NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 15

Alis Evander sedikit berkerut. Di sampingnya, Hanna yang melihat nama itu di layar menampakkan tatapan penuh rasa ingin tahu, bercampur dengan emosi yang sulit dijelaskan. "Kak Evander?" Hanna seolah mengingatkan, saat melihat Evander ragu. Evander baru sadar. Berita gosip tentang Hanna yang datang ke kantornya baru saja meledak di internet dan sekarang Sherly menelepon. Mau minta penjelasannya? Dia kembali mengerutkan alis, lalu menekan tombol menutup panggilan. Tapi belum sampai beberapa detik, ponselnya kembali bergetar. Masih dari Sherly. Sedikit rasa jengkel muncul di hatinya. "Kak Evander, kamu nggak angkat?" tanya Hanna. Sesaat kemudian, Evander menutup panggilan lagi, mengatur menambahkan nomor Sherly ke mode jangan ganggu. "Nggak perlu dihiraukan," katanya datar. Hanna tampak hendak bicara sesuatu, tapi akhirnya menutup mulut. Dia mengangguk ragu-ragu, terlihat cemas. Namun saat menunduk, kilatan puas melintas di mata Hanna. Hanna sengaja. Sengaja menyinggung soal video pendek tadi siang. Lalu menunjukkan gosip terbaru. Sengaja mengingatkan pria itu berkali-kali, sehingga Evander pasti tidak akan mengangkat telepon Sherly. "Sudah malam, mari pulang." Evander mengambil jas, lalu menuntun Hanna berdiri. Keduanya masuk ke lift khusus CEO dan turun dari lantai paling atas. Ketika mereka berdua keluar dari gedung dan kembali tertangkap kamera paparazzi serta tersebar di internet, di sisi lain, Sherly sedang diturunkan dari mobil ambulans. Tandu beroda melaju cepat ke dalam rumah sakit, darah di pelipis Sherly menetes pelan, menodai kain putih tandu. Sherly masih setengah sadar. Dia memaksa membuka mata, tapi hanya melihat lampu putih cepat bergeser di langit-langit rumah sakit. Telinganya dipenuhi suara gaduh dan suara polisi wanita yang panik. "Suaminya sudah ditelepon dua kali, tapi ditolak, sekarang bagaimana?" "Masih mau ditelepon lagi?" "Kalau tetap nggak diangkat, kita harus bagaimana?" "Abaikan saja dulu! Kamu lihat sendiri pintu mobilnya sampai penyok begitu! Sekarang kelihatan hanya luka di kepala, tapi bisa saja ada luka dalam!" "Obati dulu! Terus telepon!" "Baik!" Suara gaduh terdengar lagi. Sepertinya terjadi perdebatan di rumah sakit. Sherly kadang sadar, kadang pingsan. Udara dipenuhi aroma khas disinfektan rumah sakit. Dia mendengar mereka berdebat, lalu suara Casie yang familier terdengar. Casie berteriak, Sherly dibawa masuk ruang gawat darurat. Lalu dia kehilangan kesadaran lagi. ... Casie hampir gila karena marah. Melihat Sherly yang berlumuran darah didorong ke ruang gawat darurat, jantungnya serasa diremas. Untung kali ini Sherly dibawa ke Rumah Sakit Algora. Untung dia sedang lembur malam ini. Untung juga dia kebetulan lewat dan mendengar keributan tadi. Barusan, semua orang masih sibuk membicarakan cara menangani kondisi Sherly. Dalam situasi darurat seperti ini, tidak ada yang tahu Sherly sedang hamil. Untung Casie tahu kondisi khusus Sherly. Untung juga ayahnya adalah kepala rumah sakit, jadi amarahnya masih punya bobot. Kalau tidak, entah apa yang akan terjadi pada Sherly. Dia menatap polisi wanita yang masih memegang ponsel Sherly, tampak bingung harus menelepon siapa lagi. Casie segera menghampiri, memperkenalkan diri sebagai dokter sekaligus sahabat Sherly, lalu mengambil alih ponselnya. Layar ponsel menampilkan deretan panggilan tak terjawab yang panjang, kemarahan Casie pun makin meningkat. "Srrrr!" Ponsel Casie tiba-tiba bergetar. Dia mengeluarkan dan melihat ada notifikasi berita