NovelRead
Open the NovelRead App to read more wonderful content

Bab 10

Udara di sekeliling dipenuhi aroma lembut parfum wanita yang asing. Evander menyangkal pikirannya sendiri. Dalam pikirannya muncul bayangan Sherly yang dia temui kemarin. Lembut dan polos. Dia berdiri di sana seperti bunga lili putih yang sedang mekar. Sama sekali berbeda dengan wanita di depannya ini. Mungkin karena profesinya, jadi auranya sedikit mirip. Dengan begitu seperti itu, hatinya pun tenang kembali. "Lagunya sudah dibeli Hanna. Harganya juga sesuai dengan yang kamu inginkan," ucap Evander dingin. "Jadi aku harap kamu jangan menyulitkannya lagi." Sherly tersenyum. "Tenang saja," Dia berkata, "Soal lagu ini, aku nggak akan ngomong apa-apa lagi." "Bagus." Evander mengangguk pelan, matanya semakin dalam dan suaranya dingin. "Aku harap kamu bisa menepati ucapanmu." Sherly hanya tersenyum. Evander pun berbalik dan pergi, sama cepatnya seperti saat dia datang. Sherly melihat pria itu berjalan sampai ke ujung koridor, lalu Evander menuntun Hanna yang berdiri di depan pintu. Gerakannya seolah sedang memperlakukan sesuatu yang sangat berharga. Mereka pun pergi. Beberapa menit kemudian, ponsel Sherly bergetar. Dia mengeluarkannya dan melihat pesan dari Evander. [Kemarin aku bilang ke Kakek kalau kamu lagi kurang enak badan, jadi nggak datang. Akhir pekan ini, kamu harus ikut aku pulang ke rumah tua.] Itu adalah perintah. Huh .... Sherly tidak membalas. Dia hanya berbalik dan berjalan ke arah lain. ... Sementara itu, di sisi lain. Evander sudah menuntun Hanna naik ke mobil. Setelah memasangkan sabuk pengamannya, dia tidak langsung menyalakan mesin, tapi dia menatap ponselnya. Pesan yang dia kirim ke Sherly masih belum dibalas. Hanna memerhatikan gerak-gerik Evander. Lalu matanya sedikit memerah dan berkata dengan lembut, "Kak Evander, aku melakukan semua ini ... kamu nggak marah, 'kan?" Evander mengangkat kepala, menatap Hanna dengan alis berkerut. "Kenapa tanya begitu?" Hanna tersenyum pahit, berhenti sebentar, lalu berkata, "Bukankah Sherly ... dulunya juga seorang musisi? Aku takut kamu keberatan." Evander tidak langsung menjawab, hanya menatap Hanna. Sejujurnya, dia memang merasa sedikit keberatan. Tapi Hanna sudah tidak punya banyak waktu. Dalam enam bulan terakhir hidupnya, apa pun yang dia mau, Evander akan berusaha memenuhinya. Hanna tahu isi pikirannya. Jadi dia menunduk, tampak semakin merasa bersalah. Keduanya terdiam. Suasana di dalam mobil hening, hanya terdengar suara ketukan tangan kiri Evander di setir. Sekitar satu menit kemudian, akhirnya Hanna berkata, "Aku hanya ingin berjalan di jalan yang pernah dia lalui." "Aku ingin tahu, seperti apa kamu mencintainya dulu." Dia mengangkat kepala dan menatap Evander dengan mata yang basah. "Aku juga ingin kamu mencintaiku seperti itu." Tangan Evander yang mengetuk setir berhenti. Dia menutup mata, lalu menghela napas panjang. Evander berkata, "Jangan pikir yang aneh-aneh. Aku sudah mendapatkan tanda terima perceraian dengannya. Tinggal menunggu masa mediasi selesai untuk mendapatkan surat cerai." "Hanna, sekarang aku bersamamu." Baru setelah itu Hanna tersenyum dan mengangguk pelan. "Sudah, ayo pulang," kata Evander sambil menyimpan ponsel dan menyalakan mesin mobil. Hanna menunduk dan di matanya melintas sebersit rasa puas. Inilah yang dia mau. Dia harus memanfaatkan momentum saat semua orang mendukungnya untuk menekan Sherly habis-habisan. Entah itu pria milik Sherly atau karier Sherly, semuanya harus dia rebut. Itulah alasan kenapa, saat dia tahu acara musik Suara Merdu, dia langsung memastikan untuk ikut. Dia akan menginjak Sherly sepenuhnya, agar Sherly runtuh, lalu menyerah dan memilih pergi jauh. Dengan begitu dia bisa menggantikan posisi dan mengambil semua yang dulunya milik