NovelRead
Buka aplikasi Webfix untuk membaca lebih banyak konten yang luar biasa
Cinta yang TerlambatCinta yang Terlambat
Oleh: NovelRead

Bab 1

"Suster Thalia, kamu harus ganti alat bantu dengarmu. Kalau nggak, pendengaranmu akan terganggu." Thalia Wenos yang berada di dalam ruangan Dokter Raffa pun diingatkan oleh dokter itu. Thalia duduk di hadapan Dokter Raffa. Dia baru saja selesai bekerja, jadi belum sempat berganti pakaian. Thalia balas mengangguk mengerti. "Terima kasih, Dokter Raffa. Aku mengerti." Dokter Raffa pun menghela napas. "Suster Thalia, dari hasil pemeriksaan terakhirmu, kurasa sebaiknya kamu segera menjalani prosedur implan koklea. Operasi sejenis ini nggak terlalu mahal saat ini. Total biayanya, termasuk biaya pemulihannya, paling hanya kurang lebih 1,2 miliar." Dokter Raffa berhenti sejenak, lalu senyumannya berubah menjadi lebih ramah. "Bagi keluargamu, uang sebanyak ini pasti mudah didapat. Nggak perlu ditunda-tunda." Ketika Thalia pertama kali datang ke rumah sakit, Keluarga Wenos langsung menyumbangkan dua alat impor ke pihak rumah sakit. Siapa yang tidak tahu bahwa Keluarga Wenos kaya raya? Setelah keluar dari ruang kantor Dokter Raffa, Thalia mengambil ponselnya. Dia membuka aplikasi perbankan dan memeriksa saldo. Angkanya menunjukkan 112 juta. Uang yang Thalia tabung selama setahun ini. Dokter Raffa benar. Bagi Keluarga Wenos, nominal 1,2 miliar memang bukanlah apa-apa, tetapi itu adalah nominal yang sangat besar bagi Thalia. Thalia adalah anak angkat dari Keluarga Wenos. Sejak kecil, dia dididik dengan beberapa prinsip. Dia hanya dapat menerima sesuatu apabila sesuatu itu ditawarkan kepadanya oleh keluarganya dan dia harus bersyukur bisa mendapatkannya. Jika Keluarga Wenos tidak memberi apa-apa, maka Thalia juga tidak boleh meminta apa pun. Jika tidak, Thalia akan dianggap tidak tahu berterima kasih dan tidak tahu diri. Thalia kembali ke poli tempat dia bekerja, lalu berganti pakaian dan pulang. Waktu sudah menunjukkan hampir pukul tujuh malam. Akhir-akhir ini Jinara terus diguyur gerimis, cuacanya benar-benar terasa sangat suram sehingga rasanya kepala jadi tidak bisa berpikir dengan jernih. Thalia tidak tinggal di rumah Keluarga Wenos, melainkan di apartemen dekat rumah sakit. Sesampainya di rumah dan membuka pintu, dia melihat lampu di lorong masuk menyala. Thalia sontak terdiam sesaat. Zavier Jenar ada di rumah. Dia pun mendorong pintu dengan gerakan yang lebih lambat, lalu menunduk untuk memeriksa dengan saksama apakah ada bekas hujan atau lumpur di tubuhnya. Zavier adalah seorang dokter bedah terkenal di Rumah Sakit Jinara sekaligus dokter bedah termuda di poli bedah saraf. Zavier menderita misofobia yang kronis dan benar-benar tidak tahan dengan kotoran sekecil apa pun itu. Pria itu sekaligus merupakan tunangan Thalia. Agar mereka berdua dapat saling menumbuhkan perasaan, Keluarga Wenos dan Keluarga Jenar sepakat untuk mengizinkan Thalia dan Zavier tinggal bersama. Bagaimanapun juga, pertunangan mereka adalah sebuah insiden tidak terduga. Thalia merapikan diri dan masuk ke dalam rumah. Lampu di lorong masuk menyala, tetapi lampu di ruang tamu mati. Meskipun begitu, Thalia masih bisa melihat sosok Zavier di atas sofa. Zavier tampak sedang tidur pulas, pria itu sama sekali tidak bereaksi terhadap suara-suara yang muncul. Thalia berjalan mendekat untuk memperhatikan Zavier yang memejamkan matanya. Bulu mata pria itu terlihat begitu lentik dan tebal. Julukan Zavier di rumah sakit adalah Tangan Sakti si Wajah Dewata. Bukan hanya karena Zavier sudah pantas menjadi ketua dokter bedah walaupun masih belia, tetapi juga karena wajah pria itu. Zavier memiliki paras yang sangat tampan. Saking tampannya, Thalia hanya berani menatap Zavier secara terang-terangan apabila pria itu sudah tertidur. Dia sudah lama tidak bertemu Zavier. Beberapa waktu lalu, Zavier dikirim ke luar negeri untuk menghadiri konferensi akademik dan baru kembali dua hari ini. Begitu pulang, pria itu langsung melakukan operasi besar. Dia menghabiskan enam atau tujuh jam di meja operasi kemarin dan hari ini. Ada