NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa

Bab 8

"Bagaimanapun juga, aku harus berterima kasih pada Pak Gavin. Kalau nggak ada hal lainnya, aku akan permisi dulu," kata Yasmin. Yasmin baru saja hendak mengambil sepatunya, lalu kabur secepat mungkin. Namun, dia tiba-tiba mendengar suara tawa dingin Gavin. "Rupanya cara Nona Yasmin berterima kasih hanya dengan kata-kata saja, ya?" Dari nada bicaranya, sepertinya pria ini merasa sangat tidak puas. Jika langsung memberinya uang, tampaknya itu terlalu tepat. Sedangkan memberikan hadiah juga tidak terpikirkan .... "Kalau begitu, bagaimana kalau aku mentraktirmu makan?" tanya Yasmin. Suara Gavin sangat mirip dengan Rein, jadi Yasmin tidak akan melewatkan kesempatan mendengarkannya. Ini adalah kesempatan besar yang didapatkannya. "Simpan nomor kontakku." Gavin langsung menunjukkan nomor kontaknya di depan mata Yasmin. Kemudian, Yasmin dengan cepat menyimpannya, lalu meninggalkan ruang rapat seperti sedang melarikan diri. Di dalam mobil, Yasmin akhirnya bisa bernapas lega. Punggung tangannya menyapu pipinya dengan lembut. Pada saat itulah dia baru menyadari bahwa pipinya terasa agak panas. "Cantik, malam ini dingin sekali. Pakaianmu terlalu minim, sebaiknya kamu menjaga diri tetap hangat." Sopir tersenyum ramah, sementara Yasmin hanya menanggapi dengan acuh tak acuh. Pikirannya dipenuhi dengan ekspresi Gavin yang menaikkan alis dengan kebingungan saat menemukan Yasmin. Entah mengapa, semua itu terasa begitu hidup .... "Jangan khawatir, aku baik-baik saja. Sayangnya, aku nggak berhasil menemukan orang yang mengirimiku email itu." Setelah mengetahui bahwa Yasmin baik-baik saja, Arvin pun bisa bernapas lega. Jika sesuatu terjadi pada Yasmin, Shifa pasti akan mengulitinya hidup-hidup. "Aku sudah melacak laptop itu. Begitu dia menyalakannya, aku akan meretas kameranya!" Arvin sudah memikirkan strategi dengan baik. Jadi, tidak ada pilihan lain selain menunggu untuk saat ini. Sekarang sudah pukul dua belas tengah malam. Yasmin buru-buru menghapus riasannya serta mencuci muka. Begitu membuka ponselnya, dia melihat seseorang dengan foto profil yang tidak dikenal mengirimkan tiga pesan. [Besok pagi, jam sebelas.] Ada lokasi sebuah restoran. [Sampai jumpa di sana.] Meskipun Gavin sekarang menjadi pengganti Rein baginya, ketika Yasmin melihat harga rata-rata di restoran tersebut, dia masih tidak bisa menahan rasa sakitnya. Ini hampir setara dengan setengah bulan gajinya. Karena pria itu telah membantunya, Yasmin akhirnya memesan tempat setelah berpikir sejenak. Selama beberapa waktu ini, Yasmin sepertinya sudah terbiasa mengeluh di kotak obrolan Rein. Bagaimanapun juga, dia tidak akan membalasnya. [Hari ini aku pergi ke pesta, lalu diganggu oleh dua orang bajingan. Tapi di dunia ini ternyata masih banyak orang baik.] [Orang baik ini sepertinya nggak mudah dihadapi. Besok aku akan mentraktirnya makan. Dengan harga makanan yang mahal itu, semoga dia bisa melupakan hal buruk yang aku lakukan!] Demi makan siang besok, Yasmin secara khusus meminta izin untuk tidak masuk kerja. Dia bahkan mengatur alarm. Harus diketahui, Yasmin biasanya pasti akan tidur sampai siang jika tidak sedang bekerja. Begitu alarm berbunyi, Yasmin langsung mematikannya. Ini sudah menjadi tindakan tanpa sadar bagi seorang pekerja. Entah setelah berapa kali alarm berbunyi, akhirnya Yasmin berjalan keluar dari selimut dengan perasaan enggan. "Aku nggak tahu bagaimana menjelaskannya padamu. Tapi baju seperti apa yang harus aku pakai agar orang lain merasa kasihan padaku? Juga membuat mereka merasa kalau aku bukan tipe orang yang suka berbohong?" tanya Yasmin. Yasmin menatap pakaian di lemarinya dari kiri ke kanan, benar-benar merasa bingung. "Meskipun aku nggak tahu apa yang terjadi, tapi setelah mendengar pertanyaanmu, kenapa kamu nggak bertanya pada Alya apa yang dia pakai hari ini?" balas Shifa. Segera, terdengar ledakan tawa dari ujung telepon. Yasmin tidak bisa menahan diri untuk tidak memutar matanya. Meskipun apa yang dikatakan Shifa benar, berlagak sok suci bukanlah gaya Yasmin sama sekali. Setelah menutup telepon, Yasmin mengganti pakaiannya dengan pakaian santai karena waktu yang mendesak. Berdasarkan prinsip tidak bergerak selama musuh tidak bergerak, Yasmin merasa akan lebih baik baginya untuk tidak menunjukkan