Bab 5
Kinara menjawab dengan wajah datar, "Barang-barang itu sudah usang, aku sudah membuangnya."
Stefan tidak berpikir terlalu jauh, dia mengira karena Kinara akan menikah, jadi dia membuang barang-barang lama, dan dengan santai berkata, "Lagi pula kartu tambahanku ada padamu, beli saja sendiri apa yang kamu butuhkan."
Dia berhenti sejenak, lalu menambahkan, "Soal kejadian kemarin, Mirana bilang dia nggak akan mempermasalahkannya. Tapi jangan sampai terulang. Mulai hari ini, kalian berdua harus rukun. Mengerti?"
Rukun?
Apa dia ini ingin menikmati dua perempuan sekaligus?
Mimpi!
Kinara malas menanggapi, lalu berbalik menuju ke lantai atas.
Stefan memperhatikan langkahnya yang agak aneh, lalu melangkah untuk mengejarnya.
Mirana memutar matanya, lalu berkata dengan nada sinis, "Kakak benar-benar beruntung, nggak melakukan apa-apa tapi punya uang yang nggak terhitung."
Stefan tersenyum, dengan nada manja berkata, "Cemburu ya? Apa pun yang kamu mau, akan aku belikan."
"Kak Stefan, yang aku mau itu dirimu, bukan uangmu."
"Orangnya milikmu, uangnya juga milikmu."
Kemudian Stefan memeluk pinggang Mirana, melewati Kinara dan masuk ke kamar.
Beberapa saat kemudian, suara mesra terus terdengar dari dalam kamar.
Kalau dulu, Kinara pasti merasa hatinya seperti ditusuk pisau.
Tapi sekarang, dia hanya mendengar dengan dingin, seolah pria yang sedang bermesraan dengan Mirana itu bukan Stefan.
Sebentar lagi, kurang dari sebulan, dia akan meninggalkan tempat ini.
Setelah Mirana pindah, hubungannya dengan Stefan seperti bayi kembar, mereka saling berciuman dan berpelukan setiap saat.
Kinara pura-pura tidak melihat, sambil diam-diam menghitung hari untuk pergi.
Hari itu, Mirana tiba-tiba mengamuk ingin pergi, menangis tersedu-sedu, tampak rapuh seperti bunga basah tersapu hujan.
Stefan menatapnya dan berkata dengan nada tersirat, "Kenapa ingin pergi begitu saja? Apakah ada yang menindasmu?"
Mirana menggeleng. "Aku ingin pergi saja. Kalau aku nggak pergi, Kakak pasti akan mengusirku."
Sebelum Kinara sempat berbicara, dia menyentuh perutnya dan berkata, "Aku hamil. Aku tahu Kakak nggak akan menerima anak ini, jadi aku akan ke rumah sakit untuk menggugurkannya!"
Dia berpura-pura hendak lari keluar, Stefan terkejut sejenak, lalu memeluknya.
"Jangan gugurkan!" katanya dengan bibir gemetar. "Mirana, ini anak pertamaku, lahirkanlah dia, ya?"
Stefan berbicara dengan suara makin lembut, "Aku selalu ingin punya anak. Aku jamin, selama kamu mau melahirkannya, apa pun yang kamu mau akan aku penuhi."
"Tenang, aku ada di sini, aku nggak akan membiarkan siapa pun menyakiti kalian."
Mata Kinara melebar, menatapnya dengan tak percaya.
Dulu, dia pernah membicarakan topik ini dengan Stefan.
Dia masih ingat apa yang pernah dikatakan Stefan.
"Aku suka anak perempuan, yang mukanya mirip denganmu, tapi sifatnya seperti aku, supaya nggak ada yang menindasnya."
"Kalau laki-laki, saat besar dia akan melindungimu bersamaku."
"Pokoknya, anak Stefan Jiswara hanya bisa lahir dari rahimmu."
Kinara pernah memercayai kata-katanya sepenuhnya, bahkan merasa bersalah dan gelisah untuk anak yang belum lahir itu.
Namun, tidak disangka, Stefan seketika membuat Mirana hamil.
Meski Kinara sudah memutuskan untuk meninggalkannya, hatinya tetap terasa sakit saat ini.
Dia memegang dadanya, ingin melarikan diri, tetapi Mirana tidak berniat melepaskannya.
"Kakak, anak ini nggak bersalah. Tolong izinkan aku melahirkannya, boleh?"
Kinara tertawa dengan sinis. Belum sempat dia bicara, Stefan sudah mendengus dingin. "Untuk apa kamu memohon padanya? Ini anak kita, dia nggak punya hak untuk memutuskan."
Setelah itu, dengan nada yang tidak bisa dibantah, Stefan berkata pada Kinara, "Mulai sekarang, kamu bertanggung jawab mengatur makanan Mirana. Kalau terjadi apa-apa pada dia atau anak dalam perutnya, aku nggak akan memaafkanmu."
Dia berhenti sejenak, lalu berkata, "Jangan berpikir terlalu jauh. Posisi Nyonya Jiswara tetap akan jadi milikmu. Bagaimanapun, itu nggak akan berubah."
Kinara gemas, seluruh tubuhnya gemetar. "Stefan, apa menurutmu aku pasti akan menikah denganmu, jadi kamu merasa bebas merendahkan aku begini?"
"Dengar baik-baik, lupakan saja. Meski aku mati, aku tetap nggak akan mengurus dia!"
Mata Stefan menjadi suram, suaranya dingin seperti embun beku di bulan Februari. "Aku bukan sedang menegosiasikan ini denganmu. Kalau kamu nggak setuju, pikirkan warisan yang ibumu tinggalkan, dan juga dana yang pernah aku suntikkan ke Keluarga Winarto ... "
Kinara terkejut seperti disambar petir, matanya membelalak, giginya gemertak. "Stefan, jangan paksa aku membencimu!"
Stefan menjawab dengan nada mengejek, "Kamu kira aku nggak benci padamu?"
Kinara terkejut sejenak, ingin menanyakan maksud ucapannya, tapi merasa tidak perlu lagi karena toh dia sudah memutuskan untuk pergi.
Dengan pernikahan yang tinggal setengah bulan lagi, pada saat genting ini, tidak ada gunanya membuat keributan tambahan.
"Baik, aku setuju."
Kesabaran Kinara, dibalas dengan kelakuan Mirana yang tak terkendali.
Beberapa hari ini, Mirana mengganggunya dengan berbagai cara.
Sebentar menyuruh Kinara membeli buah plum, tapi ketika dibawa pulang, dia bilang tidak ingin makan.
Sebentar kemudian, dia menyuruh Kinara membuatkan sup, tapi ketika dihidangkan malah dia bilang baunya membuat mual.
Kemudian, dia mengeluh suara napas Kinara terlalu keras hingga membuatnya sakit kepala.
Intinya, apa pun yang dilakukan Kinara, tidak pernah memuaskan Mirana.