NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 9 Kehilangan Keinginan untuk Hidup

Sepulang ke rumah Tania, Gisella merasa dirinya lemas dan pusing. Gisella langsung terkapar di ranjang. Saat tidur setengah sadar, dia dibangunkan oleh nada dering telepon yang mendesak. Gisella mengambil ponselnya dan melihat. Dia mengira matanya bermasalah. Kemudian, terdengar suara marah yang menggelegar dari seberang, "Gisella, kamu ke mana lagi? Pulang sekarang!" Gisella membuka mulut ingin menjawab, tetapi suaranya serak dan tidak bisa mengeluarkan suara sama sekali. Juvent terus memaki. Gisella tersenyum getir. Dia mengira Juvent akan mengabaikannya, tetapi sekarang disuruh pulang, pasti bukan untuk hal baik. Sekembali ke "rumah", Gisella berhenti lama di depan pintu sebelum akhirnya masuk. Baru melangkah ke ruang tamu, tiba-tiba sebuah benda tak dikenal beterbangan ke arahnya, lalu jatuh ke lantai dengan suara keras. Belum sempat menenangkan debaran jantungnya, makian kasar pria itu sudah memenuhi telinga. "Gisella, benar-benar hebat kamu! Kalau nggak mau pulang, jangan pernah lagi menginjakkan kaki di rumah ini!" Gisella merasa pria ini benar-benar labil, padahal dialah yang mengusirnya dari rumah ini pada hari itu. Sekarang malah menjadi salahnya. Baiklah, apa pun yang dia lakukan selalu salah. Gisella berusaha melembapkan tenggorokan untuk berkata pelan, "Ada apa?" Meski mendengar suaranya yang tak biasa, Juvent tetap bersikap kasar. Dia dengan santai menghina Gisella. "Kenapa? Aku nggak bisa menyuruhmu? Gisella, kamu sampai jual diri demi uang, benar-benar menghalalkan segala cara!" Inilah pria yang dicintainya, tetapi dia begitu kotor di matanya. Keluarganya masih menunggu uang satu miliar untuk keadaan darurat. Jika dirinya sudah tidak ada tempat lagi di hati Juvent, tidak masalah untuk menambah beberapa noda. Gisella perlahan berdiri tegak dan mendongakkan pandangan sembari mengucapkan kata-kata paling tak tulus dalam seumur hidupnya. "Karena sudah ketahuan, aku nggak perlu menutup-tutupinya lagi. Kamu benar, aku memang butuh uang. Kamu mau bayar aku berapa? Satu miliar bisa nggak?" Suara Gisella seperti mengandung kerikil. Tubuhnya gemetar, tetapi pandangannya sudah penuh kepedihan dan kosong. Setiap kata yang diucapkan Gisella membuat pria yang duduk di sana makin dalam matanya hingga akhirnya tenggelam seluruhnya ke dalam kedinginan yang gelap. Ruang tamu menjadi sunyi bagai kuburan, tetapi Gisella bisa merasakan debaran jantungnya yang liar. Dia sudah membuang harga diri dan mempertaruhkan segalanya. Juvent tiba-tiba menyeringai. Senyumnya tetap memikat seperti biasa. Hanya saja, dari bibir tipis sensual itu keluar kata-kata yang mengiris-iris hati Gisella. "Bagus, akhirnya kamu mengakui sifat aslimu. Tapi, menurutmu, bagian mana dari dirimu yang bernilai satu miliar? Apakah tubuhmu itu pantas?" Juvent menyerang titik terlemah Gisella. Dengan sisa tekad yang terakhir, Gisella menopang dirinya berdiri di sana. Gisella juga menyeringai, tertawa sampai batuk-batuk hebat. "Tuan Muda Juvent, kamu bisa menghamburkan uang demi wanita-wanita di luar. Seburuk-buruknya aku, aku adalah istrimu yang sah. Kenapa nggak pantas?" Juvent memicingkan mata, lalu langsung berdiri dan bertepuk tangan. "Jangan bilang aku memperlakukanmu nggak