kelemahan terlebih dahulu. Ini supaya dia tidak memberikan celah bagi Gavin. Melihat dari reaksi Gavin kemarin, pria itu tidak akan membiarkan Yasmin pergi begitu saja jika benar-benar ingin mempermasalahkan kelakuannya. Yasmin berjalan ke pintu masuk restoran dengan hati-hati. Setelah melihat ke segala arah, dia tidak menemukan sosok Gavin. "Apa-apaan ini? Sekarang sudah pukul sebelas. Di mana dia?" gumam Yasmin. "Permisi, apakah kamu Nona Yasmin? Pak Gavin sudah menunggumu." Pada awalnya, pelayan itu juga tidak yakin apakah sosok mencurigakan ini adalah orang yang dicari oleh Gavin. Ketika Yasmin berdiri di pintu masuk, barulah dia menyadari bahwa ini bukan tempat yang dia pesan. "Nona Yasmin, Pak Gavin sudah memesan ruang VIP." Memesan ruang VIP di restoran ini memerlukan tambahan 2 juta. Yasmin merasa darah menetes dari hatinya. Begitu membuka pintu, Gavin langsung menatapnya dengan tatapan mata yang dingin. Yasmin langsung merasa tertekan. Kenapa dia selalu menatapnya seperti itu? "Kenapa lukamu nggak diobati?" tanya Gavin. Saat Yasmin sedang memikirkan alasan, Gavin bangkit berdiri, membuka plester obat, lalu menyibakkan poni di dahi Yasmin. "Apakah Pak Gavin selalu memperhatikan orang lain seperti ini?" Yasmin tersenyum, tetapi segera menarik senyumannya kembali karena rasa sakit yang muncul di dahinya. "Meskipun perasaanmu sedang nggak baik, kamu tetap harus menjaga kesehatan." Dari perkataannya, Gavin mengira Yasmin begitu terpukul karena Rizky sampai tidak peduli dengan kondisi tubuhnya sendiri. Namun, sebenarnya Yasmin hanya malas saja. Ini hanya benjolan kecil yang akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa hari. Untungnya, Gavin sama sekali tidak menyinggung kejadian semalam. Ini membuat Yasmin bisa bernapas lega. Dengan suasana hati yang lebih baik, Yasmin mampu memakan lebih banyak makanan. Tanpa disadari, setengah dari makanan di meja sudah dihabiskan oleh Yasmin. "Kenapa Pak Gavin nggak makan? Masakan restoran ini memang sangat lezat!" Yasmin akhirnya mengerti mengapa harga di tempat ini begitu mahal. Jika bisa memuaskan seleranya, uang yang dikeluarkan untuk makanan ini juga sepadan. "Aku nggak lapar." Setelah berkata demikian, Gavin menukar steik yang sudah dipotongnya dengan piring kosong di depan Yasmin. Yasmin begitu fokus makan sehingga sama sekali tidak memperhatikan detail-detail kecil ini. "Bagaimana kamu bisa menemukan ruang rapat itu kemarin?" tanya Gavin. Yasmin hampir tersedak mi. Pertanyaan ini memang datang dengan tidak terduga. "Uhuk, uhuk. Aku hanya mendengar kalau kamu ada di sana, jadi aku mengikutimu," jawab Yasmin. Alis Gavin terangkat sedikit. "Saat itu aku melihat Nona Yasmin keluar dari aula perjamuan, terus mencari suatu tempat." "Nggak begitu .... Pak Gavin, ini enak. Kamu harus mencobanya." Untuk mengalihkan perhatian dari interogasinya, Yasmin langsung mengambil sepotong mangga dan hati angsa dengan garpu, lalu menyodorkannya ke mulut Gavin. Melihat Gavin yang tidak bergerak, Yasmin baru teringat bahwa garpu ini sudah dia gunakan. Untuk menghilangkan kecanggungan, Yasmin tersenyum sambil berkata, "Aku akan pergi ke toilet dulu." Kemudian, Yasmin meninggalkan ruangan seperti sedang melarikan diri. Ini membuat Gavin tersenyum sambil menggelengkan kepala tanpa daya. Yasmin menatap dirinya di cermin, wajahnya tampak sedikit memerah. Karena tidak memakai riasan apa pun, warna merahnya tampak sangat jelas. Yasmin segera membuka keran air untuk membasuh wajahnya. Dia baru kembali setelah menenangkan diri. Pada saat ini, di sisi koridor, Alya sedang memamerkan cincin di jari manisnya kepada teman-temannya. Tiba-tiba, dia melihat Yasmin. "Kalian tunggu sebentar." Alya sangat memahami Yasmin. Dengan kebiasaan berhemat Yasmin, dia tidak mungkin memilih tempat seperti ini jika bukan karena seseorang membawanya ke sini. Setelah kembali ke ruangan dan duduk, Yasmin melihat Gavin memegang kotak hadiah di tangannya. "Pak Gavin, aku nggak melakukan apa-apa yang membuatku pantas untuk mendapatkan hadiah ...." Perkataan Yasmin terhenti begitu melihat isi kotak hadiah tersebut. Bahkan setelah kembali ke rumah kemarin, Yasmin sama sekali tidak menyadari bahwa kalung di lehernya sudah hilang. "Kamu meninggalkan ini di ruang rapat kemarin," kata Gavin.

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.