Bab 280
Bomnya tidak meledak dan hitungan mundur berhenti.
Serina dan Marton menghela napas lega pada saat yang sama, tapi sebelum mereka bernapas lega, hitungan mundur yang semula dijeda mulai turun dengan cepat.
Detik berikutnya, sebuah tangan ramping tiba-tiba terulur dari samping, mengambil bahan peledak dan berlari keluar dengan cepat.
"Aldi!"
Serina berdiri dan berlari ke arahnya dengan cepat, tapi dia masih terlambat selangkah.
Begitu Aldi melempar bomnya, bom itu meledak dengan keras.
Gelombang kejut yang sangat besar melanda, Serina langsung terjatuh, penglihatannya menjadi hitam dan dia pingsan.
Ketika dia bangun lagi, Serina tiba-tiba duduk, dia mengejutkan orang di samping tempat tidur.
"Serina, apa kamu sudah bangun?! Apa kamu merasa nggak nyaman?!"
Serina mencabut jarum dari tangannya, lalu memegang tangan Sandara dan berkata, "Di mana Aldi?! Di mana dia sekarang?!"
"Jangan khawatir, dia baik-baik saja tapi mengalami cedera serius. Dia ada di bangsal sebelahmu sekarang."
Begitu dia selesai berbicara, Serina melepaskan tangannya dan berlari keluar dengan telanjang kaki.
Setelah mendorong bangsal sebelah, dia melihat Aldi duduk di ranjang rumah sakit dengan kain kasa melilit kepalanya dan wajahnya masih sedikit pucat. Serina langsung berlari ke arahnya dan memeluknya.
Merasakan hangatnya tubuh Aldi, Serina akhirnya menghela napas lega dan berkata dengan suara serak, "Untung kamu baik-baik saja ...."
Tubuh Aldi menegang sejenak, lalu mengulurkan tangan untuk memeluk Serina yang sedikit gemetar dan menghiburnya dengan suara rendah, "Aku baik-baik saja, jangan khawatir."
Mata Serina merah, dipenuhi rasa bersalah dan sedih.
"Aku minta maaf, kamu terluka lagi karena aku."
"Ini semua kemauanku, kamu nggak perlu merasa tertekan."
Begitu dia selesai berbicara, suara Serina yang tercekat terdengar di telinganya.
"Aldi, ayo kita mulai dari awal."
Setelah mengalami begitu banyak hal, dia tak lagi meragukan perasaan Aldi padanya, sehingga dia rela saling memberi kesempatan untuk memulai kembali.
Lagi pula, biarpun Aldi tahu bom itu akan meledak kapan saja, Aldi tetap bersamanya dengan tegas, ketika Aldi melihat hitungan mundur bom berjalan dengan cepat, dia mengambil bom itu dan berlari keluar tanpa ragu-ragu, tembok tinggi di hatinya sudah runtuh.
Aldi tertegun dan terdiam selama beberapa detik sebelum berbicara dengan suara kering, "Kamu nggak perlu memaksakan diri untuk bersamaku karena rasa terima kasih."
"Nggak, ini bukan rasa terima kasih. Aku nggak akan bersama seseorang karena rasa terima kasih."
Beberapa saat kemudian, Aldi berbisik, "Oke."
Serina memeluk pinggangnya erat-erat, merasa seolah-olah masalah sudah beres.
Dia melepaskan Aldi dan bertanya, "Selain kepalamu, apa kamu terluka di tempat lain?"
"Nggak."
"Syukurlah."
Melihat Serina tidak memakai sepatu, Aldi mengerutkan kening dan langsung menggendongnya ke tempat tidur.
"Kenapa kamu keluar tanpa memakai sepatu?"
Serina sedikit malu, lalu menunduk dan berbisik, "Aku terlalu mencemaskanmu tadi, jadi lupa."
"Kuambilkan sepatumu."
Begitu dia selesai berbicara, pintu bangsal dibuka, Merina masuk dengan mata merah.
"Kak Aldi, kudengar kamu terluka ...."
Sebelum dia selesai berbicara, dia melihat kedua orang di ranjang itu dengan heran.
"Kalian ... kalian ...."
Aldi terlihat cuek dan berkata tanpa ekspresi, "Ada perlu apa?"
Merina menggigit bibir bawah, matanya penuh kesedihan.
"Kak Aldi, aku datang menjengukmu."
"Aku baik-baik saja, kamu boleh pergi."
Merina enggan, tapi setelah melihat dinginnya tatapan Aldi, akhirnya dia mengentakkan kaki dan pergi.