adil. Uang ini akan kubayar, tapi kamu harus mengerahkan semua kemampuanmu sampai aku puas!" Gisella membeku sambil memandangi pria itu naik ke atas. Dia merasa dirinya benar-benar hina. Suaminya sendiri malah meminta sekali hubungan dengan cara transaksi seperti ini. Cintanya dikaitkan dengan uang, bisakah dijelaskan nanti? Keragu-raguan Gisella segera diguncang oleh hardikan pria itu. "Belum naik juga? Apa perlu aku si pembeli ini mengajarimu cara melayani orang?" Gisella mengepalkan tangan erat-erat, lalu dengan cemas mengikutinya naik ke atas. Gisella terpaku di depan pintu, sedangkan Juvent sudah duduk di tepi ranjang dengan kaki bersilang, memandanginya dengan ekspresi tak bersahabat. Tatapan itu makin membuat rasa malunya tak tersembunyi. Dia bergumam, "Aku ... pergi mandi dulu." Juvent mendengkus sinis dan melontarkan kata-kata jahat, "Buat apa mandi? Kamu sudah cukup kotor, mana bisa bersih?" Hati Gisella terguncang. Dia menutup pintu kamar dengan tangan gemetar. Sambil menggigit bibir dengan hina, dia mencoba membuka kancing baju. Ujung jarinya gemetar hebat. Setelah berusaha lama, tak satu pun kancing yang terbuka. Tiba-tiba, angin kencang menerpa telinga Gisella. Kemudian, kancing baju terlepas jatuh ke lantai. Juvent dengan kasar merobek pakaian Gisella. "Dasar wanita murahan, sampai sekarang masih sok suci! Bukannya kamu memang jual diri?" Rasa hina dan sakit hati bergolak hebat di dada Gisella. Dia berteriak dengan suara serak, "Juvent, kumohon, jangan perlakukan aku seperti ini!" Juvent pura-pura tidak mendengar. Dia menggenggam rambut panjang Gisella, mendekatkan wajah ke lehernya, dan menyerang gendang telinganya dengan santai, "Mau cari siapa lagi?" Gisella merasa dirinya seperti akan mati. Pria itu justru dengan penuh semangat turun dari ranjang, bahkan malas meliriknya. Padahal, ini sebenarnya malam pernikahan mereka yang sesungguhnya! Gisella mencengkeram seprai dengan kuat. Bibirnya yang sudah tergigit hingga berdarah bersuara lemah, "Kamu benar-benar sangat membenciku?" Juvent yang tengah memakai baju tertegun sejenak. Dia berkata dengan suara dingin, "Kamu pikir sekali ini sudah cukup untuk menebusku? Kalau mau kuampuni, tunggu kehidupan berikutnya!" Kemudian, terdengar suara pintu terbanting yang memekakkan telinga. Gisella menatap kosong ke langit-langit, dan airnya matanya mengalir tanpa henti. Sampai mati pun tidak akan mengampuninya? Dengan segenap perjuangan, Gisella beranjak dari tempat tidur dan langsung terguling. Kakinya masih lemas sehingga dia terpaksa harus merangkak ke kamar mandi. Keran air diputar terbuka. Kamar mandi segera dipenuhi uap. Dengan mata bengong, Gisella menggerakkan bibirnya dan bergumam, "Juvent, kenapa kamu begitu membenciku? Kejadian dulu itu bukan salahku, aku juga nggak tahu kenapa semuanya berubah setelah bangun." Di benak Gisella terus berkelip wajah-wajah penuh ejekan, pandangan orang tuanya yang kecewa, dan mata pria yang paling dicintainya yang penuh kebencian .... Semua itu seperti jaring besar yang menyelimuti kesadarannya. "Ah!" teriak Gisella. "Pasti ada caranya. Aku masih bisa menjadi bersih!" Air terus meluap dari bak mandi. Tubuh Gisella perlahan tenggelam hingga seluruh kepalanya terendam dalam air ....

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.