Bab 300
Aldi menoleh ke arahnya dengan tersenyum, "Aku lagi memikirkan bagaimana caranya kamu nggak marah lagi."
Setelah Serina tenang beberapa hari terakhir ini, dia tidak lagi marah, tapi dia tidak ingin kejadian ini diabaikan begitu saja, kalau tidak, hal seperti ini pasti akan terjadi lagi di masa depan.
Dia tak bicara, hanya duduk diam di samping Aldi.
"Serina, kenapa kamu ada di sini? Ada klien yang ingin bicara denganmu."
Setelah berkata begitu, Sandara menyadari kalau Aldi ada di sampingnya, dia merasa sedikit malu.
"Pak Aldi, aku pinjam Serina dulu, nanti kuantar kembali tanpa kekurangan apa pun."
Serina meliriknya dengan marah, lalu menoleh ke Aldi dan berkata, "Aku pergi ke sana dulu."
Aldi mengangguk, "Baiklah."
Tak lama setelah Serina pergi, Merina menghampiri Aldi dan berkata hati-hati, "Kak Aldi, ada yang ingin kutanyakan."
Aldi membuka mata dan memandangnya acuh tak acuh.
"Ada apa?"
"Setelah kamu tahu aku dibius hari itu, kamu tetap pergi menemuiku dan membawaku ke hotel. Artinya kamu masih menyimpan aku di hatimu, 'kan?"
Setelah sekian lama sikap dingin Aldi terhadapnya, Merina sudah menerima kenyataan bahwa dirinya tidak begitu penting di hatinya seperti dulu, tapi dia masih belum bisa menerima kalau Aldi benar-benar jatuh cinta pada Serina.
Mata Aldi penuh ketidaksabaran, dia berkata dengan dingin, "Aku harap kamu nggak terlalu sentimental. Aku pergi ke sana hari itu karena ponsel Andrian rusak, aku juga memberi tahu Andrian bahwa aku nggak akan urus hal seperti itu lagi. Oh, apa dia nggak bilang?"
Wajah Merina memucat dan dia menggigit bibir bawahnya, air mata sudah memenuhi matanya.
"Tapi, kamu juga membantuku menangani klien yang membiusku ...."
Aldi mencibir, "Merina, kamu nggak lupa kalau ini termasuk janjiku, 'kan?"
Merina memejamkan mata, dia merasa sedih dan tidak rela.
"Kamu benar-benar nggak menyukaiku lagi?"
"Aku sudah memberimu jawabannya sejak lama."
Merina pergi dengan putus asa, tapi wajah Aldi masih tetap dingin.
Kalau dia tidak menemui Merina hari itu, Serina tidak akan mengabaikannya sampai sekarang.
Serina kembali menemui Aldi ketika jamuan makan akan segera berakhir.
Melihat Aldi minum banyak arak, dia mengerutkan kening, "Pak Aldi, kenapa kamu minum banyak sekali?"
Aldi sudah sedikit mabuk, ketika dia melihat Serina, dia meraih pinggangnya dan memeluknya.
"Serina, maaf, maafkan aku kali ini, ya?"
Sambil berbicara, Serina mencium bau alkohol di tubuh Aldi, mengerutkan kening dan berkata, "Kamu mabuk."
Dia ingin mendorong Aldi menjauh, tapi pria itu memegang erat pinggangnya dan tidak membiarkannya pergi.
"Masih nggak mau memaafkanku?"
Serina terdiam selama beberapa detik dan berkata perlahan, "Kita bicarakan ini nanti saat kamu sadar."
Saat kata-kata itu terucap, Serina dengan jelas merasakan tangan Aldi mencengkeram pinggangnya.
Setelah beberapa saat, dia melepaskannya dan ekspresinya kembali tenang, "Aku antar kamu nanti."
"Baiklah, aku pamit dulu pada Nenek."
Setelah menyapa Dhiera, Serina hendak pergi, tapi Dhiera tiba-tiba menghentikannya.
"Serina, aku berikan Mansion Hedhie kepada Tavo di depan umum hari ini. Kamu dan Aldi nggak akan marah, 'kan?"
Serina menggeleng, "Nenek, biarpun dia dan aku rujuk sekarang, kami pada dasarnya sudah bercerai, Mansion Hedhie adalah milikmu. Terserah kamu mau berikan kepada siapa."
Mendengar hal itu, Dhiera menghela napas, "Tavo nggak punya ayah atau ibu sekarang. Kalau aku nggak meninggalkan sesuatu untuknya, dia benar-benar nggak punya apa-apa di masa depan. Siapa yang mau menikah dengannya ...."
"Nenek, kamu nggak perlu menyalahkan dirimu, ikuti saja idemu."
Saat keluar dari Mansion Hedhie, kebetulan dia bertemu Tavo di depan pintu yang hendak pergi.
Tavo mengangguk, lalu berbalik dan pergi.
Serina berjalan ke sebelah mobil Aldi, lalu membuka pintu dan masuk.
"Apa yang Tavo katakan padamu tadi?"
Melihat kecemburuan di matanya, Serina berkata tanpa ekspresi, "Dia nggak mengatakan apa-apa, kenapa kamu begitu curiga?"
"Aku hanya bertanya, mau pulang ke mana malam ini?"
"Antarkan aku ke Sangria."