Bab 5
Sherly jatuh terduduk dengan keras.
"Klik! Klik!"
Kilat lampu kamera menyala, banyak kamera menangkap momen memalukan ini.
Sherly refleks menatap ke arah Evander, tapi yang dia lihat hanyalah tatapan dingin.
Dia paham maksud tatapan Evander.
Hatinya terasa perih.
Dia ingin Sherly berkata pada media kalau ini hanya salah paham. Nona Hanna sedang sakit dan kebetulan suamiku ada di sini. Rasa empati seorang pria terhadap orang sakit adalah sesuatu yang wajar.
Tangan yang menahan perutnya mencengkeram lebih erat, lalu dia menunduk dan tersenyum.
Awan di langit biru perlahan bergerak, sinar matahari menembus celah kerumunan.
Namun tidak mengenai tubuhnya.
Sherly menenangkan diri, lalu perlahan berdiri.
Dia membelakangi Evander, lalu menjawab dengan tenang, "Aku ikut simpati atas penyakit Nona Hanna, tapi hanya sebatas itu."
"Jadi, kamu dan Hanna teman, ya?" tanya seseorang yang tidak tahu diri.
"Teman?" Sherly tertawa tipis.
"Bukan. Siapa yang mau berteman dengan orang yang tiap hari berhubungan nggak jelas dengan suami sendiri?" Sherly berkata dengan nada dingin, lalu melambaikan tangan pada Casie yang sudah datang dengan mobilnya.
"Sherly!" Suara marah Evander terdengar di belakangnya.
Namun dia tidak peduli, tetap berdiri tegak membelakanginya.
Casie segera menarik Sherly pergi dan sebelum pergi, Casie sempat mencibir.
"Oh, orang yang nggak tahu pasti mengira kalian pasangan sah lagi yang memarahi selingkuhan. Sungguh nggak tahu malu, huh!"
"Kamu!" Hanna langsung marah dan ingin bicara.
Namun Casie segera menyelanya, "Kamu apa? Aku hanya bilang yang sebenarnya. Kalau kamu mau pakai kamera untuk menyudutkanku, silakan saja."
Mendengar itu, wajah Hanna makin pucat, seperti akan pingsan.
Suasana di sana langsung kacau.
Sementara itu, Casie sudah menarik Sherly masuk ke mobil dan langsung pergi.
"Jangan khawatir, terlihat jelas dia hanya pura-pura pingsan. Aku sudah sering lihat, jadi bisa langsung tahu," kata Casie menenangkan.
Sherly hanya tersenyum tanpa daya. "Bukan dia yang aku khawatirkan, tapi kamu. Bagaimana kalau mereka mengganggu pekerjaanmu?"
Lampu merah menyala di depan, Casie menginjak rem, lalu tersenyum lebar ke arah Sherly.
"Teman, apakah kamu lupa kalau kepala rumah sakit adalah ayahku?"
Sherly memutar bola matanya. "Aku hanya ingat ada yang bilang, kalau seumur hidup nggak akan pernah mengakui orang tua itu sebagai ayahnya."
"Ah, masa lalu biarlah berlalu! Sekarang aku berharap semua orang hebat di dunia ini jadi ayahku!"
Keduanya bercanda sebentar. Setelah yakin Sherly baik-baik saja, lampu hijau menyala dan mobil pun kembali melaju.
"Sore ini aku ada waktu, jadi katakan saja apa yang kamu ingin aku lakukan. Aku nggak akan menolaknya!" kata Casie dengan sikap pasrah.
Sherly ikut tertular suasana dan tersenyum nakal.
"Kebetulan sekali, ada satu hal yang butuh bantuanmu."
"Apa itu?" Casie menatapnya polos.
"Bantu aku pindah rumah." Sherly menggenggam pergelangan tangannya. "Nggak boleh berubah pikiran!"
Akhirnya, Casie menyerah.
Dua jam kemudian, mereka berdua datang bersama petugas pengemasan dan tukang pindahan ke rumah yang sudah ditinggali Sherly dan Evander selama setahun.
Dulu, pernikahan mereka begitu terburu-buru. Semua barang dibeli seadanya.
Termasuk rumah ini.
Tapi selama setahun, di bawah sentuhan Sherly, tempat ini perlahan berubah menjadi seperti rumah.
Bukan lagi sekedar bangunan yang dingin.
Sayangnya ....
Casie sibuk memberi perintah pada petugas pengemasan, sementara Sherly mengambil sebotol Cannel nomor lima di rak lemari.
Itu hadiah pertama yang Evander belikan untuknya sepulang dari dinas sejak pernikahan mereka.
Aroma klasik.
Saat Evander pulang, tubuhnya masih membawa sedikit aroma kabut dari luar negeri.
Begitu turun dari pesawat, Evander langsung pulang mencarinya.
Pelukannya kala itu terburu-buru, ciumannya pun begitu mendesak.
Waktu itu, mereka seperti pasangan biasa.
Sherly membuka tutup botolnya, menyemprotkan sedikit.
Masih aroma yang sama.
Sama seperti waktu Evander mencium bibirnya setelah menyemprotkan parfum itu.