muncul. #EvanderHannaNaikMobilBersamaKeluarGedungGrupStelle# Bagus! Pantas saja tidak mengangkat telepon, ternyata menemani selingkuhan! Casie langsung menelepon Evander. Panggilan pertama tidak diangkat. Panggilan kedua baru dijawab di detik terakhir. "Ada apa?" Suara Evander terdengar dingin. "Ada apa?" Casie berteriak penuh amarah. "Kenapa kamu nggak angkat telepon Sherly!" Di kursi pengemudi mobil Aston Martin, alis Evander berkerut dalam. Dia melihat layar dan memastikan kalau itu benar-benar panggilan dari Casie, suara Evander menjadi semakin dingin. "Sherly yang menyuruhmu telepon aku?" "Bukan!" Suara teriakan Casie terdengar dari ponsel. "Aku sendiri yang telepon kamu!" Lampu merah di depan membuat Evander menginjak rem. Dia membuka daftar panggilan dan melihat kontak Sherly yang disetel ke mode jangan ganggu. Puluhan panggilan tidak terjawab. Huh! Kalau bukan Sherly yang menyuruh, terus siapa? Lampu merah berganti hijau, mobil Aston Martin kembali melaju stabil. Tenang, seperti perasaannya saat ini yang tanpa gelombang. Sejak Hanna masuk ke gedung Grup Stelle, ponselnya memang tidak berhenti berdering. Memangnya dia masih tidak tahu apa maksud Sherly? "Datang ke Rumah Sakit Algora sekarang!" perintah Casie. "Nggak mau." Suara Evander terdengar dingin. Sherly pasti seperti dulu lagi, menangis di depan Casie. Sekarang bahkan lebih keterlaluan. Dia bahkan menyuruh Casie memarahinya! Sejak membicarakan perceraian, emosi Sherly memang makin menjadi. "Dia ditabrak mobil." Nada suara Casie yang tadi penuh amarah kini menjadi dingin, lalu melemparkan satu kalimat tajam. "Evander, kalau kamu masih punya hati, datanglah!" "Ciiit!" Suara rem yang nyaring terdengar. Mobil berhenti mendadak. Pengendara di belakang langsung memaki. Evander hanya mendengar suara panggilan Casie sudah terputus. Jarinya yang menggenggam setir sampai memutih. Hanna yang duduk di kursi penumpang diam mendengarkan semuanya. Layar ponselnya yang diletakkan di samping tiba-tiba menyala. Hanna melirik sekilas, lalu cepat-cepat menyimpannya dan menatap Evander dengan ekspresi cemas. "Kak Evander, jangan-jangan sesuatu terjadi padanya? Ayo segera ke rumah sakit!" Hanna tampak sangat khawatir. "Ini bukan masalah sepele, mungkin saja sangat serius!" "Untung dia dibawa ke Rumah Sakit Algora. Aku dengar Casie sahabat baiknya, untung ada dia yang bisa membantu." "Kak Evander, ayo cepat ke sana. Sherly sudah menelepon puluhan kali, pasti sangat darurat!" Hanna hampir menangis karena panik. Tapi saat menunduk, matanya justru penuh perhitungan. Kecelakaannya sangat serius. Tapi masalahnya, dia sekarang berada di rumah sakit tempat sahabat baiknya bekerja. Ayah sahabat itu adalah kepala rumah sakit. Lalu, Sherly masih sempat menelepon puluhan kali. Kelihatannya khawatir, padahal sebenarnya sedang memberi isyarat. Isyarat kalau semua ini hanya sandiwara yang dia dan Casie rancang bersama. Tentu saja Hanna tidak akan membiarkan Evander sadar akan hal itu. Dia meneteskan air mata dengan tulus. "Kak Evander, aku memang ingin bersamamu, tapi kalau terjadi sesuatu padanya, aku akan merasa bersalah seumur hidup ...." Sambil menangis, dia tiba-tiba menoleh dan pura-pura mual. Ketika sudah membaik lagi, terlihat noda darah di sudut bibirnya. Melihat wajah khawatir Evander, Hanna cepat-cepat menyembunyikan kantong kecil berisi darah palsu di dalam tasnya, lalu menggeleng. "Aku nggak apa-apa, jangan khawatir. Cepat ke rumah sakit." Bibir Evander terkatup rapat. Mobil kembali menyala, berbalik arah, dan melaju menuju Rumah Sakit Algora.

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.