Bab 3
Siang harinya, Thalia baru saja menyelesaikan pekerjaannya ketika Andre meneleponnya.
"Ayah," sapa Thalia dengan hormat.
"Datanglah ke Vila Harmoni malam ini," kata Andre. "Ada yang ingin kubicarakan."
"Oke." Thalia selalu berperilaku baik dan patuh di depan Keluarga Wenos.
"Ajak Zavier datang juga," ujar Andre mengingatkan.
Sebelum Thalia dapat menjawab, Andre sudah menutup telepon.
Nada sibuk yang terdengar dari ujung sana terkesan begitu dingin dan cepat seolah-olah mendesak Thalia.
Thalia memperlambat langkahnya dan melihat ke arah ruangan dokter dengan agak ragu.
Setelah beberapa saat, dia akhirnya mendekat. Thalia hendak mengetuk pintu, tetapi dia malah menabrak Wisnu Faro.
Wisnu adalah dokter yang memujinya tadi pagi. Wisnu sedang memegang rekam medis. Ketika melihat Thalia, pria itu pun tersenyum sambil berkata, "Suster Thalia? Kamu ke sini untuk bertemu Dokter Zavier?"
Thalia mengangguk. "Aku ada urusan dengannya."
Wisnu menyerahkan rekam medis di tangannya kepada Thalia dengan santai. "Semuanya sudah makan, jadi harusnya dia lagi beristirahat di dalam. Kebetulan sekali kamu mau masuk, tolong berikan rekam medis pasien di kasur nomor 4 padanya. Aku lagi ditunggu Direktur karena ada yang ingin dia bicarakan denganku."
Wisnu berujar dengan sangat cepat, kelihatannya pria itu sedang terburu-buru.
Namun, Wisnu masih cukup berbaik hati. Sebelum berbalik badan dan berjalan pergi, dia membukakan pintu ruangan kantor untuk Thalia.
Apa boleh buat. Thalia pun berjalan masuk sambil membawa rekam medis itu.
Namun, begitu masuk, Thalia justru mendengar suara wanita yang merintih dan panik.
Thalia sontak terkejut. Detik berikutnya, dia mendengar suara Zavier yang dingin. "Siapa yang mengizinkanmu masuk?"
Thalia langsung tertegun. Dia menatap Zavier, tetapi yang pertama kali dia lihat adalah seorang pasien wanita yang duduk di depan meja Zavier sambil menangis.
Thalia segera menyadari bahwa sebagian besar pasien yang dirawat di poli bedah saraf memiliki masalah serius di bagian dalam tengkorak mereka.
Namun, sebagian besar dari mereka tidak dapat menerima kenyataan dan pertahanan mental mereka ikut hancur.
Meskipun begitu, yang namanya manusia pasti enggan memperlihatkan kerapuhan mereka di hadapan orang lain.
Thalia segera menurunkan pandangannya dan meminta maaf dengan suara pelan, "Maaf, aku nggak bermaksud begitu."
Zavier tidak menjawab Thalia dan berujar menghibur pasien di depan dengan suara yang berubah menjadi hangat, tenang dan menguatkan, "Kamu kembali ke kamar rawat saja dulu atau kamu bisa turun ke bawah untuk berjalan-jalan dan menenangkan diri. Langsung temui saja aku kalau kamu ada pertanyaan apa pun."
Nada bicara Zavier yang lembut membuat pasien wanita itu merasa terhibur, dia pun segera meninggalkan ruang kantor dengan kepala tertunduk.
Thalia sendiri masih berdiri diam dengan bingung.
Dia selalu tahu bahwa kelembutan Zavier adalah senjata pemungkas pria itu dalam memperlakukan siapa pun.
Namun, Zavier tidak pernah memperlakukan Thalia seperti itu.
Dia menundukkan kepalanya dan menjelaskan mengapa berjalan masuk dengan suara pelan, "Dokter Wisnu memintaku untuk menyerahkan rekam medis ini padamu."
Thalia tidak mengatakan bahwa bukan dialah yang membuka pintu.
"Pintu kantornya tertutup, tapi kamu nggak mengetuk?" Zavier yang selalu berpakaian rapi mengamati Thalia dengan ekspresi datar. "Apa nggak ada yang memberitahumu soal aturan kalau kamu nggak boleh mengusik privasi pasien?"
"Nggak kok." Thalia bukanlah orang yang suka mengelak dari tanggung jawab, tetapi saat ini dia tidak dapat menemukan penjelasan lain. Setelah menyangkal, Thalia terdiam lagi.
Zavier memegang pena di tangannya, sorot tatapannya tampak begitu tajam menusuk dan mendalam.
Zavier sebenarnya adalah tipe orang yang jarang menunjukkan emosinya, tetapi sekarang Thalia dapat dengan jelas merasakan bahwa pria itu sedang marah.
