Bab 3
Miko tidak mengatakan apa-apa lagi. Pijatannya kini jadi lebih lembut dan membuatku jadi lebih santai lagi.
"Sudah, Nyonya. Sesi pijatnya sudah selesai."
Saat aku nyaris ketiduran, suara Miko terdengar di telinga.
Aku pun bergegas bangun dan duduk di sofa, lalu melepas penutup mataku.
"Sudah selesai?"
Aku masih merasa kurang puas, tidak kusangka kalau sesi pijatnya selesai secepat ini.
Saat mendongak, aku sempat melihat Miko sedang mengelap tangannya dengan tisu basah. Ada sedikit cairan putih yang sepertinya sisa ASI di tangannya. Aku jadi malu sampai tidak berani menatapnya lama-lama.
Miko tetap memasang ekspresi tenang dan tidak menunjukkan reaksi apa pun.
"Oh ya, kondisi Nyonya seharusnya akan sedikit membaik setelah pijatan ini. Kalau masih mau dilanjutkan, silakan membuat janji denganku lewat WhatsApp."
Usai bicara begitu, Miko membereskan perlengkapannya dan bersiap untuk pergi.
Aku bergegas berdiri untuk mengantarkannya. Tapi kulihat tatapan Miko yang terlihat sedikit aneh.
Rupanya aku belum menurunkan bajuku.
Tiba-tiba, bel pintu rumah terdengar berbunyi.
Aku sontak kaget dan hampir lupa kalau masih ada suamiku.
Jika dia sampai melihatku berdiri di depan pria dengan dada terbuka begini, dia pasti marah bukan main.
Aku segera menarik turun pakaianku, sementara Miko berjalan ke pintu.
Benar saja, ekspresi suamiku yang membuka pintu itu pun langsung muram saat melihat ada seorang pria asing di rumah.
"Kamu siapa? Kenapa ada di rumahku?"
Suamiku memang pemarah. Aku takut mereka akan bertengkar, makanya langsung maju dan menjelaskan situasinya.
"Sayang, ini terapis laktasi yang baru saja memijatku."
"Terapis laktasi? Laki-laki?"
Ekspresi suamiku makin muram setelah mendengarnya. "Kenapa bisa laki-laki jadi terapis laktasi? Dia pasti punya niat jelek di balik pekerjaannya ini!"
Dia lalu menatapku curiga. "Apa benar kalian tadi cuma pijat saja? Nggak melakukan yang lain?"
"Tentu saja!"
Aku kesal karena suamiku tidak memercayaiku. "Kalau nggak percaya, cek saja rekaman CCTV!"
Kami sengaja memasang kamera pengawas di ruang tamu demi menjaga bayi kami.
Tidak kusangka, kamera pengawas itu malah akan berguna untuk pertama kalinya di saat begini.
Melihatku yang begitu yakin, suamiku akhirnya sadar kalau mungkin memang tidak terjadi apa-apa antara aku dan terapis laktasi ini. Raut wajah suamiku pun jadi sedikit melunak.
"Maaf, aku sudah salah paham padamu."
"Nggak apa-apa."
Miko memasang ekspresi biasa saja, dia lalu mengangguk sebelum akhirnya pergi.
Dia sama sekali tidak terlihat terpaksa pergi.
Suamiku juga makin lega melihatnya.
Melihatku masih sedikit marah, suamiku buru-buru mendekat dan memelukku. "Sudahlah Sayang, jangan marah lagi. Mana ada pria yang nggak curiga kalau berada di situasi barusan ... "
Mataku sedikit berkaca-kaca. Aku paham, tapi tetap saja merasa sedikit tersinggung dalam hati.
Apalagi, aku jadi lebih sensitif setelah melahirkan. Air mataku pun tidak kuasa menetes jatuh.
Suamiku terlihat panik. Dia terus meminta maaf sambil mencoba menghiburku.
Aku sendiri sebenarnya tidak semarah itu. Karena kalau aku tukar posisi dengan suamiku, aku pasti juga akan curiga sepertinya.
Aku duluan yang memeriksa rekaman kamera pengawas dan menunjukkannya ke suamiku. "Ini, lihat sendiri. Kami nggak melakukan hal yang aneh-aneh tadi."
"Sahabatku yang merekomendasikan Dokter Miko. Dia memang terlihat masih sangat muda, tapi sudah sepuluh tahun lebih jadi terapis."
Dadaku juga jadi tidak sebengkak tadi setelah Miko pijat. Bahkan aku bisa menyusui bayi kami dengan sangat lancar.
Suamiku memang bilang kalau dia percaya padaku. Tapi tatapannya tidak bisa bohong.
Dia memeriksa rekaman kamera pengawas dari awal sampai akhir.
Dan akhirnya baru bisa lega setelah memastikan semuanya.