Bab 24
Gaun yang dikenakan Thalia berwarna putih polos, model tali pundak. Penampilannya bersih, simpel, dan elegan, tampak sangat menawan.
Namun, ukurannya agak kebesaran. Jadi, dia menjepit bagian samping dengan dua penjepit kecil agar tidak terlihat longgar.
Liana meliriknya sekilas dan berkata dengan nada acuh, "Dia memang nggak cocok pakai baju mewah seperti itu, tiap kali cuma buang-buang duit. Beda sama Hani. Dia lebih bisa diandalkan. Urusan kecil begini pun bisa ditanganinya sendiri."
Thalia hanya berdiri dengan kepala menunduk. Penampilannya hari ini semua diurus oleh tim penata gaya yang khusus didatangkan oleh Keluarga Wenos.
Setiap kali ada acara besar seperti ini, Thalia selalu dipoles hingga tampak menawan seperti boneka. Dia tidak perlu lakukan apa-apa, cukup berjalan mengikuti Andre berkeliling sebentar, tugasnya pun selesai.
Karena dia memang perlu menunjukkan pada semua orang bahwa Andre benar-benar berhati baik.
Harmoni bukan perusahaan kecil dan Keluarga Wenos juga punya pengaruh besar di Jinara.
Hari ini yang datang bukan hanya orang-orang dari lingkaran dunia bisnis saja, tetapi juga awak media.
Setelah menyelesaikan tugas utamanya, mengikuti Andre, Thalia tak perlu lagi tinggal di ruang pesta.
Andre memang tidak suka Thalia bergaul dengan orang lain.
Karena ruangan itu penuh dan bising, telinga Thalia merasa tidak nyaman. Jadi, dia memilih mencari tempat tenang di sudut ruangan.
Nila datang bersama ayahnya. Setelah selesai bersosialisasi, dia langsung menghampiri Thalia. "Sayang, siapa yang rias wajahmu hari ini? Nggak cocok banget sama kamu."
Thalia punya wajah manis dan polos, tetapi hari ini riasannya justru tampak dewasa. Itu malah membuatnya terlihat lebih tua.
Selain itu, untuk menonjolkan masalah pendengarannya, Andre sengaja menyuruh penata gaya menata rambutnya agar telinganya terlihat, supaya orang bisa melihat alat bantu dengarnya.
"Bajumu juga. Modelnya tua banget." Nila menatap Thalia dari atas sampai bawah dengan ekspresi jijik.
Thalia bertanya, "Kamu nggak ikut Paman bersosialisasi?"
Nila menjawab dengan santai, "Nggak perlu, aku ke sini sebagai wartawan. Aku cuma sekalian numpang mobilnya saja."
"Memang ada banyak wartawan hari ini." Thalia mengangguk. "Dulu sepertinya nggak seramai ini."
"Kamu nggak tahu alasannya?" tanya Nila sambil menatapnya.
Thalia tampak bingung. Nila menghela napas. Dia menjelaskan, "Karena hari ini Trista juga datang."
Kalimat selanjutnya tak diucapkan, tetapi Thalia sudah paham maksudnya.
Sebagian wartawan datang karena acara pengakuan Keluarga Wenos, tetapi sebagiannya lagi datang karena hubungan Thalia dengan Trista.
Identitas Thalia sudah lama diumumkan oleh Andre secara terbuka.
Anak angkat dari Yayasan Harmoni membocorkan kabar bahwa CEO wanita Grup Lianto yang sedang sakit parah. Topik ini memang sedang panas.
Jadi, wartawan yang datang hari ini pasti ingin menggali informasi lebih jauh.
Nila menepuk lengan Thalia dengan iba. "Jangan takut, mereka nggak akan macam-macam. Tunggu sampai rumah sakit menemukan bukti kamu nggak bersalah, maka semuanya akan baik-baik saja."
Thalia mengangguk pelan. Saat dia mendongak, dia melihat Zavier.
Beberapa hari ini, Zavier tidak pulang karena sibuk mengurus urusan di rumah sakit.
Hati Thalia tergerak. Dia berpamitan pada Nila, lalu menghampiri Zavier. Dia ingin menanyakan situasi di rumah sakit dan kapan bisa kembali bekerja.
Namun, baru saja mendekat, dia langsung mendengar Zavier berkata dengan nada serius sambil mengerutkan dahi. "Berhenti."
Thalia tertegun. "Ada apa?"
"Aroma parfummu terlalu kuat dan menyengat."
Thalia menggigit bibirnya, menundukkan mata, lalu mundur sedikit dengan canggung.
Parfum itu disemprotkan oleh penata gaya padanya. Penata gaya itu mengatakan bahwa parfum itu bisa menutupi bau disinfektan dari tubuhnya.
Dia menjaga jarak aman. Thalia berpura-pura tak melihat ekspresi Zavier yang kesal. Dia berusaha tetap tenang dan bertanya dengan pelan, "Apa direktur sudah bilang kapan aku bisa kembali bekerja?"
Hari ini Zavier juga memakai setelan jas, tidak seperti biasanya yang memakai jas dokter. Jas hitam itu membuat kesan dingin dan cueknya tampak kalem dan dalam.
Mendengar pertanyaan Thalia, dia terdiam sejenak, lalu menjawab dengan datar, "Belum ada info."
"Aku ...." Thalia ingin bicara lagi, tetapi tiba-tiba terdengar suara langkah cepat di belakangnya.
Disertai suara melengking dari seorang wanita. "Dia orangnya! Dia perawat yang menyebarkan kabar soal Trista! Karena dia, kondisi Trista memburuk!"
Thalia menoleh dan terkejut. Dia langsung ditarik oleh wanita itu ke hadapan Trista yang duduk di kursi roda.
Trista tampak lebih lemah daripada saat terakhir kali Thalia melihatnya.
Dia membelalakkan mata, menatap Thalia tanpa berkedip.
Trista mengidap tumor pembuluh darah otak stadium akhir, kemungkinan sembuhnya memang sangat kecil.
Dia menatap Thalia dan berkata dengan tegas, "Hari ini aku datang bukan untuk hal lain. Aku cuma ingin kamu memberiku penjelasan, kenapa kamu bisa sejahat itu?"
Suaranya bahkan terdengar serak.
Namun, Thalia sudah sering melihat pasien di rumah sakit, jadi dia buru-buru menenangkan diri. Dia berjongkok, sejajar dengan Trista, lalu menjelaskannya dengan nada serius, "Bu Trista, bocornya informasi soal penyakit Bu Trista itu nggak ada hubungannya denganku."
Namun, begitu kalimat itu selesai, Trista tiba-tiba mengambil gelas dari meja makan di sampingnya, lalu menghantamkannya ke bahu Thalia!
"Apa hakmu! Beraninya menyebarkan urusan pribadiku ke orang lain!"
"Kamu tahu, berapa banyak orang yang mentertawakanku sekarang?"
Trista tiba-tiba menangis tersedu-sedu. Dia kembali melempar benda-benda dari meja ke arah Thalia.
Bahu Thalia dipenuhi goresan akibat pecahan gelas dan mulai mengeluarkan darah.
Dia terpaku di tempat, hanya bisa menatap Trista yang hancur dalam diam.
Alat bantu dengarnya terlepas saat terkena pecahan kaca yang terpental.
Dia tak bisa mendengar apa pun lagi.