Bab 518 Makanan Tengah Malam
Verian dan Yandel sampai di lantai dasar, dan saat mereka berjalan di lorong, mereka melihat Heaton berdiri di samping mobilnya.
Verian melirik Yandel, dan secara mengejutkan, Yandel mengizinkannya dengan mudah. “Pergilah. Aku yang akan membeli makanan.”
“Terima kasih, Kak.”
Setelah Yandel meninggalkan daerah pemukiman untuk mendapatkan makanan mereka, Verian mendekati Heaton dan melompat ke dalam pelukannya. Dia memegang Heaton dan menatapnya dengan bersemangat seperti tatapan seorang anak kecil. Matanya bersinar dengan bahagia.
“Sudah larut malam. Kenapa kau ke sini?”
“Aku tidak bisa tidur, jadi aku kesini untuk bertemu denganmu.”
Heaton membelai rambut Verian dan dengan lembut memegang bagian belakang kepala wanita itu. Heaton menatap Verian dengan penuh kasih sayang.
Verian tidak tahan dengan tatapan Heaton. Kemudian Verian melingkarkan lengannya di leher Heaton dan meringkuk dalam pelukan pria itu.
"Heaton..."
Mereka hanya tidak bertemu selama satu hari. Kenapa Verian sangat merindukannya?
Mereka sudah melewati fase sedang cinta-cintanya satu sama lain. Menurut Nyonya Gaunt, mereka seharusnya sudah terbiasa satu sama lain sehingga gairah dan cinta mereka akan perlahan memudar. Barulah mereka bisa hidup bersama dengan damai. Tapi, meskipun mereka sudah terbiasa satu sama lain, Verian tidak merasa cinta mereka dan ketergantungan akan satu sama lain sirna seiring berjalannya waktu. Malahan, rasa kagum terhadap pria yang akan berjalan bersamanya di altar besok, semakin dalam tiap harinya.
Verian menyandarkan kepalanya di bahu Heaton. Karena dia menggunakan sepatu datar, pria itu jadi terlihat sangat tinggi. Heaton tidak hanya harus menunduk untuk memeluknya, tapi pria itu juga seperti seekor tupai yang memegang kenari di tangannya. Kedua kaki Verian terangkat dari tanah, dan Verian jadi lebih tinggi dari Heaton saat berpegangan padanya. Dia merasa sedikit malu, dan pipinya memerah.
“Ayo masuk ke dalam mobil.”
“Ada ruang yang terbatas di sana.”
Verian tertawa saat mendengar jawaban Heaton. Dia batuk beberapa kali sebelum dia menatap Heaton dengan mata terbelalak.
“Memangnya kita mau berbuat apa?”
“…”
Saat Heaton melihat pipi Verian yang memerah, Heaton tidak ingin menggodanya lagi. Dia menurunkan Verian, tapi tetap melingkarkan tangannya di pinggang wanita itu. Dengan suara berat, dia berkata, “Aku tidak terburu-buru. Kau harus membayar semua hutangmu padaku besok malam.”
Verian tidak berani menatap mata Heaton. Dia merasa malu, jadi dia mengalihkan pandangannya untuk melihat ke sekitar mereka. Akhirnya, Verian terjebak di antara mobil dan dada Heaton yang tegap. Heaton menggunakan tubuhnya yang tinggi, prima, dan tegak untuk menjebak sosok Verian yang mungil. Dia menundukkan kepalanya dan mengunci tatapannya pada Verian. Kemudian pria itu menciumnya dengan penuh gairah untuk waktu yang lama.
Di tempat yang gelap dan sempit, Heaton segalanya bagi Verian, dan dia hanya merasakan kehadiran Heaton saat itu.
Saat mereka berdua sedang bermesraan, terdengar suara dari kejauhan, yang merusak momen kebersamaan mereka.
“Hei! Mobil siapa itu? Cepat pindahkan! Tidak ada mobil yang boleh parkir di sini!”
Verian terkejut dan tanpa sadar semakin membenamkan dirinya ke dalam pelukan Heaton.
Heaton tanpa disangka tetap bersikap tenang. Dia memeluk Verian dan menggunakan tubuhnya untuk menutupi wanita itu sehingga penjaga tidak melihatnya. Kemudian Heaton memandang ke arah penjaga dan berkata, “Aku akan memindahkannya sekarang.”
“Tolong cepat.”
Karena langit sudah gelap, penjaga tidak mendekati mereka. Dia menyuruh Heaton memindahkan mobilnya dari kejauhan, dan kemudian dia pergi.
Dari dalam pelukan Heaton, Verian mendongakkan kepalanya untuk mengintip ke arah penjaga karena dia takut penjaga itu melihat mereka melakukan sesuatu yang buruk.
“Apa satpam itu sudah pergi?”
“Ya.”
Verian menghela napas lega.
‘Itu menyakitiku. Aku kira seseorang dari atas turun dan memergokiku,’ pikir Verian.
Dia mendorong Heaton dengan perlahan.
“Sudah malam. Kau harus pulang sekarang. Kita harus bangun pagi besok.”
Verian harus bangun pukul 6 pagi. Mereka memperkirakan penata rambut dan merias akan menghabiskan banyak waktu untuk menata rambut dan riasan Verian. Kemudian, Heaton harus sampai di kondominium pukul 9 pagi untuk menjemput Verian ke gereja. Pengiring pengantin pasti tidak akan semudah itu membiarkan Heaton masuk ke dalam rumah. Oleh karena itu, mereka harus meluangkan waktu kurang lebih setengah jam sebelum Heaton diperbolehkan masuk.
