Bab 7
Dokter mengernyit. "Pokoknya, Pak Sebastian terlalu lelah, ada risiko penyakit jantungnya kambuh. Kalian sebagai keluarga harus benar-benar memperhatikan."
"Malam ini adalah periode kunci untuk melihat stabil atau nggaknya kondisinya, harus dijaga semalaman. Kalian atur saja."
Setelah dokter selesai bicara, teman-teman Sebastian saling pandang, lalu serempak menoleh ke arah Sita.
Orang-orang ini semuanya anak orang kaya yang bahkan jarang menyentuh pekerjaan rumah.
Sita hanya bisa menghela napas tidak berdaya.
"Malam ini biar aku yang berjaga. Kalian cari orang untuk bergiliran menemani."
Selesai berkata, Sita mengikuti ranjang operasi menuju kamar perawatan, duduk di tepi tempat tidur menemani Sebastian yang masih tidak sadarkan diri.
Menjelang tengah malam, Sebastian menunjukkan tanda-tanda akan sadar. Bibirnya bergerak-gerak seperti sedang memanggil seseorang.
Sita menunduk, dan mendengar pria itu memanggil nama "Cynthia".
Satu kali, dua kali, lemah, tetapi penuh kelembutan dan kerinduan.
Dari luar pintu terdengar suara teman-teman Sebastian. "Aku sudah telepon Cynthia puluhan kali, dia tetap nggak angkat."
Sita memandang Sebastian, dalam hatinya timbul rasa mengejek.
Sejak kecil, Sita tidak pernah mendapat kasih sayang, kemampuan membaca situasi sudah dia latih hingga sempurna.
Cynthia tulus pada Sebastian atau memanfaatkannya, bisa dilihat Sita dengan sangat jelas.
Sayang sekali Sebastian mencintainya begitu dalam, sampai dibohongi pun dia rela.
Sedangkan Sita yang menemani pria itu selama lima tahun penuh, sama sekali tidak pantas disebutkan di hatinya.
Keesokan paginya, setelah berjaga semalaman, Sita sudah kelelahan.
Menunggu dokter selesai memeriksa dan memastikan kondisi Sebastian tidak bermasalah, Sita pun bangkit hendak pergi.
Kebetulan dia berpapasan dengan Cynthia.
Lehernya berkilau emas, mengenakan hadiah piala lomba balap kemarin.
Pada jari yang menyibak rambutnya, terpasang cincin pernikahan yang dipilih oleh Sita.
Melihat Sita menatap cincin itu, tatapan Cynthia penuh tantangan dan kemenangan. "Aku bilang aku suka, dia langsung memakaikannya kepadaku."
"Mau cincinnya, juga orangnya. Hanya dengan satu kalimatku, dia mau mempertaruhkan nyawanya. Sita, kamu mau pakai apa untuk menandingiku?"
Sita mencemooh, langsung mendorongnya dan berjalan keluar.
Cynthia menariknya. "Aku bicara denganmu, dasar tuli ... "
Tiba-tiba dari kamar terdengar batuk keras. Ekspresi Cynthia membeku, lalu dia mendorong Sita dan berjalan masuk.
Wanita itu memasang wajah gembira berlebihan. "Sebastian, kamu sudah sadar?"
Sebastian tampak lemah, tetapi tersentuh. "Cynthia, kamu menjagaku semalaman?"
Cynthia mengalihkan pembicaraan. "Sebastian, kamu bisa sadar itu sudah sangat baik. Kalau nggak, aku pasti merasa sangat bersalah."
Sita tidak berminat lagi untuk mendengar kalimat selanjutnya.
Dia naik taksi pulang untuk tidur, tetapi dibangunkan oleh dering ponsel.
Dari seberang terdengar suara kesal Sebastian. [Sita, aku lagi sakit.]
Sita memijit pelipis dengan jengkel. "Lalu, kenapa? Ada apa?"
Sebastian terdiam sesaat, lalu menahan amarah dan bertanya, [Cynthia menjagaku semalaman, kenapa sampai sekarang kamu belum datang menjengukku?]
Sita mencibir. "Kamu terluka demi dia, ya biar dia yang merawatmu. Bukannya itu sudah seharusnya?"
[Sita, cemburu itu ada batasnya. Cynthia tubuhnya lemah, semalaman di sini, bagaimana bisa kuat? Kamu datang gantikan dia.]
Sita begitu mengantuk, dan langsung memutus telepon.
Sore hari ketiga, Sebastian pulang, sudut bibirnya terangkat dengan senyum lembut.
"Sita, malam ini ada pertemuan, kamu ikutlah."
Sita spontan menolak. "Nggak. Aku nggak kenal mereka."
Sebastian tidak pernah mengajaknya mengikuti pertemuan lingkaran sosialnya.
Karena sekarang Sita akan pergi, makin tidak perlu dia ikut.
Namun, kali ini, Sebastian bersikeras mengajaknya ikut.
"Sebentar lagi kamu akan menikah denganku, kamu juga harus mengenal mereka."
Sikapnya terlalu tegas, hingga Sita tidak bisa menolak, dan hanya bisa menyetujuinya.