NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 3

Ekspresinya setengah tersenyum, seperti menonton pertunjukan. Seolah menunggu aku kehilangan kendali seperti dulu. Memang, aku sudah berkali‑kali hancur karena hubungan mereka. Saat perayaan hari jadi kami, Raka tiba-tiba pergi hanya karena satu telepon dari Sitta dengan alasan dia tidak mau bergadang membuat tugas. Akhirnya, Raka-lah yang mengerjakan tugasnya. Ketika aku demam tinggi sampai dirawat karena pneumonia, Raka memilih menemaninya karena dia bilang takut gelap kalau mati lampu. Di malam penuh petir, hanya karena Sitta terlambat membalas pesan, Raka sampai khawatir dan keluar mencarinya. Akhirnya mereka menghabiskan malam dengan minum anggur merah dan mengobrol sampai pagi di bawah selimut. Aku pernah bertanya dengan histeris, memohon tanpa harga diri, tetapi Raka selalu cuek dan berkata, "Nggak usah cari masalah." Dia selalu mencari alasan untuk tidak ikut ke tempat ini bersamaku, karena perempuan yang ingin dia foto adalah orang lain. Bagi diriku yang dulu, kebenaran itu sudah cukup membuatku hancur dan terluka. Tapi sekarang aku sudah mengerti. Orang yang tidak peduli padamu tidak akan melihat rasa sakitmu. Mereka hanya akan menganggapmu pembuat masalah. Aku hanya menatap mereka dengan tenang. "Apa lihat-lihat? Mau aku fotoin?" Raka langsung terkejut. Rasa canggung di matanya seketika berubah menjadi marah dan malu. "Mella, kamu ngikutin kita? Kenapa ngomongnya begitu?" "Kamu sendiri yang seenaknya minta putus. Aku sudah kasih kamu perhatian, tapi kamu nggak mau." "Sekarang, pas aku lagi kesal dan cuma makan sama teman, lalu foto bareng, masalahnya apa?" "Kamu tahu nggak, kalau terus diikuti seperti ini, aku malah merasa tertekan, dan cuma akan makin menjauh darimu." Jarang sekali dia bicara sebanyak itu sekaligus padaku. Tentu saja ini bukan karena peduli, melainkan cuma rasa bersalah belaka. Tak apa. Aku berkata dengan tenang, "Aku cuma datang untuk makan. Lagi pula, kita sudah putus, jadi apa pun yang kalian lakukan nggak ada urusannya sama aku." Sitta tampak terkejut melihat reaksiku yang ternyata tak sesuai perkiraannya. "Mella, jangan ngomong sembarangan hanya karena emosi," Sitta berkata dengan tenang. "Aku cuma bilang perutku kurang enak hari ini, jadi Raka menemaniku seharian. Tapi jangan salah sangka, kita cuma teman." Sebenarnya Sitta memang agak munafik. Dulu aku tidak mengerti. Jika dia tidak mau menerima Raka, kenapa dia masih membuang-buang waktu untuk menggantung perasaannya? Apa maksudnya? Namun, itu semua tidak ada hubungannya lagi denganku. Aku juga tidak tertarik untuk menyelidikinya. Aku tak lagi peduli pada mereka dan memilih duduk di kursi yang membelakangi mereka, lalu membuka menu. Dulu, kalau melihat adegan seperti ini, mungkin aku akan menangis dan keluar dengan perasaan hancur. Tapi kesalahan bukan ada padaku. Aku cuma ingin makan sesuatu yang sudah lama ingin kucoba. Aku pesan banyak sekali makanan dan semuanya favoritku sendiri, tanpa harus menyesuaikan diri dengan siapa pun lagi. Satu per satu hidangan pedas dan lezat itu mulai tersaji di meja. Aku bersyukur tidak melewatkan hidangan enak hanya karena orang yang tidak penting. Meski tak melihat mereka, suara mereka terdengar jelas di telingaku. "Sejak kapan kamu jadi sekaku itu? Seingatku kamu pandai menenangkan orang." Terdengar suara tepukan lembut yang tidak asing. Tanpa melihat pun, aku tahu itu Sitta yang sedang menepuknya dengan mesra. "Waktu ulangan matematika kelas dua aku gagal, setiap hari selalu ada satu bunga lily favoritku di mejaku. Baru kemudian aku tahu, kamu yang memberikan bunga itu untuk menenangkanku." "Waktu kelas tiga, aku cemas menghadapi ujian, tapi kamu menyalin berbagai kutipan tokoh terkenal buatku setiap hari. Katamu, itu nggak cuma bikin semangat tapi juga membantu nilai esaiku." "Di SMA, kamu selalu setia bawain aku sarapan, mengantar pulang meski hujan atau angin, bahkan bangunin tengah malam buat beli mainan edisi terbatas. Lalu kenapa sama pacar sendiri kamu nggak bisa sabar sedikit?" Setiap kalimatnya terdengar penuh kesombongan dan seperti pertanyaan yang sudah tahu jawabannya. Raka terdiam sebentar, suaranya terdengar sedikit kesal. "Dia nggak bisa dibandingin sama kamu." Aku tetap makan tanpa ekspresi, hanya nyaris menangis karena pedasnya. Tujuh tahun hubungan, ujung‑ujungnya cuma dibalas dengan kalimat itu. Dulu aku sering meragukan diri sendiri, bertanya-tanya apa aku kurang baik hingga dia tak mencintaiku sepenuhnya. Ternyata, itu sama sekali bukan salahku. Sejak awal, Raka sudah mencurahkan seluruh hati dan perasaannya untuk orang lain, dan sampai sekarang pun tak bisa lepas. Sedangkan aku memang sudah saatnya berhenti menggantungkan hati padanya.

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.