Saat Verian memikirkannya, dia melingkarkan lengannya di leher Heaton dan bertanya, “Bagaimana jika mereka menyulitkanmu besok?”
Heaton tertawa, “Xylean dan Serene adalah pengiring pengantin mu. Serene akan mudah ditangani karena Wilson bersamaku. Dia tidak akan berani menghalangiku terlalu lama. Xylean cukup berani dan mungkin akan sulit untuk ditangani.”
Yandel berhutang terlalu banyak pada Xylean. Jadi, mungkin Yandel akan pura-pura tidak tahu kapan pun Xylean bertingkah seperti biang onar. Yandel mungkin akan membantu Xylean ketika Xylean tengah berkelahi.
Mata Verian berkedip saat sesuatu muncul di pikirannya.
“Aku akan bilang pada mereka untuk memberimu sebuah pertanyaan besok. Mereka akan memperbolehkan mu masuk jika menjawabnya dengan benar. Bagaimana menurutmu?”
Heaton tertawa dan menatap istrinya.
“Kau sangat mencintaiku sampai kau takut aku akan kesulitan besok?”
“Aku hanya khawatir kalau mereka akan keras padamu dan membuat jadwal kita terhambat. Besok aku akan meminta mereka untuk bertanya padamu sebuah pertanyaan asah otak.”
“Pertanyaan seperti apa itu?”
“Pertanyaannya adalah – apa tiga hewan tertinggi di dunia? Jawabannya adalah babi, serigala betina dan lebah.”
‘Babi, serigala betina, lebah. Pengucapannya sama seperti Gunung Everest.’
Heaton berhasil menebak alasan di balik jawaban itu.
Heaton kehilangan kata-kata.
Apa Verian berusaha untuk menghina kecerdasannya dengan meremehkan IQ 180-nya?
Tapi, wanita dalam pelukannya mengernyitkan hidungnya dan mengingatkan Heaton dengan tampang serius di wajahnya.
“Apa kau sudah mengingat jawabannya?”
Heaton menekan telapak tangannya di belakang kepala Verian sebelum dia mencium dahi wanita itu. “Aku akan mengingatnya, Nyonya Fudd.”
Mata Verian membentuk bulan sabit saat dia tersenyum. Dia menyentuh sabuk di pinggang Heaton dengan genit, dan saat mereka berdua berpelukan satu sama lain, seseorang terbatuk ringan dari jauh.
Heaton dan Verian memandang ke arah asal suara itu. Mereka melihat Yandel mendekati dengan dua kantong berisi barbeku dan udang karang di tangannya.
Yandel mengingatkan mereka, “Sudah malam. Mereka akan curiga kalau kita terlalu lama.”
Heaton memegang erat tangan Verian dan mengulurkan tangannya untuk membelai rambutnya.
“Pulanglah dengan kakakmu kalau begitu. Aku akan datang dan menjemputmu besok pagi.”
Verian mengangguk dengan patuh. Dia merasa sedikit enggan berpisah dengan Heaton, tapi tidak ada yang bisa dilakukan.
“Baiklah. Hati-hati di jalan, dan jangan sampai terlambat besok.”
“Baiklah.”
Yandel tidak ingin mengganggu momen manis mereka.
“Aku akan masuk ke lorong terlebih dulu.”
Mereka melihat Yandel masuk ke dalam terlebih dulu, dan saat Yandel membelakangi mereka, Verian menarik kemeja Heaton, berjinjit dan mendekatkan dirinya pada pria itu. Kemudian dia mencium bibir Heaton.
“Selamat malam, Tuan Fudd.”
Setelahnya, Verian ingin melarikan diri seperti kelinci kecil. Tapi, sebelum dia bisa melakukannya, Heaton menariknya kembali ke arahnya, sedikit menunduk dan memeluknya. Kemudian berbisik di telinga Verian.
“Selamat malam, Nyonya Fudd.”
Setelah mereka saling mengucapkan selamat malam, Heaton akhirnya membiarkan Verian pergi.
Verian berlari ke lorong dengan senang, hatinya berbunga-bunga.
Saat Verian dan Yandel masuk ke dalam lift, Yandel tidak bisa menahan rasa penasarannya dan bertanya, “Ini hanya sebuah pernikahan. Kenapa kau sebahagia itu?”
Verian menatap Yandel, tapi dia tidak bisa berhenti tersenyum. Dia mencibirkan bibirnya dan berkata, “Kau akan tahu rasanya saat kau menikahi Leannie.”
Yandel tersedak saat mendengarnya. Dia mengepalkan tangannya dan membawanya dekat ke bibirnya.
Lift sampai di lantai lima. Saat Verian keluar dari lift, dia tidak lupa menyemangati Yandel, yang mengikutinya dari belakang. “Kakak, kau harus bersiap-siap. Aku akan mengarahkan buket pengantinnya ke Leannie besok.”
Yandel terbatuk karena malu. Dia adalah kakak Verian, tapi adiknya sudah menikah sebelum dirinya. Verian bahkan sudah punya dua anak. Semuanya terasa sedikit menggelikan untuknya.
Yandel mencibirkan bibirnya dengan penuh pertimbangan dan mendesak Verian, “Kau harus mengarahkannya dengan benar ke arah Leannie.”
“Jangan khawatir, Kak. Aku pasti akan melemparkan buket bunga itu ke Leannie.”
“…”