NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 4

Sejak hari itu, Raka tak pernah kembali. Itulah caranya menghadapi konflik. Diam, tanpa penjelasan atau permintaan maaf. Dia membuatku terus meragukan diri sendiri dan hancur dari dalam. Lalu, hanya dengan sedikit kata manis, kami akan berdamai lagi. Dulu, aku selalu terluka karena cintaku padanya. Sekarang, aku tak peduli lagi. Aku tetap membereskan barang-barang dan kamar yang penuh dengan pernak-pernik pasangan yang kubuat sendiri. Tapi barang yang benar-benar milikku ternyata sangat sedikit. Ternyata sudah lama aku tidak menjadi diriku sendiri. Liburan panjang selesai, dan aku resmi mengundurkan diri. Atasanku menandatangani surat pengunduran diri dengan santai dan bertanya, "Kamu mau kembali ke Kota Seruni? Sepertinya kamu dan Pak Raka akan segera meresmikan hubungan, ya?" Aku hanya menggeleng. "Aku pulang sendiri." Atasanku tertawa. "Jangan bohong. Sahabatku adalah HR di Nexora. Katanya, Pak Raka sudah mengajukan mutasi ke kantor pusat Nexora di Kota Seruni. Dia juga sudah mengatur siapa partner yang akan ikut dengannya dan menyerahkan formulirnya. Bukankah semua itu untukmu?" "Ngomong-ngomong, kamu lulusan universitas ternama, jauh dari keluarga, bahkan rela menurunkan harga diri menjadi resepsionis di perusahaan kecil kami. Memang agak berat, tapi akhirnya usaha kerasmu akan terbayar." Aku terkejut. Raka tidak pernah memberitahuku tentang hal ini. Kami sama-sama bekerja di bidang desain, pekerjaan yang menyita waktu dan tenaga. Dia pernah bilang salah satu dari kami harus lebih mengurus rumah tangga, dan akulah yang mengambil peran itu. Ketika dia sudah mulai terkenal di bidangnya, aku hanyalah resepsionis di perusahaan desain sebelah. Aku cukup mengurusi rumah tangga, tetapi juga cukup untuk mengubur diri sendiri. Orang yang akan dibawa Raka sebagai pasangan hidupnya pasti bukan aku. Tapi aku tidak mengatakan apa-apa. Ada satu hal yang benar dikatakan atasanku, "Hari-hari mendatang akan manis setelah semua kerja keras ini." Malam itu, rekan-rekan kantor mengadakan acara perpisahan untukku. Saat acara selesai, aku berjalan sedikit mabuk melewati koridor, dan mendengar suara yang familier. Di balik pintu ruangan yang setengah terbuka, Raka terlihat sedikit mabuk sambil memegang sebatang rokok di ujung jarinya, tatapannya penuh perasaan campur aduk. "Menyesal nggak ngajak Mella? Sama sekali nggak." "Awalnya aku memang mengajukan pindah ke kantor pusat untuknya. Selama ini, dia sampai berselisih dengan keluarganya demi aku, dan aku tahu itu nggak mudah baginya. Jadi kupikir lebih baik aku menemaninya ke Kota Seruni." "Tapi begitu Sitta bicara, aku nggak bisa menolak." Temannya menggeleng-geleng kepala. "Kamu pasti nggak pernah sadar, 'ya? Sitta kan bertahun-tahun nggak menerima kamu. Kalau kamu sampai pindah di Kota Seruni, kesempatan kalian malah akan makin tipis." Raka menelan ludah, lalu tertawa getir. "Dalam hidup, kita harus punya satu kesempatan untuk berjuang habis‑habisan. Ini kesempatan terakhirku. Kalau Sitta tetap nggak menerima aku, ya sudah ... aku akan menyerah dan menjalani hidup yang tenang, menikah dengan Mella." Telapak tanganku tanpa sadar mengepal sampai terasa sakit. Saat Sitta baru pulang ke negara ini, aku sempat yakin aku tidak akan kalah. Dia hanyalah mimpi lama Raka, sementara aku yang menemani dia bertahun‑tahun. Semua yang sudah