Sherly. Sejauh ini, semuanya berjalan dengan mudah. Saat berpikir seperti itu, dia menahan senyum di sudut bibirnya, pura-pura lemah dan memejamkan mata untuk beristirahat. ... Di sisi lain. Sherly sudah menandatangani kontrak dengan Brandon. Salah satu investor acara Suara Merdu adalah Futana Entertainment dan Brandon sebagai pihak berwenang punya pengaruh cukup besar. Karena tahu Hanna akan ikut acara tersebut, Brandon menyiapkan perjanjian kerahasiaan untuk Sherly. Dia akan tampil sebagai peserta misterius dengan wajah tertutup topeng dan memakai nama panggung baru, Irene Yindira. Di saat yang tepat nanti, dia akan melepas topengnya agar semua orang melihat wajah aslinya dan tahu siapa dia sebenarnya. Sebelum topeng itu dilepas, hanya Sherly dan Brandon yang tahu identitas aslinya. Karena acara ini menilai lirik dan kemampuan menyanyi, konsep peserta bertopeng dianggap sekedar bagian dari strategi pemasaran. Agensi lain yang ikut terlibat sedikit banyak menggunakan unsur promosi, jadi tidak ada yang keberatan. Irene yang berarti hati yang tenang, maka hidup pun tenteram. Sherly sangat puas dengan nama itu. Setelah semua urusan selesai, dia langsung mengemudi menuju rumah sakit. Pagi tadi dia sudah menunda janji dengan dokter, jadi waktu kedatangannya sekarang pas. Setelah makan siang sederhana, Sherly tiba di ruang dokter. "Tok, tok." Sherly mengetuk pintu dengan pelan. Dia melihat dokter mengangkat kepala, Sherly mengangguk sopan, lalu masuk dan menutup pintu. Dokter yang bernama Rani Manuela melihatnya duduk dan bertanya lembut, "Kelihatannya kamu agak berbeda hari ini. Bagaimana perasaanmu belakangan ini?" Rani adalah dokter utama yang menangani depresi Sherly. Sepanjang hidupnya, Sherly sudah mengalami banyak hal, kebahagiaan, penderitaan, dan pasang surut kehidupan. Dua puluh tahun pertamanya meskipun ada luka, setidaknya ada sesuatu yang bisa dijadikan sandaran. Sampai hari ketika Hanna masuk dalam hidupnya. Sebenarnya, sebelum Hanna memakai akun palsu untuk menghubunginya, Sherly sudah mulai curiga. Namun ketika dia menunjukkan bukti itu pada Evander, pria itu malah menuduhnya sengaja memfitnah Hanna. Hari itu, untuk pertama kalinya Sherly datang ke psikiater. Diagnosis pertamanya sudah menunjukkan depresi tingkat menengah. Dokter menyarankan agar dia minum obat, tapi saat itu Sherly ingin punya anak, jadi dia hanya menjalani terapi rutin tanpa obat. Evander sama sekali tidak peduli dengan kondisinya. Jadi dia bahkan tidak tahu kalau Sherly sedang menjalani perawatan. "Rasanya agak lebih baik dari sebelumnya," kata Sherly setelah berpikir sebentar. "Aku sudah memutuskan untuk melepaskan beberapa hal, mungkin itu bisa membantu pemulihanku." Dokter mengangguk dengan senyum lega. "Bagaimana kehidupanmu akhir-akhir ini?" tanya Rani lagi. Dia cukup tahu tentang Sherly. Dia juga tahu dengan kasus siaran langsung hitung mundur kematian Hanna yang sedang viral di internet. Jadi meskipun sekarang Sherly terlihat tenang, Rani tahu hatinya mungkin belum benar-benar pulih. Rani sangat paham, betapa besar pengaruh Evander bagi Sherly selama ini. Sherly menatap meja putih di hadapannya dan terdiam sekitar tiga detik. Lalu dia tersenyum. "Sebenarnya nggak begitu baik." Begitu kata itu keluar, matanya langsung memerah. Tapi dia menahannya. "Dokter Rani," ujarnya Sherly, "aku sudah memutuskan, aku akan minum obat." Dulu, karena masih berharap pada Evander dan ingin punya anak dengannya, dia memilih terapi. Sekarang dia sudah tidak mau dengan Evander lagi, juga tidak mau anak. Jadi, dia bisa minum obat. Rani menatapnya dengan cemas. Dia merasa kondisi Sherly justru semakin parah. Dia bahkan mulai mempertimbangkan apakah perlu memberi tahu keluarga pasiennya, Evander?

© NovelRead, All rights reserved

Booksource Technology Limited.