lingkaran hitam samar di bawah mata Zavier, alisnya sedikit mengernyit. Zavier terlihat seperti tidak bisa tidur dengan nyenyak. Jendela di ruang tamu terbuka, hujan bercampur angin dingin masuk. Zavier hanya mengenakan sehelai kemeja. Kelopak mata Thalia bergetar dan dia menatap selimut kecil yang biasa dia gunakan dan letakkan di atas sebuah sofa kecil. Thalia pun mengambil selimut kecilnya itu dengan ragu-ragu, tetapi entah teringat apa dan pada akhirnya tidak berani melakukan apa pun lagi. Thalia hanya duduk di sofa tunggalnya yang kecil sambil mencengkeram selimut itu dan kembali menatap Zavier. Thalia tahu Zavier sangat lelah, jadi dia juga tidak ingin sampai membuat pria itu terbangun. Waktu istirahat Zavier sangat sedikit. Namun, ponsel yang Zavier letakkan di atas meja kopi tiba-tiba bergetar. Thalia tertegun sesaat, lalu refleks mengulurkan tangannya untuk mematikan dering ponsel itu. Tiba-tiba, terdengarlah sebuah suara yang dalam dan serak. "Kamu mau apa?" Thalia sontak menoleh dan terkejut melihat tatapan Zavier. Jantungnya sontak berdebar dengan cepat. Di ruang tamu yang remang-remang, pupil mata Zavier yang gelap menatap Thalia lurus-lurus tanpa ekspresi. Thalia sontak mematung, lalu menjelaskan dengan suara pelan, "A ... aku nggak bermaksud melakukan apa-apa. Aku melihatmu lagi tidur, jadi aku ...." Thalia ingin menjelaskan kepada Zavier, tetapi dia malah tergagap saking gugupnya. Tatapan Zavier pun mengarah turun dan berhenti pada tangan yang diulurkan Thalia. Thalia mengikuti arah pandangan Zavier dan tiba-tiba merasa tangan kanannya begitu panas. Thalia refleks menarik kembali tangannya dan menyeka ujung jarinya pada lengan bajunya dengan pasrah seolah-olah ada sesuatu yang kotor di sana. Lalu, Thalia mengangkat pandangannya untuk menatap Zavier dan berujar dengan hati-hati, "A ... aku nggak menyentuh barang-barangmu." Thalia hanya berdiri diam dengan bingung, sementara Zavier perlahan membuka matanya. Tatapan pria itu tampak begitu datar dan acuh tidak acuh. "Jangan pernah menyentuh ataupun mendekati apa pun yang menjadi milikku. Apa perlu aku mengulangi ucapanku ini berkali-kali?" Thalia menatap Zavier, dia tidak tahu harus berbuat apa. Thalia ingin menjelaskan, tetapi tidak tahu caranya. Dia memang tidak pernah pandai menjelaskan dirinya. Sebelum Thalia pindah, Zavier sebenarnya sudah menegaskan padanya bahwa dia tidak boleh menyentuh apa pun yang menjadi milik pria itu. Jadi meskipun mereka telah hidup bersama sebagai pasangan yang bertunangan selama lebih dari setengah tahun, pada kenyataannya semua yang ada di rumah itu diberi label. Thalia hanya dapat menyentuh benda-benda yang dilabeli dengan namanya, sementara barang-barang lainnya tidak boleh sampai Thalia sentuh. Thalia bahkan dicap tidak pantas untuk mendatangi area-area yang sering Zavier tempati. Sama seperti ruang tamu yang besar ini. Thalia hanya diperbolehkan menggunakan sofa tunggal yang berukuran kecil. Misofobia Zavier benar-benar sudah kronis. Zavier melirik ponselnya yang bergetar sambil mengernyit dengan kesal. Namun, Zavier tetap mengangkat telepon itu dengan sabar. Belum sempat lawan bicaranya sempat berbicara, Zavier langsung berkata, "Belikan aku ponsel baru dan segera kirimkan ke sini." Setelah itu, Zavier melirik sofa di sebelahnya dan berkata dengan suara dalam, "Lalu, suruh orang untuk mengganti sofa di ruang tamuku dan bersihkan ulang." Zavier mengatakan semua itu dengan ekspresi datar. Thalia pun mengikuti arah pandangan Zavier dan menyadari bahwa ujung selimut kecilnya yang tidak sengaja dia bawa ternyata mengenai bagian sofa di sisi Zavier. Thalia menundukkan pandangannya dan tidak berani berbicara. Dia bahkan tidak berani menatap Zavier. Thalia hanya menundukkan kepalanya dan menatap tangan kanannya, lalu perlahan-lahan meletakkan tangannya di belakang punggungnya. Tangan kirinya menggosok pangkal tangan kanannya dengan kuat. Dia sebenarnya ingin memberi tahu Zavier bahwa dia tidak kotor.
Bab Sebelumnya
1/100Bab selanjutnya

© NovelRead, hak cipta dilindungi Undang-undang

Booksource Technology Limited.