kulakukan, semua kenangan yang kami punya, itulah yang selama ini menjadi kekuatanku. Tapi ternyata, Raka tidak pernah benar‑benar bangun dari mimpi itu. Tapi apa yang membuat Raka berpikir, aku akan selalu menunggu di tempat yang sama? "Mella?" Sitta berjalan dari arah kamar mandi dan terlihat sedikit waspada. "Kamu sudah tahu, 'kan? Jadi nggak ada gunanya kamu menunggunya. Raka sudah mengajukan partner yang akan ikut dengannya. Kesempatan ini pasti jadi milikku." Aku akhirnya memahami semuanya. Sitta bersedia menghabiskan waktu untuk bermain-main dengan Raka, menarik ulur perasaannya, hanya untuk mengincar keuntungan dari Raka. Tapi aku tetap tak mengerti. "Kalau memang kamu cuma memanfaatkan dia dan nggak pernah menyukai dia, kenapa kamu harus membuktikan padaku betapa baiknya dia padamu?" Pesan‑pesan dan unggahan provokatifnya di media sosial sebenarnya tidak perlu sama sekali. Dia menyilangkan tangan dan tersenyum tipis. "Aku cuma nggak mau orang lain menikmati sesuatu yang aku sendiri nggak inginkan." Aku merasa lucu. Ternyata Raka sama saja denganku. Percaya pada seseorang sepenuh hati selama bertahun-tahun, tapi ternyata hanya dianggap seperti "benda". Saat aku berbalik hendak pergi, Sitta mengadang jalanku. "Seperti sekarang, aku juga nggak mau dia pergi sambil merasa bersalah padamu." Tiba-tiba Sitta menepuk tangannya keras-keras, lalu menjerit kaget. Raka langsung keluar dan mendorongku menjauh. "Sepertinya pacarmu nggak suka soal mutasi kerja itu," kata Sitta sambil menutupi wajahnya yang sama sekali tidak terluka. Kepalaku terbentur tembok, dan saat kuusap, ternyata ada darah di tanganku. Tapi yang ada di mata Raka hanyalah amarah. "Pak!" Sebelum dia sempat membuka mulut untuk menuduhku, aku mengangkat tangan dan menamparnya. "Tadi memang bukan aku. Tapi yang barusan, itu aku." Darahku berceceran di wajahnya. Persis seperti hubungan kami yang sudah berantakan sejak lama. "Mella, kenapa sekarang kamu jadi wanita pemarah." Raka menoleh dengan wajah pucat pasi. "Bukankah kita sudah sepakat putus? Aku sudah setuju. Jadi, siapa pun yang kubawa pergi, itu bukan urusanmu." "Kali ini aku nggak akan membujukmu lagi. Awas saja kalau kamu berani menemuiku sambil menangis dan minta balikan." Dia menatapku sekilas, lalu menuntun Sitta masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu dengan keras. "Brak!" Suara pintu tertutup itu seolah memisahkan dua dunia. Tak kusangka, akhir hubungan kami harus seperti ini. Begitu memalukan. Aku perlahan menoleh dan berjalan ke arah yang berlawanan. Luka di kepalaku terasa nyeri, dan entah kenapa hatiku juga ikut sakit. Tapi bagaimanapun sakit dan memalukannya sebuah luka, itu akan sembuh. Semua ini akan berlalu. Malam itu, aku naik pesawat, meninggalkan kota yang sudah kutinggali selama tiga tahun, dan akhirnya kembali ke rumah setelah sekian lama. Mengingat sifat Raka yang keras kepala, aku yakin dia tidak akan mencariku lagi. Kita akan perlahan-lahan menghilang dari hidup masing-masing. Tapi tak kusangka, seminggu kemudian, dia justru menghubungiku terlebih dahulu. [Jadi sekarang kamu benar-benar keras kepala ya? Memilih bersembunyi dan menangis sendiri daripada menghubungiku? Sekarang kamu lagi apa?] Aku baru membacanya malam hari setelah seharian sibuk, dan hanya membalas dengan singkat. [Aku baru saja bertunangan.]

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.