Bab 14
Seorang polisi wanita mengetuk jendela mobil dan menatap Sherly dengan penuh kekhawatiran.
Sherly memegangi perutnya, keningnya dipenuhi keringat dingin.
"Bu, Bu, ada apa denganmu? Kamu baik-baik saja?" Polisi wanita itu panik, sambil memanggil orang di sekitarnya dengan cemas.
Sherly tahu, itu karena bayinya.
Sejak awal, dia memang sudah mengalami tanda-tanda keguguran.
Saat di tempat parkir tadi, demi menghindari mobil, dia melompat dan berlari cepat. Ditambah lagi, di dalam mobil dia sempat ditabrak mobil hitam itu ....
Apakah bayinya akan keguguran?
Namun dia belum siap.
Sherly tiba-tiba merasa panik dan sedih.
Dia mendadak takut kehilangan anak ini.
"Tok tok tok! Bu, Bu, apakah kamu baik-baik saja? Buka pintunya!"
Suara polisi wanita kembali terdengar.
Pandangan Sherly mulai menghitam. Dia menahan sakit, membuka pintu mobil dan langsung pingsan.
...
Di sisi lain.
Gedung perusahaan Grup Stelle masih terang benderang.
Evander sedang menangani sebuah proposal proyek.
Hari ini dia menjadwalkan banyak rapat.
Ada banyak hal yang harus dia putuskan sendiri.
Sejak siang hingga malam, dia terus bekerja.
Wajahnya pun semakin tegang.
Di ruang rapat besar itu, tidak seorang pun berani bersuara.
Evander menatap laporan di tangannya dan mengetuk perlahan dengan tangan kiri.
"Siapa manajer yang bertanggung jawab atas proyek ini?" Suaranya datar tapi penuh tekanan yang membuat semua orang merasa takut.
"Pak ... Pak Evander, itu aku." Seorang pria paruh baya berdiri sambil menyeka keringat.
Evander menatapnya sekilas, lalu bibir tipisnya terbuka dan berkata singkat, "Jelaskan."
Pria paruh baya itu kembali menyeka keringatnya.
"Itu ... itu ... maksudku ...." Pria paruh baya menjelaskan panjang lebar, tapi tidak masuk akal.
Dia mengalihkan alasan ke sana kemari, pokoknya proyek ini gagal.
"Cukup."
Sebelum pria itu melanjutkan, Evander sudah bicara.
Pria paruh baya itu langsung gemetar, wajahnya penuh ketakutan.
Dia buru-buru memohon, "Pak Evander, tolong beri aku satu kesempatan lagi! Aku pasti bisa melakukannya dengan baik!"
Alis Evander mengerut, Pak Kenny yang ada di sampingnya langsung paham.
Pak Kenny berkata, "Pak Marco, sewaktu kamu ajukan proposal dulu, omonganmu sangat luar biasa. Sekarang hasilnya begini, jadi salah siapa?"
"Tapi aku ...." Pria paruh baya itu mencoba menjelaskan lagi.
Pak Kenny langsung memotong dengan tegas, "Jangan cari alasan lagi! Proyek ini didukung oleh Grup Stelle, memakai begitu banyak sumber daya tapi tetap gagal. Kamu nggak sadar di mana kesalahannya?"
Pria itu masih berusaha, tapi Evander langsung melemparkan dokumen ke arahnya.
"Proyek sekecil ini, tapi tingkat korupsinya separah ini!" kata Evander dengan suara dingin.
Begitu melihat dokumennya, wajah pria itu langsung pucat pasi.
Dia ingin bicara, tapi Pak Kenny sudah melambaikan tangan.
Pintu ruang rapat terbuka, petugas internal masuk dan langsung menyeret pria itu keluar.
"Pak Evander! Pak Evander, aku salah! Tolong maafkan aku!"
Teriakannya yang menyedihkan perlahan menghilang di kejauhan, membuat semua orang di ruangan rapat semakin diam.
Evander melihat ke seluruh ruangan dengan tatapan dingin. Tujuan memberi pelajaran pada yang lain pun tercapai.
"Rapat selesai."
Dengan dua kata itu, Evander melangkah keluar dari ruang rapat.
Pak Kenny mengikuti Evander masuk ke kantor CEO.
Melihat Evander duduk di kursi besar sambil memijat pelipis, Pak Kenny langsung menyuruh bawahannya membuatkan secangkir kopi.
Evander memijat pelipisnya dengan mata terpejam.
Dia benar-benar lelah.
Air yang terlalu jernih tidak ada ikan.
Dalam perusahaan sebesar Grup Stelle, tentu saja banyak masalah di dalamnya.
Dia paham hal itu.
Namun entah kenapa, akhir-akhir ini dia merasa jauh lebih lelah dari biasanya.
Langkah kaki terdengar, lalu seseorang meletakkan sesuatu di meja.
"Evander, minumlah air hangat, sudah larut malam. Bekerja juga harus jaga kesehatan. Aku sudah menaruh sedikit teh bunga, bisa bantu menenangkan pikiran."
Entah kenapa, Evander seperti mendengar suara akrab di telinganya.
Tapi saat membuka mata, yang dia lihat hanyalah Pak Kenny sedang membungkuk sopan.
Saat menunduk, dia melihat secangkir kopi di atas meja.
Evander mengerutkan bibir.
"Pak Evander nggak mau minum kopi?" Pak Kenny menangkap perubahan ekspresinya dan bertanya hati-hati.
Evander mengerutkan alis, sebenarnya dia sendiri juga tidak tahu kenapa perasaannya jadi serumit ini.