Thalia pun menggigit bibirnya, lalu meletakkan rekam medis itu ke atas meja dan berbicara dengan sangat lambat saking gugupnya, "Aku nggak akan mengulanginya lagi."
Zavier melempar penanya ke atas meja hingga menimbulkan suara pelan, lalu berkata dengan nada yang kasar, "Jangan lupa pakai otakmu kalau mau melakukan apa-apa."
Thalia berdiri di depan Zavier dengan perasaan malu.
Dia memang tidak pandai berkomunikasi dengan orang lain.
Karena mengalami gangguan pendengaran saat masih kecil, jadi cara bicara Thalia pun ikut terpengaruh. Akibatnya, Thalia masih berbicara dengan lambat hingga sekarang.
Kemudian, Thalia ditertawakan karena cara bicaranya yang gagap dan menjadi lebih pendiam.
Zavier tidak menyadari semua ini, jadi dia menyahut dengan dingin, "Keluar."
Thalia meletakkan rekam medis itu ke atas meja, lalu menggigit bibirnya dan berbisik, "Ayah baru saja menelepon. Dia meminta kita pergi ke Vila Harmoni untuk makan malam nanti."
Satu-satunya respons yang Thalia terima adalah diamnya Zavier.
Thalia mengira Zavier tidak mendengarnya, jadi dia mengulangi ucapannya dengan suara pelan, "Ayah bilang ...."
Namun, Zavier langsung menyelanya.
Zavier meletakkan rekam medis yang baru dia ambil itu kembali, lalu menatap Thalia dengan tajam dan kesal. "Kamu berisik sekali."
Thalia langsung berhenti bicara dan tidak berani mengatakan apa pun lagi.
Saat berhadapan dengan tatapan Zavier yang dingin, Thalia melengkungkan ujung jarinya dengan hati-hati. Dia berusaha keras untuk mempertahankan senyumannya agar tetap tersungging.
Thalia menyedot hidungnya pelan, lalu berkata dengan cepat dan dengan suara pelan, "Kalau begitu, kutunggu kamu nanti saat pulang kerja."
Setelah itu, Thalia bergegas keluar dari ruang kantor Zavier.
Namun, dia tetap tidak berani terlalu berisik. Thalia bahkan menutup pintu dengan hati-hati karena takut mengganggu Zavier.
Sore harinya masih sibuk seperti biasa. Saat Thalia menyelesaikan semua serah terima tugas, waktu sudah menunjukkan pukul enam sore.
Thalia buru-buru berganti pakaian dan pergi menemui Zavier.
Namun, ketika tiba di ruang kantor dokter, pintunya tampak sedikit terbuka. Sepertinya, sedang ada rapat di dalam sana.
Thalia akhirnya terpaksa menunggu di luar.
Rekan-rekan kerjanya yang kebetulan pulang bersamaan pun melihat Thalia menunggu di luar. Mereka tersenyum dengan penuh arti dan berujar menggodanya, "Kamu menunggu Dokter Zavier pulang kerja lagi? Berjuanglah, Thalia. Kami mau menghadiri pernikahanmu dengan Dokter Zavier."
Thalia hanya mengatupkan bibirnya dan tidak berkata apa-apa, tetapi wajahnya yang menunduk terasa sedikit panas.
Dia menunggu di pintu ruang kantor selama hampir setengah jam sebelum pintunya terbuka.
Satu per satu dokter berjalan keluar, tetapi hanya Zavier yang tidak kelihatan.
Thalia merasa agak bingung. Dia melihat Wisnu berjalan ke arahnya dan berkata, "Suster Thalia kok belum pulang? Seingatku kamu giliran siang hari ini."
"Dokter Zavier mana?" Thalia balik bertanya. "Aku nggak melihatnya."
Wisnu terdiam sejenak, lalu menjawab, "Dokter Zavier sudah pulang lebih cepat. Setelah rapat siang tadi, dia langsung pulang sekitar jam 2 siang. Apa dia nggak memberitahumu?"
Napas Thalia sedikit tercekat dan dia mengerjap-ngerjapkan matanya. "Dia pasti nggak memberitahuku karena aku juga yang nggak bertanya padanya."
Wisnu menatap Thalia dengan penuh simpatik dan berkata, "Nggak apa-apa, dia memang sibuk. Dia bahkan nggak membalas pesanku."
Thalia tersenyum, lalu mengucapkan terima kasih kepada Wisnu dan meninggalkan rumah sakit.
Dia tidak menelepon atau mengirim pesan kepada Zavier untuk mengingatkannya agar pergi ke Vila Harmoni.
Karena dia tahu bahwa Zavier sangat peduli dengan apa pun yang menyangkut Keluarga Wenos.
Sesuai dugaannya, ketika Thalia tiba di Vila Harmoni, dia melihat Zavier di sana.