"Yang ini juga mau dibawa?" Casie melihat parfum itu, lalu memanggil orang mendekat.
Sherly menggeleng. "Nggak perlu."
Dia melepas cincin kawinnya yang dulu dibeli Evander secara asal dan meletakkannya di meja.
Namun setelah menatap para petugas yang masih sibuk di luar, dia berpikir sejenak, lalu menaruh kembali cincin dan parfum itu ke dalam laci.
Beberapa saat kemudian, semuanya sudah beres.
Semua barang miliknya sudah dipindahkan, kecuali parfum dan cincin itu.
Pindahan memang merepotkan, tapi kalau sudah benar-benar memutuskan, semuanya jadi cepat.
Begitu juga dengan menata hati.
Mobil melaju menuju rumah baru Sherly. Angin meniup rambutnya. Dari kaca spion, rumah itu makin lama makin jauh.
Meninggalkan masa lalu baru bisa melangkah maju.
Dia masih harus melakukan banyak hal penting.
Kehancuran Keluarga Lunardi yang tiba-tiba, kematian ayahnya yang mendadak, semua itu masih perlu dia selidiki.
Hidup yang dulu terasa hanya untuk orang lain,
Sekarang, dia ingin hidup untuk dirinya sendiri.
Dia akan memulai dari acara musik itu. Selain bisa mendapatkan dana, sekaligus membuat orang-orang yang kenal dengan ayahnya dulu bisa melihatnya lagi.
Saat memikirkan itu, Sherly mengeluarkan ponsel, mencari kontak seseorang lalu membalas, [Aku akan ikut acara musik itu.]
...
Di sisi lain, Hanna masih menangis.
Evander menenangkannya dengan lembut, pikirannya masih dipenuhi bayangan Sherly saat pergi tadi.
Sherly berdiri di sana, membelakanginya, dan mengatakan kalimat itu.
Sherly jelas tahu apa yang ingin Evander ingin dia ucapkan.
Namun Sherly menentangnya lagi.
Evander sudah mengiriminya banyak pesan, tapi dia tidak membalas
Lagi-lagi begitu.
Dalam waktu satu hari saja, Sherly seolah berubah menjadi orang lain dan sengaja melawannya.
Baik saat mengambil tanda terima perceraian, maupun saat datang ke rumah sakit.
Entah kenapa, tatapan mata Sherly saat menanyakan keputusannya semalam kembali terlintas di pikirannya.
Sedikit sedih, tapi penuh ketenangan.
Evander tiba-tiba merasa takut.
"Kak Evander, jangan marah dengan Kak Sherly, ya," kata Hanna sambil menangis.
"Aku tahu Kak Sherly pasti merasa sedih. Dia melihat kita berdua ada di rumah sakit di berita online, jadi datang menghadang. Aku bisa menerimanya, siapa suruh ...."
Tangisnya semakin deras.
"Aku yang mencurinya ... Kak Evander, enam bulan terakhir ini, sebenarnya adalah waktu yang aku curi dari pernikahan kalian. Jadi, apa pun perlakukan Kak Sherly padaku, aku pantas menerimanya."
Saat bicara, Hanna tiba-tiba batuk.
"Uhuk ... uhuk ...."
Lalu dia memuntahkan darah.
"Hanna!" Evander panik dan ingin segera menelepon ambulans.
Evander pikir, sikap aneh Sherly mungkin karena dia sedang mengambek. Sherly tidak bisa lepas darinya.
Namun Hanna hanya menggeleng, tersenyum dengan wajah pucat dan berkata, "Sudah stadium akhir, memang akan begini. Jangan khawatir."
Kemudian, perawat pendamping membantunya berbaring.
Saat melihat Evander pergi mencari Sherly dengan marah, Hanna menghapus darah di bibirnya dengan santai. Lalu mengeluarkan kantong darah kecil yang sebelumnya disembunyikan di mulut.
Dia tertawa dan berkata pada perawat pendamping, "Kira-kira bagaimana dia akan memarahi Sherly? Haha, aku sangat penasaran."
Kemudian, dia membuka berbagai komentar video di internet dengan senang hati.
Semuanya menghujat Sherly.
"Hanna hanya ambil obat di rumah sakit, bahkan bukan obat penyembuh, tapi obat pereda rasa sakit biar bisa mati dengan layak. Tapi Sherly malah pergi menyulitkannya!"
"Hanna sudah hampir mati, Sherly tega sekali."
"Jujur saja, aku rasa Hanna dan Evander sangat serasi! Mereka berdiri di sana seperti pasangan sempurna!"
"Sherly jatuh tersungkur, memalukan sekali."
"Sherly cepat mundur!"
"Sherly cerai!"
"Sherly cerai +1!"
"Cerai +10086!"
...
Hanna tertawa senang, lalu memberi instruksi lewat telepon, "Kondisi seperti hari ini sangat bagus. Terus buat sensasi dan angkat isunya sampai maksimal, pastikan Sherly diserang habis-habisan!"
"Oh iya, sekalian cari tahu, kenapa Sherly pergi ke rumah sakit hari ini."