"Biasanya, Nyonya menuangkan air hangat untuk Anda." Pak Kenny menjelaskan dengan nada menyesal. "Aku nggak menemukan jenis teh bunga yang biasa dipakai Nyonya. Aku melihat Anda begitu lelah, jadi aku ...."
Benar, biasanya Sherly yang selalu menemani di sampingnya.
Evander memejamkan mata, kepalanya terasa makin berat.
"Apa aku perlu menelepon Nyonya untuk menanyakannya?" tanya Pak Kenny dengan hati-hati.
"Nggak perlu," ujar Evander.
Pak Kenny mengangguk, lalu suasana kantor kembali sunyi.
Sunyi hening.
Evander belum pernah merasakan kantor begitu sunyi.
Hatinya tiba-tiba gelisah.
"Kenapa bulan ini jadi seperti ini?" Evander memecah keheningan.
"Pak Evander, maksudnya beban kerja?" tanya Pak Kenny.
"Ya."
"Begini," jawab Pak Kenny dengan suara pelan, "biasanya hal-hal kecil seperti tadi, misalnya soal korupsi Pak Marco, semuanya sudah ditangani lebih dulu oleh Nyonya begitu ada laporan. Hanya urusan yang benar-benar penting yang diserahkan pada Anda, jadi ...."
Evander membuka mata, menatap Pak Kenny.
Pak Kenny paham maksudnya dan berkata canggung, "Pak Evander, ini kesalahanku karena nggak menanganinya dengan baik."
Evander tidak menyalahkan lebih jauh, hanya menggeleng pelan.
"Di mana kontrak dengan Grup Wahyuna?" tanyanya lagi.
Pak Kenny menunduk lebih dalam.
"Maaf, Pak Evander. Mereka belum sempat merapikannya."
Evander menghela napas, melambaikan tangan, menyuruh Pak Kenny keluar.
Pak Kenny bernapas lega dan segera pamit.
Evander menatap pintu kantor yang tertutup. Sebenarnya dia juga paham.
Dia dan Sherly mengambil tanda terima perceraian secara mendadak, sehingga banyak urusan yang sebelumnya berada di tangan Sherly belum sempat diselesaikan atau dialihkan.
Kantor sunyi, hanya suara jam yang berdetak pelan.
Aroma kopi yang pahit memenuhi udara.
Uap panas yang perlahan naik membuat alis Evander semakin berkerut.
Dia mengambil ponselnya, menatap pesan yang sebelumnya dikirim pada Sherly, memintanya pulang ke rumah tua saat akhir pekan.
Sherly masih belum membalas.
Dia teringat kalimat penolakan Sherly yang tegas saat dia menelepon menyuruhnya pulang ke rumah tua.
Masih marah, ya?
Saat Evander sedang menatap ponselnya, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu kantornya.
Dia mengangkat kepala dan yang muncul di ambang pintu adalah wajah Hanna yang sedang tersenyum.
"Kak Evander," Hanna berjalan masuk sambil tersenyum manis. "Aku datang menemanimu."
Evander menaruh ponsel dan mengangguk pelan.
Hanna melirik sekilas ke arah ponsel di meja pria itu tanpa banyak ekspresi.
Dia berpikir sebentar, lalu ragu-ragu duduk di samping.
"Ada apa?" Evander menyadari ada sesuatu yang tidak beres dari ekspresinya.
"Kak Evander, hari ini Sherly menghubungimu nggak?" tanya Hanna dengan ragu.
Evander menatap Hanna, memberi isyarat mata agar dia melanjutkan.
"Sore tadi aku mengunggah video pendek, mengumumkan kalau aku akan ikut Suara Merdu."
Hanna memerhatikan ekspresi Evander, lalu melanjutkan, "Awalnya aku hanya ingin mengikuti jejak yang dulu pernah dia lalui, tapi ternyata netizen mengatakan banyak hal yang enak didengar ...."
Dia terdiam sejenak, lalu berkata dengan nada canggung, "Dia ... nggak mencarimu untuk menanyakan hal itu, 'kan?"
Evander mengerutkan alis, sore tadi?
Hari ini dia seharian sibuk rapat, tidak sempat memerhatikan berita di internet.
Dia menatap jam di dinding.
Sekarang sudah pukul 21:15.
"Masih ada satu hal lagi ...."
Hanna tampak ragu sejenak, lalu berkata, "Aku keluar dari studio jam 20:45, terus merasa agak aneh. Sewaktu berada di tempat parkir lantai bawah barusan, aku menemukan, aku sepertinya diikuti paparazzi sejak keluar tadi."
Hanna tampak sangat menyesal, dia mengeluarkan ponsel dan menyerahkannya pada Evander.
Evander melihat ada foto saat Hanna keluar dari Studio Bunga Hanna sampai masuk ke gedung Grup Stelle.
Di bawah foto itu tertulis: Hanna terlihat keluar-masuk gedung Grup Stelle larut malam, diduga hubungannya dengan Evander akan dipublikasikan.
Kolom komentarnya penuh dengan ejekan terhadap Sherly, menyebutnya akan segera dicampakkan.
"Kak Evander, maaf, ini semua karena aku ceroboh," ujar Hanna dengan mata memerah. "Aku nggak sengaja."
Evander mengibaskan tangan, menandakan hal itu tidak penting.
Setelah masa mediasi berakhir, dia akan mengumumkan hubungannya dengan Hanna.
Hanya saja soal Sherly ....
Tiba-tiba, ponselnya bergetar kencang.
Waktu berlalu cepat.
Jam menunjukkan pukul 21:20.
Evander mengambil ponsel, melihat nama Sherly muncul di layar.