ekspresi Hanisha tetap tidak berubah, dia tetap acuh tidak acuh terhadap kekhawatiran Liana. "Aku baik-baik saja, orang tuaku sangat menyayangiku." Liana terdiam, matanya tiba-tiba memerah. Namun, dia tetap tersenyum dan berkata, "Kali ini semua berkat Zavier. Seandainya Zavier nggak bertemu denganmu saat sedang kuliah dan membawamu kembali untuk melakukan tes DNA dengan kami, entah berapa lama lagi kita baru bisa dipertemukan kembali." "Memang sebuah kebetulan," sahut Zavier dengan ekspresi datar. Setelah terdiam sejenak, dia menambahkan, "Wajah mereka mirip sekali." Mereka semua tahu siapa yang Zavier maksud. "Ini bukan kebetulan, 'kan?" Liana tersenyum lagi. "Tapi, Bibi tetap sangat berterima kasih padamu. Gara-gara masalah Hani, kamu sudah gelisah selama sepuluh hari lebih. Katanya kamu bahkan meminta cuti dari rumah sakit dan menolak menghadiri rapat yang sangat penting. Itu nggak berdampak pada kariermu, 'kan?" Thalia mengangkat pandangannya dan mendengar Zavier menjawab dengan santai, "Itu hanya rapat biasa. Nggak akan terlalu berdampak kok." Thalia diam-diam mengepalkan tangannya, pikirannya terasa agak kacau. Ini adalah pertama kalinya dia mendengar Zavier mengatakan bahwa pekerjaan tidaklah penting. Zavier selalu sangat teliti, terutama dalam bekerja. Tuntutannya bahkan lebih ketat daripada tuntutan kepala poli. Beberapa orang secara pribadi mengatakan bahwa Zavier bagaikan mesin yang tidak kenal lelah. Dalam beberapa tahun terakhir semenjak menjadi anggota di rumah sakit, Zavier tidak pernah mengambil cuti atau tidak masuk kerja. Namun .... Ternyata sepuluh hari Zavier pergi itu bukannya untuk menghadiri rapat, melainkan untuk menjemput Hanisha pulang. Ternyata bagi Zavier, ada sosok dan hal yang lebih penting daripada pekerjaan.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.