Bab 2
Ekspresi Syane langsung berubah. Dia tidak menyangka bahwa si gadis kampungan ini bisa mengetahui rencananya.
Dia terkejut Jenny bisa mengetahui kalung itu disembunyikan di mana.
Dia diam-diam memelototi pelayannya yang tidak becus, kemudian berjongkok dan memungut kalung itu dengan hati-hati.
"Syukurlah, kalungku sudah ketemu."
"Kak Yovan, sudah kubilang, bukan Kak Jenny pelakunya. Tadi sore aku bertengkar dengan Kak Jenny dan nggak sengaja jatuh ke kolam, kalungku kemungkinan jatuh saat itu, lalu diambil oleh pelayan yang enggan mengembalikannya. Gara-gara perbuatan pelayan itu, aku jadi salah menuduh Kak Jenny."
"Lihatlah, pandai sekali Syane bicara, dia langsung mencari korban baru," pikir Jenny.
Sesuai dugaan, Yovan langsung marah.
"Jenny, jelas-jelas kamu tahu Syane nggak bisa berenang, kamu dengan teganya mendorong dia jatuh ke kolam. Kamu sebegitu bencinya sama dia, sampai ingin dia mati?"
Anton juga marah. "Meskipun kami salah menuduhmu, aku nggak menyangka kamu bakal sekejam itu pada Syane."
Mira merasa kecewa. Sambil menggelengkan kepala, dia berkata, "Jenny, kamu membuat Ibu kecewa."
Jika Jenny mendengar perkataan mereka ini di kehidupan sebelumnya, dia pasti merasa sedih.
Namun, di kehidupan ini, dia tidak sedih.
Jenny tersenyum sinis.
"Toh, kalian semua menuduhku mendorong Syane ke kolam. Ya sudah, sekalian saja aku dorong dia sungguhan, biar nggak rugi, 'kan?"
Wajah Anton memucat. "Dasar gadis kejam! Kenapa kami punya putri kejam sepertimu?"
"Putri? Waktu memfitnahku, kalian nggak mengatakan aku adalah putri kalian?" tanya Jenny dengan sinis.
"Kak Jenny, kok bicara seperti itu?" Dengan wajah memelas, Syane berkata, "Jelas-jelas Kak Jenny duluan ... "
"Syane, menurutmu ini menarik?"
Jenny langsung menyela, "Kalau aktingmu seburuk ini, berhentilah sandiwara di depanku. Aku sudah muak melihatmu."
Mira berkata dengan mengernyit, "Jenny, kita adalah keluarga. Minta maaflah kepada adikmu, maka kami anggap masalah ini selesai."
"Keluarga?"
Jenny mengulang kata "keluarga" dengan nada menyindir.
"Kalian hanya merayakan ulang tahun Syane dan mengurungku di gudang, apa itu namanya keluarga?"
"Kalian memfitnahku, bahkan menyuruhku minta maaf padahal aku nggak salah, apa itu namanya keluarga?"
Ketika menghadapi keluarga yang bersikap tidak adil dan memiliki standar ganda, Jenny tertawa sinis dan sudah tidak peduli lagi terhadap mereka.
Setelah berkata demikian, Jenny berbalik dan masuk ruangan, kemudian menutup pintu.
Orang-orang di luar ruangan terlihat terkejut.
Sejak kembali ke rumah Keluarga Linarto, ini pertama kalinya Jenny berani melawan dan tidak memberi mereka sedikit pun rasa hormat.
"Orang desa memang kasar!"
"Gadis itu sudah gila, nggak masuk akal!"
Mereka semua pergi dengan wajah muram.
Setelah menutup pintu, akhirnya Jenny merasakan ketenangan.
Dia melirik ke arah kamarnya yang berantakan, tanpa merasakan sedikit pun gelombang emosi.
Tahun lalu, saat dia baru saja dijemput pulang oleh Keluarga Linarto, dia langsung dikurung di dalam gudang yang kotor dan berantakan.
Mereka berkata, "Kamu baru saja datang dari desa, banyak aturan yang belum kamu mengerti. Di rumah ini sering ada tamu, jadi tinggallah sementara di sini, jangan sembarangan berjalan-jalan di halaman depan dan membuat keonaran. Setelah kamu belajar tentang aturan keluarga kaya, kami akan mengumumkan identitasmu kepada semua orang."
Namun, setelah menunggu lima tahun, dia dikirim ke rumah sakit jiwa dan disiksa hingga mati, tetapi tidak pernah mendapatkan pengakuan dari keluarganya.
Tadi siang, dia tertarik melihat keramaian di halaman depan. Dia tidak bisa menahan diri mendekat ke lokasi pesta ulang tahun Syane.
Namun, dia dilarang masuk. "Siapa yang mengizinkanmu keluar? Sungguh memalukan, cepat kembali ke gudang!"
Saat baru balik badan, dia mendengar keluarganya menjelaskan kepada tamu, "Dia adalah pelayan baru di rumah kami. Maaf atas kelancangannya."
Tidak hanya sempit dan dingin, kamarnya juga kosong.
Kaca jendela di kamarnya pecah, sehingga angin masuk ke ruangan. Pakaian yang masih basah menempel di tubuhnya, rasa dingin merasuk hingga ke tulangnya.
Namun, Keluarga Linarto tidak menyadarinya. Lagi pula, meskipun mereka menyadarinya, mereka juga tidak peduli.
Kebetulan, kaca jendela itu pecah seminggu lalu akibat dipukul bola bisbol oleh Syane.
"Maaf, Kak Jenny. Waktu main bisbol, aku nggak sengaja memecahkan kaca jendela. Kamu nggak takut, 'kan?"
"Aku akan segera menyuruh orang memperbaiki jendela, jangan sampai membuat Kak Jenny kedinginan."
Namun, sampai sekarang belum ada orang yang memperbaiki jendela kamarnya.
Seluruh anggota Keluarga Linarto tidak pernah memedulikannya.
"Apa yang bisa diharapkan dari keluarga seperti ini?"
Jenny segera mengemasi barang-barangnya. Dia memutuskan meninggalkan kamar yang menyesakkan ini.
Meskipun dia sudah setahun tinggal di kamar ini, barang-barangnya hanya sedikit.
Hanya ada beberapa pakaian yang warnanya memudar dan beberapa buku referensi, semuanya dibeli dengan uang hasil kerja paruh waktu.
Dengan alasan ingin mengubah kebiasaan buruknya yang suka bersenang-senang, keluarganya hanya memberinya uang jajan satu juta per bulan.
Uang itu bahkan tidak cukup untuk biaya hidup di asrama sekolah, sehingga dia harus bekerja paruh waktu agar bisa bertahan hidup.
Sebaliknya, Syane mendapat kartu hitam dari kakak sulungnya. Dengan kartu itu, Syane bisa menghabiskan miliaran sesuka hati.
Dia mengemas kopernya, kemudian membawanya keluar.
Keluarganya menemani Syane membuka kado di ruang tamu, sesekali terdengar tawa mereka.
Mereka terlihat benar-benar seperti keluarga, sedangkan Jenny merasa dirinya hanyalah seorang pengganggu di rumah ini.
Jadi, tidak ada yang menyadari bahwa Jenny sudah meninggalkan rumah dari pintu samping.
Namun, saat dia baru melangkah keluar, tiba-tiba dia terhalang oleh sosok tinggi dan tegap yang menghalangi jalannya.
"Jenny, kamu mau ke mana?"
Yogi Linarto, putra sulung Keluarga Linarto mengernyitkan keningnya erat.
Jenny tidak berbicara dengan nada ramah dan terus melangkah.
"Minggir!"